Pada artikel sebelumnya saya mengungkap pandangan mengenai peranan adopsi mobil listrik (Battery Electric Vehicle atau BEV) secara masif dalam membantu mengurangi subsidi BBM. Di sini saya ingin menceritakan bagaimana rencana saya memiliki BEV terasa disabotase oleh harga “murah” Wuling BEV yang menurut kajian saya adalah murah yang palsu. Tulisan ini sangat panjang karena saya perlu memaparkan secara rinci latar belakang perhitungan dan kesimpulan saya.
BEV buatan Cina
Sudah sejak lama saya tertarik membaca informasi-informasi perkembangan BEV di dunia. Momen yang paling seru adalah pada sekitar tahun 2014 saat negara Cina secara masif memulai kampanye nasional untuk elektrifikasi kendaraan sebagai salah satu upaya dari tekad mereka mengatasi krisis polusi udara sejak Olimpiade Beijing 2008. Langkah raksasa mereka berbuah konkret positif beberapa tahun kemudian. Adopsi BEV di negara Cina sangat pesat bertumbuh sebagai salah satu ekosistem BEV terbaik di dunia. Arus informasi ini mempengaruhi saya sehingga di tahun 2017 saya bulat memutuskan hanya akan mengganti mobil Innova diesel polluter saya (yang saat itu berumur 10 tahun) ke mobil listrik. Dan bukan hanya sembarang mobil listrik, tetapi harus buatan Cina. Karena menurut perhitungan saya hanya BEV dari Cina yang akan berharga sepadan dengan kantong saya dan kualitas EV Cina juga sudah sangat baik di tahun 2017. Penerimaan masyarakat dunia terhadap BEV buatan Cina semakin lama juga semakin positif, bahkan saat ini sangat positif, walau pada tahun-tahun pertama produksinya masyarakat “barat” yang merasa punya standar lebih tinggi masih bersuara skeptis.
Bagi pemerhati EV tentu sudah mendengar soal BEV buatan Cina yang relatif murah. Apalagi setelah introduksi produk Wuling Hongguang Mini EV yang menggegerkan dunia NEV (New Energy Vehicle) dengan harga jual di Cina yang hanya sekitar Rp65 juta dan menggeser posisi Tesla sebagai juara satu BEV terlaris di Cina pada laporan penjualan Desember 2021.
Mengenai harga murah ini, bila ada yang "nyinyir" mengatakan bahwa harga murah itu hanya karena mendapat insentif dari pemerintah Cina, maka silahkan penyinyir membaca PDF yang berjudul "China announced 2020 - 2022 subsidies for new energy vehicles".
Langsung saja ke halaman dua paragraf 3 yang berbunyi
" Specifically, the requirement regarding minimum electric range is tightened from 250 kilometers (km) to 300 km for battery electric passenger cars.".
Hanya BEV dng jarak tempuh di atas 300 km yang mendapat insentif. Ini adalah kebijakan periode 2020-2022. Seandainya pun Hongguang bernaung di bawah aturan pra 2020, tetap saja tidak mendapat insentif karena tidak memenuhi syarat minimum jarak tempuh 250 km.
Jadi Wuling Hongguang Rp65 juta adalah varian yang berjarak tempuh NEDC 120 km, sehingga tidak mendapat insentif. Alias harga jual tersebut sudah termasuk modal dan laba murni.
Kehadiran BEV perdana buatan Cina: Wuling AirEV
Tentu saja informasi tersebut tidak bisa dijadikan harapan bahwa harga murah tersebut akan sama bila BEV itu dipasarkan di Indonesia. Informasi tersebut adalah untuk membantu membangkitkan kesadaran bagi pemerhati/peminat BEV di tanah air (khususnya dari kalangan ekonomi menengah yang berharap membeli BEV dengan harga terjangkau) BEV buatan Cina mana yang mendapat insentif dan mana yang tidak. Saya harapkan tidak banyak lagi yang mengulang dan menggunakan argumen usang tersebut untuk menyerang opini yang mempertanyakan mengapa harga BEV Wuling di Indonesia sangat jauh dengan saudaranya (seri Macaron Hongguang) di negara asalnya. Argumentasi yang lebih tepat adalah kerena keduanya berbeda kelas, tapi yang jelas bukan karena urusan insentif.
Tahun 2018, PT SGMW MI (Saic-General Motors-Wuling Motor Indonesia) membawa Wuling Baojun E100 ke pameran di Indonesia, dan sejak itu tiap tahunnya PT SGMW MI selalu membawa BEV kecil produksinya di ajang GIIAS. Mohon perhatikan yang saya bicarakan ini adalah ATPM Wuling di Indonesia yaitu PT SGMW MI dan tidak ada kaitan dengan SGMW di Cina.
Tahun 2020 Hyundai Indonesia menyatakan akan memproduksi Ioniq 5 secara CKD (Completely Knocked Down) di Indonesia. Mohon maaf, saya anggap Hyundai sebagai angin lalu saja, karena saya yakin harganya tidak akan ramah bagi kalangan ekonomi kelas menengah. Tahun 2022 akhirnya PT SGMW MI menyusul mengumumkan untuk memproduksi secara CKD mobil listrik seri Mini EV-nya di Indonesia. Saya memutuskan sudah waktunya untuk mengganti kendaraan Toyota Innova diesel “polluter” saya yang kini telah berusia 15 tahun. Ya, Innova gembrot ditukar dengan BEV super kecil karena mobil saya sudah tua dan saat ini hanya satu opsi yang tersedia.
Singkat cerita, akhir Juni saya ke dealer Wuling dan langsung membayar uang muka dengan perjanjian bahwa estimasi harga varian Long Range di bawah Rp300 juta dan estimasi harga Standard Range di bawah Rp200 juta. Sayangnya saya tidak terpikir untuk meminta klausul tambahan: harga yang dipasang harus sesuai dengan perhitungan kewajaran harga On The Road karena saat itu tidak ada bayangan di benak saya bahwa ATPM PT SGMW MI akan menjual dengan harga jauh di atas OTR.
Saya tertarik versi Long Range tetapi saya bertekad tidak setuju bila nilainya di atas 250 juta. Bila itu yang terjadi ya saya akan ambil yang Standard saja. Toh estimasinya di bawah 200 juta. Perhitungan saat itu: kemungkinan masih masuk akal bila harga OTR sekitar 180 juta. Bukankah harapan 180 juta masih cukup sesuai dengan estimasi di bawah 200 juta (Standard)?
Nilai NJKB (Off The Road) yang membesarkan hati
Tanggal 4 Juli 2022 muncul artikel di autofun.co.id yang ditulis oleh Indra Fathan berjudul “Segini Perkiraan Harga Wuling EV 2022, Kurang dari Rp250 Juta?”
Di artikel itu disebutkan bahwa PT SGMW MI mendaftarkan NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor alias harga Off The Road) dua BEV nya di SAMSAT DKI sebesar Rp132 juta (Standard Range 200 km) dan Rp166 juta (Long Range 300 km).
* Tangkapan layar tentang NJKB dua Wuling AirEV pada awal Juli 2022 yang ada di situs SAMSAT DKI, sumber dari artikel bung Indra Fathan.
Berangkat dari informasi NJKB tersebut, Bung Indra Fathan mencoba mereka-reka berapa harga OTR (On The Road) keduanya. Ia membandingkan kedua NJKB BEV Wuling tersebut dengan produk Wuling lain yang memiliki nilai NJKB mirip. Berikut ini kutipan dari artikel tersebut:
“Tetapi jika memperhatikan NJKB tersebut, mirip dengan NJKB Wuling Confero S tipe C yang sebesar Rp136 juta. Serta berdekatan juga dengan NJKB Wuling Cortez 1.5 S T transmisi manual (MT) yang tertulis Rp161 juta.
Kemudian kalau membandingkan dari pricelist produk di situs resmi Wuling Indonesia, maka harga OTR (On The Road) untuk Confero S tipe C MT adalah Rp185,7 juta dan Cortez S 1.5 T MT adalah Rp227,5 juta.”
Berikut ini adalah tabel simulasi buatan saya sendiri untuk mencari perhitungan harga OTR Cortez dan Confero. Simulasi ini menunjukkan angka OTR yang saya hitung sangat mirip dengan informasi dari artikel Bung Fathan. Di sini saya juga simulasikan NJKB (Juli) kedua BEV Wuling. Mohon diperhatikan, simulasi ini berdasarkan perhitungan aturan pajak normal. Walau hingga titik ini paparan saya belum komprehensif, angka perhitungan OTR AirEV (bila diterapkan pajak normal) sudah bisa diintip pada tabel di bawah. Dan perhatikan bahwa saya akan tegas meberikan identifikasi NJKB pada bulan apa pada setiap perhitungan yang saya buat. Karena pada tanggal 8 September saya dapati nilai NJKB AirEV telah dinaikkan.
(Dari mana saya peroleh rumus perhitungan tersebut akan saya paparkan di bagian akhir artikel ini.)
Membaca artikel Bung Fathan membuat saya agak lega, karena saya berpikir bahwa PT SGMW MI ternyata mematok harga yang masih wajar (ini menurut saya secara subyektif, entah opini orang lain). Menurut perhitungan saya (berdasarkan NJKB Juli) bila menggunakan aturan pajak khusus mobil listrik (berbeda dengan tabel di atas yang menggunakan pajak normal), maka seharusnya harga Wuling BEV akan sekitar Rp168 juta (Standard) dan Rp210 juta (Long). Sebagai informasi, harga OTR Confero dan Cortez tidak mendapat insentif bebas pajak apapun alias perhitungan normal, sedangkan BEV mendapat keringanan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) nol persen dan insentif BBNKB (Bea Balik Nama) nol persen.
Fitur penting untuk varian Long Range 300 km
Saya katakan “agak” lega karena masih ada satu kekhawatiran lagi yaitu ada tidaknya port DC Fast Charging yang masih belum jelas saat itu. Sebagai informasi tambahan, fitur DC Fast Charging ini selayaknya wajib ada pada BEV kelas menengah dengan jarak tempuh minimum NEDC 300 km. Bahkan konon BEV Kurnia EVCBU K-Upgrade yang seharga Rp75 juta pun akan dilengkapi fitur ini.
Saya pernah melihat ada opini yang menyatakan “memaafkan” absennya port DC Fast Charging pada AirEV ini karena menurutnya kapasitas baterai 26 kWh (Long Range) termasuk sangat kecil dan akan cukup cepat bila diisi dengan daya listrik 6,6 kWh (sekitar 4-5 jam untuk mengisi baterai dari 0-100%). Ya tentu sah saja berpendapat demikian. Bagi saya durasi itu masih termasuk lama. Kalau bisa menggunakan daya listrik rumah 13,2 kWh 3 phase (durasi charging sekitar 90 – 120 menit dari 0-100%) mengapa saya harus berlama-lama charging 4-5 jam? Toh sudah ada program diskon khusus dari PLN bagi pemilik BEV untuk pemasangan sambungan baru listrik 3 phase 13.200 VA yang cuma seharga Rp3,5 juta saja.
Kekhawatiran yang berujung pupusnya harapan
Selepas adanya informasi NJKB di awal Juli tersebut ternyata PT SGMW MI malah makin gencar mengkampanyekan informasi estimasi harga Rp250 – 300 juta. Ini mulai mengkhawatirkan saya. Saya pun berupaya datangi manajer pameran booth Wuling di pameran Periklindo (sebelum GIIAS) dan berdiskusi soal ini. Juga dengan pihak gerai tempat saya memesan. Saya berharap kekhawatiran saya akan disampaikan ke pihak prinsipal PT SGMW MI dan mereka mau mendengarkan dan mematok harga sesuai dengan perhitungan OTR (berdasarkan NJKB yang didaftarkan ke SAMSAT DKI). Maksud saya, silahkan daftarkan NJKB yang nilainya sesuai agar setelah dikenakan komponen pajak maka harga OTR-nya akan benar Rp300 juta . Bila perhitungan pajak sudah sesuai maka tinggallah calon pembeli mau beli atau tidak dengan harga tersebut.
Pada saat peluncuran AirEV di ajang GIIAS Agustus, harapan saya pupus. PT SGMW MI ternyata mematok harga jual yang sangat jauh dari nilai kewajaran OTR. Harga OTR varian Standard yang saya hitung (berdasarkan NJKB Juli) senilai Rp168 juta (detailnya Rp167.138.000) ternyata dibanderol ekstra Rp70 juta rupiah (42.4%) menjadi Rp238 juta. Dan varian Long Range yang saya hitung OTR Rp210 juta (detailnya Rp209.978.000) di-mark-up menjadi Rp295 juta alias ekstra Rp85 juta (40.5%). Fantastis!
Setelah menambah ekstra harga sedahsyat itupun ternyata PT SGMW MI masih berupaya memaksimalkan keuntungan dengan tidak memberikan port DC Fast Charging serta perangkat pengisian daya listrik rumahan (Home Wall Charging) 6.6kWh sesuai kapasitas charging maksimal AirEV. Yang diberikan hanya perangkat pengisian daya portable 2,2 kWh saja. Lengkap kekecewaan saya terhadap PT SGMW MI.
Armada medsos. Bayaran PT SGMW MI kah?
Selain berdiskusi dengan manajer booth dan show room Wuling, upaya saya mengawal harga OTR ini juga saya lakukan lewat kolom komentar di beberapa media sosial sebelum ajang GIIAS di bulan Agustus. Saya ingin mengangkat kesadaran masyarakat peminat AirEV ini bahwa ada indikasi harga jual yang akan dipatok jauh di atas kewajaran OTR. Hebatnya ternyata ada cukup banyak akun medsos yang “memaafkan”, “sangat memaklumi” dan bahkan “membela” tindakan mark-up PT SGMW MI ini. Ada yang beralasan bahwa kita perlu memperhitungkan biaya iklan dan komisi agen showroom. Tapi mereka tidak mampu menjelaskan mengapa Confero dan Cortez bisa dijual sesuai dengan harga kewajaran perhitungan OTR. Apakah Confero dan Cortez gratis biaya iklan dan agen showroom? Bagaimana dengan pertanggungjawaban atas pemberian insentif BBNKB yang nol persen?
Ya benar, ada satu komponen pajak yang benar-benar tulen nol persen yaitu BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) DKI. Untuk mobil normal, seharusnya nilai komponen BBNKB untuk DKI adalah 5% (dari Dasar Pengenaan Pajak).
Untuk varian standard dengan NJKB (Juli) Rp132juta maka BBNKB yang dihapus adalah sebesar Rp6,6juta dan untuk varian long (NJKB Juli Rp166juta) BBNKB yang dihapus adalah Rp8,3 juta. Lantas apa artinya tindakan pemerintah provinsi DKI yang sudah bersedia kehilangan pendapatan pajak yang sebenarnya bertujuan agar harga jual mobil bisa ditekan lebih murah tetapi malah digelembungkan 40% (berdasarkan perhitungan NJKB Juli) oleh PT SGMW MI?
Adakah aturan hukum untuk menjaga agar harga jual produk yang sudah memperoleh kemudahan (keringanan pajak) tidak diselewengkan?
Ini mengingatkan saya pada proyek Mobnas Timor di tahun 1996. Timor mendapat kemudahan pajak dengan jargon Mobil Nasional tapi malah dijual mahal dengan diksi murah.
Mari kita flash back sejenak. Adakah yang ingat mobil KIA Timor dijual Rp35 juta OTR di tahun 1996? Dan adakah yang tahu harga retail KIA Sephia LS (nama asli Timor) sebenarnya adalah sekitar US$11 ribu? Nilai tukar Rupiah terhadap USD saat itu adalah Rp2.300,-. Bila benar tanpa pajak bukankah seharusnya harga Timor dulu adalah sedikit di atas Rp25 juta saja? US$11.000 x Rp2.300. Ini bukan nilai modal. Ini adalah harga retail yang sudah termasuk komponen laba. Entah berapa modal sebenarnya.
Tapi karena pat gulipat keluarga Cendana, sedan Timor yang sudah bebas pajak Barang Mewah 60% malah dijual Rp35 juta dan masih diberi label “murah”. Ya ini seperti armada medsos Wuling. Timor tampak murah karena dibandingkan dengan sejawatnya yang menanggung pajak Barang Mewah 60%. Dan AirEV diamplifikasi sebagai “murah” oleh armada medsos karena diposisikan melawan harga Ioniq.
Kembali ke para pembela harga Wuling alias armada medsos. Ada cukup banyak yang berargumen bahwa harga mahal itu wajar karena ini adalah teknologi baru. Saya bantah, ini bukan teknologi baru. Teknologi ini hanya baru masuk ke Indonesia tetapi sudah lama (mature) di Cina. Toh bila memang ada biaya riset mengapa PT SGMW MI mendaftarkan NJKB hanya senilai Rp132juta dan Rp166juta pada data SAMSAT bulan Juli?
Menurut artikel di situs otomotif.kompas 24 Februari 2020 yang berjudul “Ini Istilah On The Road dan Off The Road dalam Membeli Kendaraan”, nilai NJKB adalah harga asli kendaraan sebelum pajak. Bukankah ini berarti sudah termasuk komponen modal, biaya dan laba? Yang belum ada hanyalah komponen pajak dan biaya surat. Di sini disebutkan bahwa konsumen bisa membeli dengan harga Off The Road. Ini mengukuhkan bahwa harga Off The Road itu sudah mencakup modal plus laba. Dan harga Off the Road itu adalah harga asli mobil sebelum dikenakan komponen pajak.
Alinea 5, 6 dan 7: " Sementara harga off the road, itu merujuk pada nilai jual dari kendaraan itu sendiri tanpa adanya biaya pengurusan laik jalan seperti kelengkapan dokumen dan pajak.
Ada beberapa akun YouTube yang rajin nongkrong di kanal-kanal yang membahas produk AirEV ini. Mereka mengawal kolom komentar nyaris sepanjang hari selama berhari-hari (pada kurun waktu sekitar seminggu menjelang dan setelah hari peluncuran di GIIAS). Dari pengamatan saya, tugas mereka adalah mengarahkan opini-opini negatif ke arah positif atau setidaknya netral. Dan semuanya menyembunyikan data perhitungan kewajaran OTR yang saya lemparkan. Tidak ada satupun dari mereka yang membantah data saya dan tentu saja tidak ada yang membantu saya menyampaikan hitungan saya ke komentator lain. Wajarkah jika saya beranggapan mereka adalah armada bayaran?
Kalimat pembodohan yang dijadikan template copy-paste oleh salah satu buzzer teraktif adalah: “target marketnya untuk yg mau pakai EV dengan harga lebih terjangkau.” Secara literal tidak ada yang salah. Tapi ini menggiring opini bahwa produk BEV ini harganya “terjangkau”. Saya pikir akan lebih tepat bila dikatakan “target marketnya adalah orang-orang yang miskin informasi, tertarik pada BEV, ekonomi sedang tetapi belum rela/mampu membeli Ioniq yang 700 juta”. Mindset target market tersebut sedang diarahkan untuk menerima bahwa harga mark-up ini adalah nilai yg wajar dan murah. Jelas ini bukan strategi pricing untuk kalangan ekonomi kelas menengah.
Yang juga sangat luar biasa adalah banyaknya YouTuber influencer yang menggunakan diksi sakti “MURAH” pada video ulasan BEV ini. Berikut ini adalah judul-judul video mereka di YouTube:
“Mobil Listrik Yg Wah MURAH BANGET! Wuling AIR EV Seharga LMPV, Canggih Bs 300Km!”
“REVIEW | Wuling Air EV, Mobil Listrik Murah! Dijual Mulai Rp 250 Juta”
“Wuling Air EV Dijual Tahun Ini! Harganya Murah!”
“Review Wuling Air Ev Mobil Listrik Termurah | KOK GINI ???”
“Akhirnya Rilis Harga Resmi Wuling Air EV! Jadi Mobil Listrik Termurah Di Indonesia!”
“NYOBAIN MOBIL LISTRIK “TERMURAH” - Wuling Air EV”
“Mobil listrik WULING EV, termurah di Indonesia??”
“HANYA DI INDONESIA! MOBIL LITRIK WULLING AIREV INI DIJUAL MURAH!”
“NEW WULING AIREV 2022 MOBIL LISTRIK TERMURAH RASA MODEREN DAN MEWAH #WULING #AIREV”
“WULING AIR EV MURAH SIH”
(Bila ada kesalahan eja pada daftar judul video tersebut adalah karena saya menjiplak persis dari judul aslinya.)
Entah para YouTuber itu memang tidak menyadari praktek harga mark-up ini atau memang tahu tapi tidak peduli. Bila yang terjadi adalah kasus kedua, saya mempertanyakan nurani mereka. Bukankah itu adalah upaya mendeviasi penilaian masyarakat dengan menggunakan diksi “murah” pada harga yang jauh di atas kewajaran OTR? Atau video ulasan mereka adalah sekadar bisnis murni? Wallahualam.
Di mata saya yang tampak adalah pihak PT SGMW MI mencari laba di luar kewajaran dan tidak peduli dengan program pemerintah dalam percepatan adopsi BEV di Indonesia untuk membantu Indonesia mengatasi nestapa subsidi BBM 500 triliun. Saya tidak mengatakan bahwa jika PT SGMW MI menjual dengan harga wajar maka seluruh nestapa subsidi BBM Indonesia akan teratasi. Bukan seperti itu. Tetapi harga yang wajar akan membantu percepatan adopsi BEV ke masyarakat kelas ekonomi menengah.
Siapa di balik praktek penggelembungan OTR ini?
Saya mengidentifikasi aktor ulah penggelembungan harga ini adalah PT Saic-General Motors-Wuling Motor Indonesia selaku ATPM merk Wuling di Indonesia. Menurut pendapat saya ini bukan ulah SGMW di Cina. Mengapa demikian? Saya telah lama mengamati perkembangan NEV (New Energy Vehicle) di Cina, dan saya dapati rata-rata karakter pabrikan otomotif listrik Cina tidak ada yang bermain harga. Mereka rata-rata bertujuan mengeksploitasi penjualan sebanyak dan secepat mungkin. Terbukti SGMW Cina tidak ragu-ragu membanderol Wuling Hongguang seharga Rp65 juta tanpa subsidi sehingga sempat menjadi BEV terlaris dengan penjualan di atas 50 ribu unit di bulan Desember 2021. Jadi saya belum pernah menyaksikan praktek jual harga mahal yang dilakukan oleh produsen BEV Cina kepada masyarakat Cina. Yang selalu ada adalah harga yang murah atau wajar. Dari mana saya mendapat kesimpulan tersebut? Mudah, bandingkan saja harga BEV Cina vs BEV dari legacy automaker untuk kelas yang sama. Saya pikir, masyarakat di sana sudah teredukasi mempercayai bahwa pabrikan otomotif lokal tidak akan bermain memanipulasi harga.
Sebagai contoh artikel cnevpost.com melaporkan pre-booking BEV XPeng G9 sebanyak 22.819 unit dalam waktu 24 jam. Ini adalah BEV kelas mewah berharga premium yang memiliki teknologi-teknologi tertinggi dari sebuah BEV tetapi dapat terjual seperti kacang goreng.
Contoh lain adalah pre-booking BYD Seal di bulan Mei 2022 mencatat rekor 22.637 pesanan dalam 6 jam.
Antusiasme dan kepercayaaan warga Cina terhadap produk otomotif dalam negeri sangat solid. Mahal dan murah adalah relatif, tetapi harga wajar adalah keniscayaan.
Bagaimana Menghitung Harga On The Road Wuling AirEV?
Saya memperoleh informasi cara menghitung harga OTR (On The Road) dari artikel berjudul "6 Langkah Cara Menghitung Harga OTR Kendaraan Terbaru" yg diposting 30 Juni 2022 oleh situs goozir.com.
Ada 6 komponen yaitu Nilai DPP (Dasar Pengenaan Pajak), PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor), Biaya Penerbitan Dokumen (STNK, TNKB dan BPKB), dan SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan).
Mari kita bahas/hitung satu persatu:
DPP. Menurut artikel "Mengenal Pajak Mobil Listrik di Indonesia" di situs klikpajak yg diterbitkan 2 Juni 2022, pada PP No. 73 tahun 2019 pasal 36 : DPP mobil listrik adalah 0% dari NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor).
Jadi besaran nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = NJKB.
Alias tidak ada penambahan komponen koefisien bobot yg normalnya adalah 5%.
Nilai DPP = NJKB = Harga OFF The Road yaitu Rp132jt (Standard Range) dan Rp166jt (Long Range). Nilai ini berdasarkan NJKB Juli.
PPnBM. Menurut artikel "PPnBM Nol Persen Mobil Listrik Naik Jadi 15 Persen, Lihat Detilnya" di situs otomotif.tempo yg diterbitkan 9 Juli 2021: PP Nomor 74/2021 menyatakan PPnBM dibebankan 15% dari DPP, sehingga PPnBM untuk Standard Range adalah Rp19,8jt dan Long Range adalah Rp24,9jt. Perhitungan ini berdasarkan NJKB Juli.
BBNKB DKI. Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2020: pembebasan pajak BBNKB bagi kendaraan berbasis listrik. Jadi BBNKB DKI adalah NOL.
PPn. Menurut artikel "Penyesuaian Tarif PPN 11% Mulai 1 April 2022" di situs kemenkeu, PPN dibebankan sebesar 11% dari DPP.
Sehingga PPn untuk Standard Range adalah Rp14,52jt dan Long Range adalah Rp18,26jt. Perhitungan ini berdasarkan NJKB Juli.
Biaya Penerbitan Dokumen. STNK mobil baru Rp200rb, TNKB Rp100rb dan penerbitan BPKB mobil baru Rp375rb. Total Rp675 ribu.
SWDKLLJ. Biaya SWDKLLJ adalah sebesar Rp143 ribu.
Maka breakdown harga On The Road Wuling AirEV Short Range berdasarkan NJKB Juli 2022 adalah:
(NJKB = DPP) Rp132juta + (PPnBM 15% dari DPP) Rp19,8jt + (PPn 11% dari DPP) Rp14,52jt + (BBNKB DKI) Rp NOL + (Biaya Penerbitan Dokumen) Rp675rb + (SWDKLLJ) Rp143rb = Rp 167.138.000,-
Maka breakdown harga On The Road Wuling AirEV Long Range berdasarkan NJKB Juli 2022 adalah:
(NJKB = DPP) Rp166juta + (PPnBM 15% dari DPP) Rp24,9jt + (PPn 11% dari DPP) Rp18,26jt + (BBNKB DKI) Rp NOL + (Biaya Penerbitan Dokumen) Rp675rb + (SWDKLLJ) Rp143rb = Rp 209,378,000 ,-
Mohon bantu koreksi di kolom komentar jika ada perhitungan komponen pajak yang keliru atau kurang. Berdasarkan contoh perbandingan kasus dengan harga OTR Confero dan Cortez, saya yakin perhitungan ini sudah benar atau setidaknya sudah sangat mendekati.
PT SGMW MI menaikkan NJKB AirEV.
Setelah selesai menulis draft artikel ini, pada tanggal 8 September 2022, dari situs SAMSAT DKI, saya mendapati bahwa PT SGMW MI telah mengubah nilai NJKB untuk dua BEV tersebut.
(Panduan mengisi formulir di situs SAMSAT:
Jenis: Minibus / Tahun: 2022 / Merek: Wuling. Klik "Proses" dan lanjut ke halaman ketiga untuk memperoleh hasil seperti tangkapan layar berikut.)
NJKB Standard Range berubah dari Rp 132 juta menjadi Rp159 juta.
Sehingga harga OTR menjadi Rp201.158.000,-.
Harga bandrol Rp238 juta – Rp201,158 juta = mark-up Rp36.842.000,- (18.3%)
NJKB Long Range berubah dari Rp 166 juta menjadi Rp185 juta.
Harga On the Road menjadi Rp233.918.000,-.
Harga bandrol Rp295 juta – Rp233,918 juta = mark-up Rp61.082.000,- (26.1%)
Ya PT SGMW MI "meralat" NJKB AirEV, tetapi tetap saja harga bandrol AirEV masih sangat jauh di atas harga kewajaran OTR.
Terus terang saya tidak percaya pada NJKB September. Saya lebih percaya pada NJKB Juli. Karena saat informasi NJKB Juli dirilis, spesifikasi kendaraan juga sudah dirilis. Unit contoh sudah dipamerkan dan diulas oleh influencer-influencer YouTube. Contoh video berjudul “Wuling Air EV 2022 | First Impression | OtoDriver” tertanggal 14 Juli. Bagaimana menjelaskan ada kekeliruan perhitungan minus 20% dan 11% untuk produk yang sudah final?
Di bawah ini adalah tabel simulasi buatan saya sendiri untuk mencari perhitungan harga On The Road AirEV sesuai dengan 6 komponen-komponen pajak dan biaya di atas, lengkap dengan varian NJKB AirEV bulan Juli dan September. Dan saya juga berikan perbandingan skenario perhitungan harga OTR AirEV lewat aturan pajak kendaraan normal, LCGC dan BEV.
Penutup
1. Melihat kelakuan PT SGMW MI, saya terpaksa membatalkan pesanan AirEV saya dan meneruskan menggunakan Toyota polluter saya sambil berharap pabrikan Cina lain seperti BYD, Chery, Li Auto, Dong Feng, dan lain-lain akan juga membuka pabrik CKD di Indonesia dan semoga rekanan ATPM mereka memiliki nurani yang jauh lebih manusiawi dibandingkan PT SGMW MI. Saya harap PT SGMW MI tidak memotong uang muka saya. Dalam klausul disebutkan bila pembatalan bukan diakibatkan oleh melesetnya estimasi harga maka yang akan dikembalikan adalah separuh saja. Di sini argumentasi saya adalah walau harga masih dalam jangkauan estimasi tetapi sangat jauh di-mark-up dari nilai perhitunga OTR yang wajar. Saya ingin melihat sampai di mana nurani PT SGMW MI.
2. Kepada pemerintah, tunjukkan keseriusan bahwa kalian benar ingin mengurangi subsidi BBM. Bila ada sikutan sikutan dari pabrikan ATPM Jepang untuk menghambat adopsi BEV, tunjukkan ketegasan sikap pemerintah. Indonesia adalah negara kita bersama dan seyogyanya pemerintah mengerjakan apa yang terbaik untuk masa depan negara. Tindak ATPM yang bermain dengan fasilitas pembebasan pajak. Relaksasi itu adalah untuk memberi keringanan kepada rakyat pembeli.
3. Saya sejatinya tidak peduli dengan praktek mark-up semacam ini bila diberlakukan ke produk kendaraan ICE.
Saya menulis ini karena bersinggungan dengan kepentingan saya. Saya melihat BEV sebagai solusi agar saya bisa lepas dari BBM bersubsidi dan sekaligus menuai keuntungan efisiensi / penghematan belanja energi jangka panjang. Bila ada bonus batin karena telah ikut berkontribusi membantu mengurangi polusi tentu akan lebih membanggakan.
Saya telah menunggu 15 tahun untuk mengganti kendaraan saya. Seribu mobil ICE cantik silahkan diluncurkan, dan silahkan berlalu. Saya hanya ingin BEV. Tidak dinyana malah bertemu saudaranya Timor. Saya harus menunggu lebih lama lagi. Maaf kepada pemerintah karena saya masih harus melanjutkan mengkonsumsi BioSolar bersubsidi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H