Pada saat peluncuran AirEV di ajang GIIAS Agustus, harapan saya pupus. PT SGMW MI ternyata mematok harga jual yang sangat jauh dari nilai kewajaran OTR. Harga OTR varian Standard yang saya hitung (berdasarkan NJKB Juli) senilai Rp168 juta (detailnya Rp167.138.000) ternyata dibanderol ekstra Rp70 juta rupiah (42.4%) menjadi Rp238 juta. Dan varian Long Range yang saya hitung OTR Rp210 juta (detailnya Rp209.978.000) di-mark-up menjadi Rp295 juta alias ekstra Rp85 juta (40.5%). Fantastis!
Setelah menambah ekstra harga sedahsyat itupun ternyata PT SGMW MI masih berupaya memaksimalkan keuntungan dengan tidak memberikan port DC Fast Charging serta perangkat pengisian daya listrik rumahan (Home Wall Charging) 6.6kWh sesuai kapasitas charging maksimal AirEV. Yang diberikan hanya perangkat pengisian daya portable 2,2 kWh saja. Lengkap kekecewaan saya terhadap PT SGMW MI.
Armada medsos. Bayaran PT SGMW MI kah?
Selain berdiskusi dengan manajer booth dan show room Wuling, upaya saya mengawal harga OTR ini juga saya lakukan lewat kolom komentar di beberapa media sosial sebelum ajang GIIAS di bulan Agustus. Saya ingin mengangkat kesadaran masyarakat peminat AirEV ini bahwa ada indikasi harga jual yang akan dipatok jauh di atas kewajaran OTR. Hebatnya ternyata ada cukup banyak akun medsos yang “memaafkan”, “sangat memaklumi” dan bahkan “membela” tindakan mark-up PT SGMW MI ini. Ada yang beralasan bahwa kita perlu memperhitungkan biaya iklan dan komisi agen showroom. Tapi mereka tidak mampu menjelaskan mengapa Confero dan Cortez bisa dijual sesuai dengan harga kewajaran perhitungan OTR. Apakah Confero dan Cortez gratis biaya iklan dan agen showroom? Bagaimana dengan pertanggungjawaban atas pemberian insentif BBNKB yang nol persen?
Ya benar, ada satu komponen pajak yang benar-benar tulen nol persen yaitu BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) DKI. Untuk mobil normal, seharusnya nilai komponen BBNKB untuk DKI adalah 5% (dari Dasar Pengenaan Pajak).
Untuk varian standard dengan NJKB (Juli) Rp132juta maka BBNKB yang dihapus adalah sebesar Rp6,6juta dan untuk varian long (NJKB Juli Rp166juta) BBNKB yang dihapus adalah Rp8,3 juta. Lantas apa artinya tindakan pemerintah provinsi DKI yang sudah bersedia kehilangan pendapatan pajak yang sebenarnya bertujuan agar harga jual mobil bisa ditekan lebih murah tetapi malah digelembungkan 40% (berdasarkan perhitungan NJKB Juli) oleh PT SGMW MI?
Adakah aturan hukum untuk menjaga agar harga jual produk yang sudah memperoleh kemudahan (keringanan pajak) tidak diselewengkan?
Ini mengingatkan saya pada proyek Mobnas Timor di tahun 1996. Timor mendapat kemudahan pajak dengan jargon Mobil Nasional tapi malah dijual mahal dengan diksi murah.
Mari kita flash back sejenak. Adakah yang ingat mobil KIA Timor dijual Rp35 juta OTR di tahun 1996? Dan adakah yang tahu harga retail KIA Sephia LS (nama asli Timor) sebenarnya adalah sekitar US$11 ribu? Nilai tukar Rupiah terhadap USD saat itu adalah Rp2.300,-. Bila benar tanpa pajak bukankah seharusnya harga Timor dulu adalah sedikit di atas Rp25 juta saja? US$11.000 x Rp2.300. Ini bukan nilai modal. Ini adalah harga retail yang sudah termasuk komponen laba. Entah berapa modal sebenarnya.
Tapi karena pat gulipat keluarga Cendana, sedan Timor yang sudah bebas pajak Barang Mewah 60% malah dijual Rp35 juta dan masih diberi label “murah”. Ya ini seperti armada medsos Wuling. Timor tampak murah karena dibandingkan dengan sejawatnya yang menanggung pajak Barang Mewah 60%. Dan AirEV diamplifikasi sebagai “murah” oleh armada medsos karena diposisikan melawan harga Ioniq.
Kembali ke para pembela harga Wuling alias armada medsos. Ada cukup banyak yang berargumen bahwa harga mahal itu wajar karena ini adalah teknologi baru. Saya bantah, ini bukan teknologi baru. Teknologi ini hanya baru masuk ke Indonesia tetapi sudah lama (mature) di Cina. Toh bila memang ada biaya riset mengapa PT SGMW MI mendaftarkan NJKB hanya senilai Rp132juta dan Rp166juta pada data SAMSAT bulan Juli?