Mohon tunggu...
wily Spazio
wily Spazio Mohon Tunggu... -

Hobbi dan Ingin jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barung-barung Bambu untuk Liza

21 Februari 2014   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:36 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Liza

“Iya, katanya, lebih cepat lebih baik.”

Papa

“Oke…! Kalau begitu. Lanjutkan!,” kata sang papa dengan nada bercanda.

Liza

“Iiiieeeeh…..Papa ketinggalan kereta. SBY tak mencalonkan diri lagi, Pa!” canda Liza menutup pembicaraan.

Liza dan papanya duduk-duduk santai di teras depan. Sebuah taxi muncul dari arah kanan lalu berhenti tepat di depan pintu pagar. Seorang pemuda turun dari taksi itu, lalu menuju pintu pagar. “Assalamu’alaikum,” sapanya. “Waalaikumusslam,” jawab Liza dan papa. “Eeee Bapak?” serunya. “Wawan?” kata sang papa sambil menunjuk ke arah dada pemuda itu. “Iya, Pak. Aku Wawan,” ujarnya. Mereka berpelukan, lalu cipika-cipiki. Akrab sekali. Liza jadi terbingung-bingung melihat adegan itu. “Yuk…Mari masuk, nak Wawan,” katanya sambil merangkul lengan Wawan. “Liza! Ambilkan minuma buat tamu istimewa kita hari ini. Panggilkan juga ibumu,” pintanya. Liza menyuguhkan minuman. “Silakan dimunum, Bang,” ujar Liza. “Terima kasih, Liza,” Jawab Wawan.

Ibu Liza muncul dari dalam, lalu duduk duduk di samping sang suami. “Ini….Bang Jo…... Ini…Wawan,” kata Liza dan papanya bersamaan. Kini sang Papa yang jadi bingung. “Ini Joni Irawan, di kantor dulu dia dipanggil Wawan,” kata sang papa memperkenalkan. Wawan tersenyum, memandang kea rah Liza. “Ke mana saja kamu selama ini, kok gak muncul-muncul?” tanya sang papa. “Panjang ceritanya, Pak. Sejak berpisah dengan Bapak dulu, hingga akhirnya bertemu Liza di desa Tebing Tinggi,” jawab Wawan. “Jadi kalian sudah saling kenal? Kok kamu gak bilang-bilang,” tanya Papa kepada Liza. “Iya, Pa. Ini Bang Joni, yang saya ceritakan kemaren. Di Tebing Tinggi ia dipanggil Joni. “Oooo.. begitu ceritanya,” timpal sang mama. Mereka berempat terlibat perbincangan dalam susana yang familiar. Joni juga telah menyampaikan maksudnya dating ke sini untuk melamar Liza. Papa dan Mama Liza menyetujuinya. Bahkan mereka sepakat untuk melaksanakan pernikahan Liza dan Joni dalam waktu dekat.

Usai shalat Maghrib Liza makan bersama papa dan mama. Sambil menikmati hidangan mereka melanjutkan topik pembicaraan tadi siang. “Jadi Papa sudah tau kalau Bang Joni mantan napi?” tanya Liza. “Apa? Mantan napi?” tanya mama dengan nada terkejut. “Iya, Papa tau persis duduk persoalannya,” kata papa. “Jadi kita akan bermenantukan mantan napi?” tanya sang mama seperti tidak bisa menerima. “Sebetulnya, Wawan itu anak baik. Ia hanya korban saja. Ia tidak mendapatkan apa-apa dari dana korupsi itu. Ia hanya korban keserakahan pejabat,” kata sang papa menjelaskan. “Itulah bobroknya birokrasi kita. Orang sebaik Wawan, yang baru beberapa tahun menjadi pegawai negeri, bisa terjerumus tindak pidana korupsi,” tambahnya lagi. Mendengar penjelasan papa, hati liza makin mantap. “Kalau begitu, Bang Joni memang jodohku,” bisiknya dalam hati.

********

Resepsi pernikahan Joni dan Liza berlangsung sederhana. Mereka hanya mengundang masyarakat sekitar tempat tinggal dan mantan staf, rekan dan kenalan sang papa ketika aktif di kantor dulu. Para undangan banyak yang hadir. Tampak juga hadir beberapan teman Liza semasa SMA. Di depan, duduk bersanding dua sejoli yang lagi berbahagia, sepasang penganten baru, Liza dan Joni. Liza tampak cantik dengan gaun pengantinnya. Di sebelah kanannya duduk pria tampan, penganten pria bernama Joni Irawan. Suara penyanyi diiringi organ tunggal terdengar menghibur para undangan. Banyak diantara para undangan yang tampil menyumbangkan suaranya. Mereka kelihatan pede, percaya diri, meski dengan modal suara dan teknik bernyanyi alakadarnya. Mereka tahu, ini hanya hiburan belaka, bukan show atau festival yang butuh suara dan teknik olah vokal yang sempurna. Para tamu yang hendak meninggalkan perhelatan, satu persatu menyalami penganten, menyampaikan ucapan selamat. Teman-teman Liza melakukan hal yang sama. Mereka bersalaman, lalu cipika-cipiki, sambil melepas kangen karena lama tak bertemu.

Bulan madu Liza dan Joni sudah berjalan dua minggu. Meski tidak berbulan madu ke Bali atau menginap di hitel berbintang, hari-hari mereka lalui dengan diliputi rasa bahagia.”Liza! Kalau kamu tak keberatan, bagai mana kalau bulan madu kita lanjutkan di desa Tebing Tinggi saja?” tanya Joni. “Ya, aku setuju-setuju saja. Besok aku akan melapor ke Dinas keshatan, bahwa aku bersedia melanjutkan tugasku di desa Tebing Tinggi. Kita bias berangkat duluan dan SK-ku biar menyusul kemudian,” ujar Liza.

Setelah mendapat peretujuan papa dan mama, Joni dan Liza berangkat ke desa Tebing Tinggi. Dengan menggunakan perahu tempel, mereka menyusuri sungai yang cukup panjang. Namun karena sedang diliputi rasa bahagia, perjalanan panjang itu terasa singkat. Tak terasa mereka sudah sampai di tepi sungai tempat perahu sampan, kenderaan lanjutan yang mereka tumpangi, merapat ke tepi sungai. Ternyata Pak Kades dan beberapa warga sudah menunggu di sana. Pak Kades beranjak dari tempat duduknya lalu menyambut Liza dan Joni. “Waaaw kami sempat khawatir, kalau kalian tak jadi dating hari ini. Kalau begitu bisa barabe jadinya,” kata Pak Kades. “Lho… kenapa, Pak Kades,” tanya Liza penasaran mendengar pernyataan Pak Kades. “Ah… Tidak! Tak ada apa-apa. Yuk kita ke pustu,” ajak Pak Kades.

Rasa penasaran Liza semakin bertambah ketika melihat ada rame-rame di pustu. “Ada apa Pak Kades, Kok rame-rame, begitu,” tanya Joni heran. “Ya, saya bersama warga mohon maaf, karena tak ada yang sempat menghadiri pesta perkawinan kalian,” pinta Pak Kades. Karenanya, warga di sini ingin menyelenggarakan sendiri pesta perkawinan kalian. Soal biaya, mereka tanggung bersama,” terang Pak Kades. Liza dan Joni terharu mendengar penjelasan Pak Kades. Betapa warga di sini menyayangi dan mengharapkan mereka. “Coba lihat tuh. Di sana ada Barung bambu. Di desa ini barung-barung bambu adalah lambang adanya acara perkawinan. Meskipun terdapat tenda-tenda modern yang bagus, barung-barung wajib ada menurut adat kebiasaan desa ini. Barung-barung itu dibuat warga untuk kalian berdua,” kata Pak Kades.

Sesampai di pintu rumah mereka disambut Ibuk Pak Kades dan teman-teman Liza. “Sudah! kalian capek. Biar warga saja yang mengerjakan semuanya. Kalian istirahat saja, agar dalam acara malam nanti kalian segar kembali. Liza dan Joni masuk ke kamar dan istirahat untuk beberapa waktu.

Malam harinya warga berdatangan untuk menghadiri peresmian perlawinan Liza dan Joni. Tampak hadir para perangkat desa, tokoh adat, tokoh masyarakat, ulama dan pemuda. Acara pun dimulai. Terdengar ada pepatah petitih adat yang saling berjawab antar tokoh adat desa. Liza dan Joni tidak memahami benar makna pepatah petitih adat desa itu, yang baru kali ini mereka dengar. Setelah itu salah seorang ustadz membacakan doa selamat. Baru kemudian acara makan bersama yang dilakukan dengan cara tradisional. Semua tamu makan dari nasi, gulai dan sambal yang sudah dibungkus dengan daun pisang. Ketika bungkus daun pisang dibuka, aroma sedap makanan menebar ke seluruh ruangan, memancing selera untuk mencicipinya. Usai makan bersama, dilanjutkan dengan acara hiburan dengan alat musik sederhana ala desa. Terdengarlah lantunan berbagai jenis lagu mulai dari pop, rock, dangdut hingga lagu daerah. Liza dan Joni duduk di pelaminan yang meski terbuat dari bambu namun terlihat cantik dan unik dan tertata apik oleh tangan-tangan terampil anak muda desa Tebing Tinggi. Acara berlangsung hingga tengah malam. Joni dan liza benar-benar merasa bahagia dan menikmati malam itu. Malam itu seakan menjadi malam pertama mereka yang kedua kali.

T A M A T

Selamat membaca! Salam  dari kampung.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun