(Sebuah Refleksi Filosofis atas Perkembangan Indonesia di Era Disrupsi)
- PENDAHULUAN
Indonesia sedang mengalami revolusi industri keempat atau yang lebih dikenal dengan revolusi industri 4.0. Rentetan teknologi canggih menghadirkan inovasi yang cukup pesat di beberapa tahun terakhir. Layanan seperti transportasi online, toko online, konsultasi kesehatan secara online, hingga bimbingan belajar secara online telah menjadi cirikhas era ini. Orang menamai era ini dengan sebutan disrupsi atau era disruprsi. Disrupsi adalah sebuah konsep yang kedudukannya dapat disejajarkan dengan globalisasi dan postmodernisme yang telah hadir lebih dahulu. Disrupsi atau lebih tepatnya disrupsi teknologis dalam konteks pandangan Fukuyama adalah paham yang menarik untuk ditelaah secara lebih mendalam.Â
Disrupsi teknologis dipandang sebagai sebuah guncangan besar yang mengubah tatanan sosial dalam masyarakat. Dalam karyanya The Great Disruption, Fukuyama menyajikan data-data dan faktor penyebab terjadinya kerusakan dalam tatanan sosial. Pembahasannya merujuk pada tatanan sosial di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, yang telah beralih dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi (information society). Di sana terjadi transformasi secara besar-besaran yang diiringi dengan tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, keluarga yang semakin terguncang dan kepercayaan satu dengan yang lain semakin merosot. Â
Tulisan ini adalah sebuah refleksi filosofis penulis terhadap situasi di Indonesia yang terpapar disrupsi teknologis. Refleksi filosofis ini dibatasi pada pertanyaan: apa itu disrupsi? Dan bagaimana Indonesia sebagai negara berkembang menyikapi implikasi dari disrupsi? Jawaban atas dua pertanyaan pokok ini akan dipaparkan dalam bingkai pemikiran Francis Fukuyama.
- BEBERAPA KONSEP TENTANG DISRUPSI
Menurut arti leksikalnya disrupsi (disruption) sesungguhnya memiliki arti yang hampir seragam. KBBI mengartikan disrupsi sebagai "tercabut dari akarnya".[1] Dalam The Universal Dictionary of the English Language kata disruption diartikan sebagai "hancur berkeping-keping, terpotong, terputus dan terpisah".[2] Sedangkan dalam The Oxford Dictionary of Current English, kata disrupt yang merupakan kata dasar dari disruption diterjemahkan sebagai pecah atau putus.[3]Â
Dalam terjemahan yang umum, disruption diartikan sebagai gangguan. Bila dihubungkan semua terjemahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa disruption adalah gangguan yang dapat menyebabkan sesuatu tercabut dari sistem, cara, bentuk, atau bahkan regulasi yang lama. Apakah gangguan tersebut membawa perubahan yang baik atau malah merusak? Jawabannya terletak pada cara menghadapi gangguan tersebut. Selanjutnya pada tulisan ini gangguan akibat teknologi akan disebut sebagai disrupsi teknologis yang merupakan terjemahan dari kata technological disruption. Penggunaan istilah ini menekankan gangguan yang bersumber dari perkembangan teknologi atau dengan kata lain dampak yang bersifat teknologis.Â
2.1 Â Â Â DISRUPSI MENURUT CLAYTON CHRISTENSEN
Clayton Christensen, seorang Profesor administrasi bisnis di Harvard Business School, menghubungkan disrupsi dengan inovasi.[4] Disrupsi adalah sebuah peluang, di mana sistem lama digantikan dengan cara yang baru yang lebih cepat, efisien dan kreatif. Disrupsi memang memberikan efek destruktif, tetapi destruktif yang kreatif yang karenanya timbul inovasi-inovasi untuk mengembangkan apa yang akan atau telah diusahakan.[5]Â
Dalam hal ini disrupsi membawa keuntungan ditambah lagi nilai-nilai yang timbul dari buah-buah inovasi dan kreativitas tersebut. Jadi, suatu perusahaan atau seorang pelaku usaha mungkin saja pada awalnya mengalami kesulitan saat menghadapi berbagai macam perubahan yang diakibatkan oleh berkembangnya teknologi informasi. Perusahaan atau pelaku usaha pun memilih untuk membenahi diri, membaca peluang gangguan tersebut dengan menciptakan inovasi dan kreativitas yang mendongkrak kinerja perusahaan atau pelaku usaha tersebut sehingga menjadi semakin baik.[6] Dari cara pandang Christensen, dapat disimpulkan bahwa disrupsi memberi efek yang baik dalam bidang ekonomi, industri, dan keuangan bagi mereka yang bisa melihat peluang inovasi di balik gangguan yang timbul sebagai akibat dari perkembangan teknologi.
2.2 Â Â Â DISRUPSI MENURUT FRANCIS FUKUYAMA
      Fukuyama adalah seorang ilmuwan politik yang memiliki berbagai pengalaman di lembaga-lembaga pendidikan ilmu politik  sebagai seorang profesor maupun dalam lembaga pemerintahan.[7] Ia menaruh perhatian pada negara dengan segala persoalannya dan kebangkitan demokrasi liberal. Pokok pemikiran ini mewarnai buku-buku yang ia tulis. Demikian dengan tulisannya tentang The Great Disruption yang secara khusus mengkaji gangguan yang ditimbulkan oleh teknologi terhadap tatanan sosial kepada individu atau kelompok dalam suatu negara.[8] Berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Christensen, Fukuyama justru melihat bahwa perkembangan teknologi yang kian canggih menciptakan disrupsi yang membuat tatanan sosial menjadi rusak.Â
Menurut Fukuyama, disrupsi teknologis mengakibatkan merosotnya nilai dan norma dalam masyarakat yang ditandai dengan hilangnya kepercayaan, meningkatnya angka kriminalitas, ikatan keluarga yang semakin rapuh dan berimbas pada meningkatnya angka perceraian serta maraknya kelahiran anak tanpa ayah. Bagi dia, teknologi yang kian berkembang membentuk masyarakat informasi dan menciptakan ketergantungan yang memperburuk tatanan sosial.[9] Meskipun demikian, kodrat manusia untuk mengembangkan nilai dan norma serta mengorganisasikan diri akan membuat manusia mampu menghadapi terjangan disrupsi dan mencegah rusaknya tatanan sosial. Maka suatu tatanan sosial yang rusak akan mampu dibenahi karena kapasitas manusiawi yang memproduksi kembali nilai dan norma yang rusak tersebut.
- Fukuyama melakukan kajian tentang bagaimana disrupsi teknologis  merusak tatanan sosial secara lebih khusus menyentuh social capital. Gagasan utamanya dipengaruhi oleh pandangan Hegel  mengenai dunia yang telah tiba pada apa yang ia sebut sebagai akhir sejarah. Akhir sejarah itu ditandai oleh runtuhnya ideologi-ideologi komunis, kepemimpinan diktator dan rezim-rezim yang bertolak belakang dengan demokrasi liberal. Dengan konteks pemikiran itu, bagi Fukuyama perkembangan teknologi menjadi pendukung tercapainya demokrasi liberal.[10] Namun sayangnya teknologi tersebut memberikan efek destruktif yang besar karena memberikan ingsutan-ingsutan pada social capital yang seharusnya menjadi dasar bagi tatanan sosial.Â
Fukuyama mengartikan disrupsi sebagai guncangan atau kekacauan pada tatanan sosial. Teknologi yang berkembang pesat memberi suatu loncatan ke belakang bagi kehidupan masyarakat. Loncatan yang dimaksud adalah kebobrokan pada tatanan sosial sebagai akibat dari mangkirnya nilai dan norma yang adalah modal sosial atau social capital. Akibatnya, social capital (modal sosial) pun berubah.[11] Tatanan sosial (social order) yang dimaksudkan oleh Fukuyama tidak lain adalah lingkungan sosial di mana individu-individu di dalamnya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan nilai dan norma yang dianut.Â
Tatanan sosial ini merusak social capital. Social capital atau modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dianut oleh masyarakat dalam suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka.[12] Jadi tatanan sosial adalah tempat di mana modal sosial terbentuk atau diproduksi. Tentang ini Fukuyama menulis: "Social capital memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang kompleks untuk mengikat bersama demi membela kepentingan mereka, yang mungkin diabaikan oleh negara yang kuat."[13]Â
- Terjadi kemerosotan moral di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan semua itu menjadi lebih jelas dengan data statistik yang ia sajikan. Bahkan telah terjadi sejak era revolusi industri yang pertama.[14] Keadaan berikutnya lebih diperparah lagi oleh akibat-akibat dari perang dunia yang melumpuhkan perekonomian. Teknologi yang digunakan untuk kebutuhan perang, pembangunan yang menciptakan urbanisasi, munculnya inovasi-inovasi di bidang industri dan teknologi informasi ternyata mempengaruhi tatanan sosial di mana social capital terbentuk. Lahirnya teknologi informasi telah menciptakan arus homogenisasi tanpa memperhatikan arus sejarah terbentuknya tatanan sosial tersebut. Â Ikatan keluarga yang menurun, munculnya gemeinschaft dan gesellschaft, kebebasan dan persamaan, dan lahirnya teknologi sains modern menandai tatanan sosial yang terpapar disrupsi.[15] Meskipun tidak menutup mata terhadap pengaruh positif dari disrupsi teknologis, Fukuyama tetap berpendirian bahwa implikasi yang dihasilkan oleh disrupsi teknologis jauh lebih negatif dibandingkan sisi positif yang dihasilkan.Â
- Â
- Fukuyama menunjuk implikasi dari disrupsi teknologis terhadap tatanan sosial. Ia membaginya ke dalam tiga bagian besar, yakni tingkat kejahatan atau kriminalitas yang meningkat, kehidupan keluarga yang semakin rapuh, dan radius kepercayaan yang semakin sempit. Kejahatan sendiri memiliki bentuk tersendiri sesuai dengan perkembangan revolusi industri masing-masing era. Semakin canggih teknologi yang diciptakan, bentuk kejahatan yang terjadi justru mengikuti dan memanfaatkan perkembangan tersebut.[16] Disrupsi teknologis juga telah meletakkan keluarga pada kejatuhan jangka panjang dan berakibat fatal bagi fungsi reproduksi, tingkat perceraian yang meningkat, serta meningkatnya jumlah kelahiran anak-anak tanpa ayah.[17] Fukuyama juga melihat kemerosotan tingkat kepercayaan publik maupun pribadi sebagai akibat dari disrupsi teknologis. Kecanggihan teknologi mengakibatkan terjadinya keterbukaan akses informasi secara cepat dan mendalam, yang mengondisikan keterbukaan informasi tetapi juga menjadi sarana untuk mempengaruhi dan memprovokasi individu atau masyarakat tertentu.[18]
- Â
- MENYIKAPI DISRUPSI TEKNOLOGIS DI INDONESIA
Bagaimana Indonesia menghadapi gempuran disrupsi teknologis sekarang ini? Dengan berkaca pada pandangan Francis Fukuyama, dapat diutarakan pertanyaan lebih lanjut mengenai kapasitas manusiawi, rekonstruksi tatanan sosial yang diusahakan, hingga peran negara dan agama.
Â
3.1 Â Â Â KONDISI SOCIAL CAPITAL DI INDONESIA
Â
Perkembangan teknologi mewarnai perjalanan Indonesia beberapa tahun terakhir, seperti hadirnya startup yang bahkan kini telah menjelma menjadi unicorn atau perusahaan rintisan yang telah memiliki valuasi hingga satu miliar dolar AS. Startup tersebut adalah Go-jek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak. Tidak ada yang akan menyangka jika tiga perusahaan besar ini dirintis oleh anak-anak milenial.
Â
      Apakah perkembangan tersebut bisa dikatakan adil untuk Indonesia? Catatan Bank Dunia termasuk Biro Sensus Amerika Serikat mengenai jumlah penduduk setiap negara di dunia menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 267,7 juta jiwa. Di atas Indonesia ada Amerika Serikat dengan jumlah 327,2 juta jiwa.[19] Untuk negara dengan perkembangan ekonomi seperti Indonesia, jumlah 267,7 juta penduduk merupakan jumlah terlampau besar. Karenanya Indonesia tidak boleh berat sebelah dalam arti menggenjot laju pertumbuhan ekonomi, tanpa diimbangi dengan tatanan sosial yang kokoh dengan social capital  dalamnya. Bagaimana dengan moralitas individu-individu di dalamnya? Sejauh mana kapasitas manusiawi benar-benar beroperasi dan mengondisikan lahirnya social capital?Â
Â
       Perhatikan bahwa beberapa tahun terakhir Indonesia  kewalahan menghadapi konflik-konflik yang penyebabnya adalah tidak bijaknya individu dalam memanfaatkan teknologi digital yang berkembang pesat. Misalnya kasus penistaan agama yang didakwa terhadap mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau yang biasa disapa Ahok. Ahok divonis penjara selama 2 tahun karena terbukti melakukan penistaan terhadap agama Islam dengan menyebut surat Al-Maidah dalam sambutannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 9 Mei 2017. Masalah bermula dari video yang diedit dan disebarkan sehingga menghasilkan satu video yang dinilai menodai agama Islam.[20]
Â
Berita bohong (hoax) juga  hampir sering menjadi sumber-sumber konflik di tengah masyarakat. Misalnya yang terjadi pada tahun 2019 dalam suasana pemilihan presiden dan wakil presiden. Penyebabnya masih sama, individu yang tidak mampu membaca perkembangan teknologi digital secara baik dan positif.[21] Salah satu alasan orang mudah percaya kepada berita bohong pernah diungkapkan oleh Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2018). Menurutnya, dewasa ini ada kecenderungan masyarakat dunia mengandalkan media untuk menambah pengetahuan, untuk membuat hal-hal rumit dapat dimengerti dalam waktu relatif singkat. Ini disebabkan karena mereka tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk mengikuti perkembangan dunia yang sibuk ini. Media pun dituntut untuk mampu menghadapi tantangan baru pada Zaman Informasi. Bukan hanya waktu siar dan halaman yang hampir tak terbatas; konsumen pun berhadap semua ruang itu diisi dengan cepat dan diperbaharui terus-menerus.[22] Di sisi lain, jangan sampai kenyataan negatif dari teknologi dalam tatanan sosial menutup mata kita. Hadirnya teknologi digital yang semakin canggih juga memberi sumbangan yang patut diperhitungkan dalam pembentukan tatanan sosial.
Â
 Contoh yang paling aktual ialah apa yang terjadi di tengah pandemi covid-19 ini. Teknologi semakin digalakkan untuk melancarkan komunikasi dan interaksi entah kepentingan pribadi maupun kelompok. Misalnya sebelum pandemi ini terjadi, banyak yang acuh dengan manfaat dari teknologi live streaming atau video conference. Namun saat pandemi melumpuhkan aktivitas masyarakat, hampir semua lini kehidupan masyarakat membutuhkan layanan tersebut.Â
Sekolah, perusahaan, lembaga pemerintah bahkan aktivitas keagamaan memanfaatkan layanan ini. Tapi ada kenyataan yang menarik di balik fakta tersebut, yakni timbulnya kesadaran akan pentingnya komunikasi yang membutuhkan interaksi tatap muka meskipun secara virtual. Misalnya, dosen memastikan untuk melakukan penjelasan secara streaming sambil melihat langsung wajah mahasiswanya di layar komputer. Meskipun tetap terasa kurang lengkap karena tidak ada perjumpaan secara langsung, namun teknologi ini telah meminimalisir hambatan dalam mendidik para mahasiswa tersebut. Di sini dapat dilihat sumbangsih berarti dari teknologi dalam membantu memberdayakan kapasitas manusiawi individu-individu tersebut
Pandemi covid-19 juga telah menyumbang kesan mendalam tentang radius kepercayaan terhadap para pakar, bukan saja di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Respons masyarakat dunia terhadap pandemi ini telah menggambarkan seberapa jauh peradaban dunia bergerak. Alasannya, berkat pandemi ini masyarakat dunia yang adalah masyarakat informasi dengan kerentanan akan disrupsi teknologis, telah memperlihatkan suatu pandangan yang sama tentang beberapa cara menangani pandemi.Â
Misalnya, menggunakan masker, mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer, dan menjaga jarak. Sekurang-kurangnya fakta tersebut menjadi alasan untuk mengklaim bahwa teknologi informasi masih menyumbang pengaruh yang baik bagi tatanan sosial. Informasi di media masa tentang penanganan pandemi masih bisa dipertahankan kebenarannya walau kepatuhan untuk mengikuti anjuran tersebut masih kurang.
Â
3.2 Â Â Â MENDESAKNYA REKONSTRUKSI TATANAN SOSIAL
      Rekonstruksi tatanan sosial sangat diperlukan di Indonesia. Revolusi Industri 4.0 telah membuka mata kita, bahwa teknologi melaju begitu pesat. Karenanya apabila tidak disikapi dengan merekonstruksi tatanan sosial, maka yang terjadi adalah perubahan yang destruktif seperti contoh kasus yang ditampilkan di atas. Maka selain mengusahakan kesadaran masyarakat akan kapasitas manusiawi mereka, hal lain yang perlu diperhatikan adalah keluarga sebagai lembaga primer yang mendidik dan membentuk individu, menekan tingkat kejahatan, dan akhirnya meningkatkan radius kepercayaan.
      Data Badan Pusat Statistik melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), mencatat meningkatnya tingkat perceraian pada keluarga-keluarga di Indonesia terhitung sejak tahun 2016-2018. Di tahun 2018 ada 419,2 ribu keluarga yang secara resmi bercerai. Selain itu pernikahan di bawah umur juga naik 14,18% pada tahun 2018.[23] Ini adalah persoalan serius yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bentuk nyata dari great disruption di negara ini. Belum ada data tentang tingkat perceraian di Indonesia selama pandemi covid-19 ini. Namun negara lain seperti Cina, terjadi peningkatan kasus perceraian selama pandemi.Â
Pasalnya, pasangan yang tadinya hanya berjumpa beberapa jam dan setelah itu hanya berkontak melalui media sosial, kini harus bersama selama 24 jam dan akhirnya mengetahui keburukan satu sama lain.[24] Pertanyaannya sekarang, apakah fakta ini meruntuhkan pandangan Fukuyama yang mengatakan bahwa terjadi perubahan positif saat keluarga lebih menghabiskan banyak waktu di rumah ketimbang di tempat bekerja (hlm. 78)? Tentu tidak bisa disimpulkan sesederhana itu.Â
Fukuyama berbicara dalam konteks adanya kesadaran yang paling mendasar, yakni akan kapasitas manusiawi yang diaktualisasikan dengan baik. Sehingga, kualitas pertemuan di rumah berbuah menjadikan ikatan keluarga membaik. Namun fakta yang terjadi di Cina saat pandemi berlangsung justru menunjukkan tidak adanya kualitas dalam perjumpaan tersebut. Perceraian bisa terjadi karena kebersamaan tersebut tidak diikuti kesadaran untuk menjalin relasi yang konstruktif, yang mana bisa melahirkan nilai-nilai untuk keharmonisan keluarga tersebut. Perjumpaan selama pandemi malah sebaliknya. Yakni, diwarnai penolakan akan fakta yang dijumpai, bukan justru memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengonstruksi kembali ikatan keluarga itu menjadi semakin erat. Dasarnya sekali lagi kesadaran masing-masing individu akan kapasitas kodrati dalam dirinya.Â
      Indonesia memang tengah memasuki Industri 4.0. Berpatokan dari data perceraian di Indonesia yang mengalami peningkatan (hlm. 89), maka dapat dikatakan bahwa awal revolusi industri 4.0 dengan akses informasi yang begitu luas, belum sepenuhnya menjadi instrumen yang mempererat ikatan keluarga-keluarga di Indonesia. Pemanfaatan teknologi yang salah mungkin adalah salah satu alasan melemahnya ikatan keluarga-keluarga ini. Situasi di awal revolusi industri seperti ini sebenarnya pernah dialami juga di kota-kota besar yang lebih awal mengalami revolusi industri pertama. Pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri masa itu membuat kondisi para pekerja bahkan lingkungan mereka memburuk.Â
Perhatian berlebihan pada pekerjaan membuat waktu berama keluarga terpakai habis untuk perkerjaan, lingkungan menjadi suram, penuh sesak, dan tercemar.[25] Revolusi industri 4.0 adalah lompatan raksasa dari revolusi industri pertama, namun ketidaksiapan menghadapi perubahan ini juga membawa dampak buruk bagi perkembangan keluarga-keluarga. Kesejahteraan keluarga dapat menjadi alasan bagi keluarga-keluarga di era ini untuk runtuh. Bagaimana tidak? Terhitung sejak tahun 2015 hingga tahun 2025 bahkan lebih, saat generasi baby boomer pensiun, diperkirakan akan ada dua juta kesenjangan keterampilan pekerja di bidang manufaktur.[26] Belum terhitung dengan bidang-bidang lain yang mungkin akan memiliki dampak yang sama. Jika ini terjadi, maka banyak keluarga yang akan mengalami krisis finansial karena tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Perpecahan keluarga karena alasan ini pun kemungkinan besar akan terjadi.Â
Â
      Tentang tingkat kejahatan di Indonesia sendiri Statistik Kriminal dari Badan Pusat Statistik mencatat terjadi penurunan setiap tahunnya. Tingkat resiko terkena kejahatan untuk setiap 100 ribu penduduk juga menurun setiap tahunnya. Tetapi fakta lain tingkat kejahatan dengan memanfaatkan teknologi digital atau cyber crime mengalami pertumbuhan. [27]Â
Â
Sebenarnya fakta bahwa adanya peningkatan cyber crime tidaklah mengagetkan bila dikontekskan dengan revolusi industri 4.0. Ketika industri ini dimulai (2011), banyak negara yang mengklaim bahwa industri infrastruktur dan industri lainnya akan mengalami peningkatan dalam produksinya. Â Kemudian, keamanannya pun semakin terjamin, alasannya, proses kontrol yang dianggap lebih mudah karena semua menjadi online. Empat tahun berikutnya, yakni tahun 2015, seorang peretas dari Ukraina mengancam jaringan listrik setempat dengan menginfeksi jaringan operator IT dengan virus yang ia sembunyikan dalam file Excel. Setelah penyelidikan dilakukan, terbukti bahwa 39,2% komputer operasional infrastruktur industri telah menjadi target serangan. Publik kemudian menjadi lebih yakin dengan serangan cyber.[28]Â
Â
Kasus peretasan di Indonesia selama ini belum begitu marak, dan masih dominan pada pembajakan media sosial. Namun penyebaran berita bohong telah menunjukkan bahwa akses informasi yang semakin luas dan cepat akibat dari revolusi industri 4.0 memberi efek destruktif yang jauh lebih besar bagi perkembangan sumber daya manusia di negara ini. Maraknya berita bohong yang memprovokasi masyarakat telah membuat ikatan-ikatan di dalamnya mengalami perenggangan yang sangat serius (hlm. 86). Hal ini menjadi sangat fatal saat berita bohong tersebut menyerang salah satu agama. Maka, bukan hal yang sepele jika diusahakan sebuah rekonstruksi tatanan sosial yang pertama-tama menyentuh kesadaran bersama tentang nilai dan norma yang harus diperjuangkan, untuk menyatukan kembali bangsa ini. Itulah mengapa pembangunan di era ini tidak boleh mengesampingkan pengembangan sumber daya manusianya. Rekonstruksi harus pertama-tama mengubah individunya, dan itu yang dikatakan oleh Fukuyama, yakni sebuah kesadaran akan kemampuan manusia untuk mengorganisasikan dirinya dan memproduksi nilai dan norma dalam tatanan sosial tempat ia hidup. Lagi-lagi persoalan ini akan menuntun kita pada kehidupan keluarga yang benar-benar mengalami disruptive mindset. Maksudnya, keluarga yang mampu menghadapi laju perkembangan revolusi industri ini dengan mengubah cara pandangnya tentang teknologi. Di mana, teknologi dilihat sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupannya dan menjadi sarana memproduksi social capital di dalamnya.
Â
      Imbas dari great disruption di Indonesia berdasarkan fakta-fakta tadi adalah persoalan radius kepercayaan yang mengalami kemerosotan. Sebagai akibat dari meningkatnya kejahatan dengan teknologi digital, kepercayaan masyarakat terhadap e--commerce juga cukup rendah. Bukan hanya untuk penawaran barang, tetapi juga untuk jasa. Digital Trust Index mencatat dari hasil surveinya, bahwa kepercayaan yang rendah berawal dari pengalaman menjadi korban penipuan transaksi online. Indonesia bahkan hampir sejajar dengan negara sekelas Singapura dan Hongkong. Di dua negara itu, tingkat kepercayaan juga rendah.[29] Fakta ini menunjukkan bagaimana rekonstruksi belum begitu digalakkan untuk menyasar kepercayaan masyarakat. Seperti yang dijelaskan di atas, berita bohong dan provokasi di media sosial yang memanfaatkan laju perkembangan teknologi digital membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi semakin kecil. Jika di satu sisi ada banyak yang terprovokasi dan menggelar demonstrasi besar-besaran saat membaca atau menonton sebuah berita bohong, di sisi lain masyarakat yang mengetahui bahwa berita itu tidak benar, semakin terpuruk dalam keadaan sangsi akan data-data dan bahkan layanan melalui teknologi digital. Â
Â
      Fakta lain, masyarakat informasi telah terpapar teknologi digital yang membuat mereka merasa tahu akan segalanya. Di era informasi ini hampir tidak ada argumen yang tidak dapat terselesaikan. Kini masing-masing orang membawa lebih banyak informasi di ponselnya dibandingkan dengan total informasi yang di sebuah perpustakaan nasional. Dengan kata lain teknologi seolah membuat individu menjadi perpustakaan berjalan hanya dengan modal tablet atau hand phone di tangannya. Akibatnya apa? Orang tidak lagi sepenuhnya mengandalkan para ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Internet telah membuat individu di era informasi berpura-pura memiliki prestasi intelektual seolah tahu segalanya hanya dengan ponsel di tangannya.[30] Konsekuensi lebih lanjut ialah orang tidak mau lagi mendalami sesuatu secara lebih jauh dengan berdiskusi dengan para ahli atau mencari kebenarannya dengan melihat literatur atau membaca sumber-sumber kepustakaan. Internet menawarkan informasi yang singkat dan cepat di akses, namun tidak memedulikan kesalahpahaman akan informasi yang bias dan multi tafsir tersebut. Sampai di sini bisa dipahami kenapa banyak anak muda terutama mahasiswa di Indonesia yang mudah terlibat demonstrasi besar-besaran tanpa mengetahui substansi dari persoalan yang mereka tentangkan.[31] Dasarnya sama, yakni pengaruh informasi digital tanpa di verifikasi kembali.
Â
      Faktanya setiap individu punya kesadaran moral, namun kenyataannya perceraian meningkat, kejahatan dengan teknologi digital juga meningkat, rendahnya kepercayaan terhadap e-commerce, dan kecenderungan menelan mentah-mentah informasi dari internet. Ini mengindikasikan bahwa rekonstruksi belum terjadi atau mungkin sudah terjadi namun belum memperoleh hasil yang memuaskan. Di tengah mewabahnya pandemi covid-19 pun dengan angka kasus positif yang semakin meningkat dari hari ke hari, himbauan pemerintah bahkan tokoh agama pun tidak begitu diabaikan.
Â
Â
3.3 Â Â Â PERAN NEGARA DAN AGAMA
Â
Kesadaran akan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, kapasitas manusiawi untuk memproduksi social capital, dan peran keluarga sebagai lembaga primer yang mendidik individu harus didukung oleh peran negara dan agama. Sudah disinggung di beberapa bagian di atas bagaimana negara harus berkontribusi dalam merekonstruksi tatanan sosial. Tumbuhnya cyber crime menuntut peran lebih dari pemerintah untuk melindungi warga yang dipimpinnya. Dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu langkah penting yang dilakukan oleh negara. Namun kasus seperti yang dialami oleh kepala daerah tadi mengindikasikan belum terjadinya implementasi serius dari UU ITE ini dalam mencegah kejahatan melalui teknologi digital. Di sisi lain, pemanfaatan perkembangan teknologi digital juga harus dimaksimalkan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia. Hal ini perlu demi menanggapi fenomena yang dipaparkan di atas, di mana terjadi ilusi prestasi intelektual, yang mana seseorang merasa tahu segalanya berkat layanan informasi yang mudah diakses di internet dan mengabaikan para ahli untuk berdiskusi secara langsung atau meneliti dan memverifikasi kembali kebenaran informasi tersebut. Selain itu, negara juga perlu memperhatikan pendidikan untuk menumbuhkan moralitas dan disiplin pada generasi di era informasi ini. Â Tentang hal ini, Prof. J. Ohoitimur menulis:
Â
Moralitas akademik yang buruk dengan sendirinya akan menjadi pembusuk terhadap kebudayaan. Era disrupsi membawa serta peluang untuk sesuatu yang fundamental di bidang pendidikan tinggi, yaitu memastikan fondasi spiritual kebudayaan melalui pengembangan moral akademik yang terpuji.[32]
Â
Â
Sumber-sumber konflik yang membawa nama agama sering juga dimulai dari pemanfaatan teknologi yang keliru. Namun demikian agama tidak menutup diri terhadap perkembangan ini. Seperti disinggung sebelumnya, di era pandemi ini segala aktivitas keagamaan hampir selalu dicirikan dengan penggunaan teknologi live streaming atau video conference agar penganutnya dapat melakukan ritual keagamaan dengan baik dan terlayani.
Â
Agama di Indonesia mampu memberi peran besar dalam merekonstruksi tatanan sosial. Ini menjadi mungkin karena agama memainkan peran besar dalam membentuk moralitas individu-individu di negara ini. Agama-agama ini adalah sarana yang sangat ampuh dalam membantu memproduksi social capital. Namun beberapa tahun terakhir, tatanan politik hampir selalu diwarnai sentimen-sentimen religius. Searah dengan analisis Habermas mengenai era postsekular, dewasa ini di Indonesia, ideologi-ideologi kebangsaan semakin tergeser oleh ideologi-ideologi religius. [33] Maksud dari era postsekular di sini ialah situasi di mana terjadi proses saling belajar di dalam ruang publik antara warga sekular dan warga religius, dan di antara warga-warga agama yang berbeda.[34] Gusti A. Benoah menulis:
Â
Daya destruksi agama dengan mudah meluap karena ideologi religius bersifat totaliter. Sifat totaliter ideologi religius itu bersumber dari klaim agama bahwa kebenaran yang dimilikinya mutlak dan karena itu agama menuntut ketaatan tanpa reserve. Wujud totaliter dari ideologi-ideologi religius adalah fundamentalisme. Fundamentalisme adalah sikap menolak hak pihak lain untuk mempertanyakannya.[35]
Â
Â
Akibat dari fundamentalisme adalah kebencian terhadap siapa saja yang tidak mengikuti peraturan agama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa agama kembali ke ruang publik secara agresif dan cenderung mengintervensi demokrasi. Tentu ini adalah tantangan untuk Indonesia dalam memperjuangkan rekonstruksi tatanan sosial. Segala kebijakan yang tidak cermat dapat menghancurkan tatanan sosial itu sendiri. Namun jika tepat, maka rekonstruksi tatanan sosial sebagaimana yang terjadi di era Victorian di Inggris dan Amerika Serikat akan terjadi juga di Indonesia. Bahkan mungkin akan lebih gemilang dari itu, mengingat Indonesia yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Fukuyama menawarkan sebuah gerakan untuk kembali mengonstruksi tatanan sosial seperti yang terjadi pada abad ke 18-19. Ini tentang pola yang terjadi di Amerika Serikat, Inggris bahkan Jepang beberapa abad lalu. Pertanyaannya, apakah pola itu bisa terjadi kembali?
Â
Pola yang dimaksud oleh Fukuyama adalah upaya menormalkan kembali tatanan sosial yang pernah diusahakan di Inggris dan Amerika Serikat di tahun 1830-an dan seterusnya di era yang dinamakan sebagai era Victorian (1837-1901). Rupanya upaya itu mencapai keberhasilan monumental. Era di mana Ratu Victoria memerintah ini ditandai dengan keberhasilan dalam mengusahakan perdamaian, kemakmuran, kejayaan Inggris di kancah internasional dan tingginya rasa percaya diri masyarakat Inggris.[36] Era ini sebenarnya muncul sebagai bentuk reaksi atas kekacauan yang menyebar ke mana-mana pada abad itu, sebuah gerakan yang dengan sengaja menciptakan aturan-aturan sosial baru dan mencita-citakan berbagai kebajikan pada banyak penduduk yang terlihat sedang berkubang dalam kemerosotan. Gerakan ini dengan cepat juga diimpor ke Amerika Serikat pada era yang sama. Banyak lembaga yang berkontribusi dalam penyebaran ini, di antaranya lembaga. Keagamaan dan perubahan yang terjadi diklaim mencapai tingkatan yang luar biasa. Misalnya, orang yang pada tahun 1825 yang merupakan pelaku bisnis dari utara mendominasi istrinya dan anak-anaknya, bekerja dengan jam kerja tidak teratur, sangat banyak mengonsumsi alkohol, dan jarang memberikan suara atau pergi ke Gereja. Tetapi berkat rekonstruksi ini, sepuluh tahun kemudian orang yang sama pergi ke Gereja dua kali sepekan, memperlakukan keluarganya dengan kelembutan dan lain sebagainya.[37]Â
Â
Â
- Â PENUTUP
Â
Di akhir pembahasannya dalam buku The Great Disruption, Fukuyama mengajukan pertanyaan untuk masa depan yang diyakini akan menghadapi gempuran disrupsi akibat perkembangan teknologi yang terus berkembang. Pertanyaannya, apakah bentuk-bentuk kultural dari sebuah tatanan sosial akan dapat terus bertahan? Apakah basis kultural yang dibangun sekian lama mampu bertahan dari ancaman teknologi-teknologi yang akan datang? Sesungguhnya jawaban untuk dua pertanyaan Fukuyama tersebut telah terjawab melalui gagasannya tentang pentingnya kembali kepada kesadaran akan kodrat manusia dan kapasitas manusiawinya, merekonstruksi tatanan sosial, serta terakhir melibatkan negara dan agama di dalamnya.
Â
Pembahasan tentang cara menghadapi disrupsi teknologis memang secara esensial optimistik. Sebab teknologi secanggih apa pun tidak mampu mengubah kodrat manusia. Manusia tetaplah manusia yang sama, yakni sebagai makhluk sosial yang memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan moral dan kemampuannya untuk secara terus menerus mengorganisasikan diri. Karenanya keluarga yang hancur akibat disrupsi teknologis, radius kepercayaan yang sempit dan kejahatan yang tumbuh, tetap akan mampu dihadapi. Syarat utamanya adalah kesadaran akan kodrat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu-individu untuk memproduksi kembali social capital, keberanian untuk merekontruksi tatanan sosial, dan melibatkan negara dan agama. Teknologi memang akan terus mendisrupsi tatanan sosial. Ini kenyataan yang harus diterima dan dihadapi selama kita berada dunia. Sebab teknologi memang akan terus berkembang. Tetapi perubahan ini tidak selamanya bersifat destruktif. Ia malah akan mengonstruksi tatanan sosial selama digunakan secara tepat. Menilai apakah teknologi itu digunakan secara tepat atau tidak adalah kekhasan dari manusia itu sendiri dan sudah menjadi kodratnya.
Â
Kini yang tidak  boleh diabaikan adalah peran negara dan agama.  Peran agama bahkan akan melebihi negara itu sendiri. Hal ini bukan tentang kembali kepada tradisi keagamaan dan ortodoksinya melulu, tetapi karena agama akan membangkitkan hasrat  untuk bersatu membentuk komunitas yang erat, hadir sebagai by-product dari kepercayaan yang kaku, dan akhirnya paling utama menyadarkan setiap individu akan kapasitasnya untuk melakukan perbuatan moral.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
Â
BUKU
Â
Christensen, Clayton M. The Innovator's Dilemma: When Technologies Cause  Great Firms to Fail. Boston, Massachutes: Harvard Business School  Press, 1997.
Â
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York: The Free Press, 1992.
Â
Fukuyama, Francis. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. London: Profil Books, 1999.
Â
- Kasali, Rhenald. Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Dibuah sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017.
Â
Nichols, Tom. Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Terjemahan Ruth Meigi. Jakarta: Gramedia, 2018.
Â
Savitri, Astrid, Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0. Yogyakarta: Genesis, 2019.
Â
JURNAL
Â
Ohoitimur, Â Johanis. "Disrupsi: Tantangan bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bagi Lembaga Pendidikan Tinggi." Dalam Jurnal Respons, 23/2 (2018), hlm. 143-166.
Â
KAMUS
Â
Allen, R. E (ed). "Disrupt." dalam The Oxford Dictionary of Current English. New York: Oxford University Press, 1984.
Â
Departemen Pendidikan Nasional. "Disrupsi." dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Â
Wyld, Henry Cecil (ed). "Disruption." dalam The Universal Dictionary of the English Language. London: Gerorge Routeldge & Sons, 1934.
Â
DARI INTERNET
Â
Ayunda Paninta Kasih, "Angka Perceraian Meningkat Akibat Covid-19." Diunduh dari https://edukasi.kompas.com, 10 Juli 2020.
Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2019. Diunduh dari: https://www.bps.go.id/publication/, 10 Juli 2020.
IDC Corporate, Digital Trust Index. Diunduh dari https://www.idc.com, 10 Juli 2020. Â
Imam Hamdi, "Tolak Omnibus Law, Demonstrasi Mahasiswa dan Buruh Kepung Jakarta Hari Ini." Diunduh dari: Â www.metro.tempo.com,17 November 2020.
Mochamad Zhacky, "Kominfo Jaring 22 Hoax di April, Terbanyak Terkait Pilpres 2019." Diunduh dari: https://news.detik.com/berita/d-4516952/kominfo-jaring-2-hoax-di-april-terbanyak-terkait-pilpres-2019, 9 Oktober 2020.
Rina Atriana, "Ahok Divonis 2 Tahun Penjara". Diunduh dari: https://news.detik.com, 9 Oktober 2020.
Stanford University, "Francis Fukuyama." Diunduh dari https://fukuyama. stanford. edu/, 8 November 2019.
Survei Sosiasl Ekonomi Nasional, Permasalahan Nikah di Indonesia. Diunduh dari http://indonesiabaik.id/infografis/, 10 Juli 2020.
The World Bank, Population Dynamics. Diunduh dari: http://datatopics.worldbank.org, 10 Juli 2020.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI