Â
      Imbas dari great disruption di Indonesia berdasarkan fakta-fakta tadi adalah persoalan radius kepercayaan yang mengalami kemerosotan. Sebagai akibat dari meningkatnya kejahatan dengan teknologi digital, kepercayaan masyarakat terhadap e--commerce juga cukup rendah. Bukan hanya untuk penawaran barang, tetapi juga untuk jasa. Digital Trust Index mencatat dari hasil surveinya, bahwa kepercayaan yang rendah berawal dari pengalaman menjadi korban penipuan transaksi online. Indonesia bahkan hampir sejajar dengan negara sekelas Singapura dan Hongkong. Di dua negara itu, tingkat kepercayaan juga rendah.[29] Fakta ini menunjukkan bagaimana rekonstruksi belum begitu digalakkan untuk menyasar kepercayaan masyarakat. Seperti yang dijelaskan di atas, berita bohong dan provokasi di media sosial yang memanfaatkan laju perkembangan teknologi digital membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi semakin kecil. Jika di satu sisi ada banyak yang terprovokasi dan menggelar demonstrasi besar-besaran saat membaca atau menonton sebuah berita bohong, di sisi lain masyarakat yang mengetahui bahwa berita itu tidak benar, semakin terpuruk dalam keadaan sangsi akan data-data dan bahkan layanan melalui teknologi digital. Â
Â
      Fakta lain, masyarakat informasi telah terpapar teknologi digital yang membuat mereka merasa tahu akan segalanya. Di era informasi ini hampir tidak ada argumen yang tidak dapat terselesaikan. Kini masing-masing orang membawa lebih banyak informasi di ponselnya dibandingkan dengan total informasi yang di sebuah perpustakaan nasional. Dengan kata lain teknologi seolah membuat individu menjadi perpustakaan berjalan hanya dengan modal tablet atau hand phone di tangannya. Akibatnya apa? Orang tidak lagi sepenuhnya mengandalkan para ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Internet telah membuat individu di era informasi berpura-pura memiliki prestasi intelektual seolah tahu segalanya hanya dengan ponsel di tangannya.[30] Konsekuensi lebih lanjut ialah orang tidak mau lagi mendalami sesuatu secara lebih jauh dengan berdiskusi dengan para ahli atau mencari kebenarannya dengan melihat literatur atau membaca sumber-sumber kepustakaan. Internet menawarkan informasi yang singkat dan cepat di akses, namun tidak memedulikan kesalahpahaman akan informasi yang bias dan multi tafsir tersebut. Sampai di sini bisa dipahami kenapa banyak anak muda terutama mahasiswa di Indonesia yang mudah terlibat demonstrasi besar-besaran tanpa mengetahui substansi dari persoalan yang mereka tentangkan.[31] Dasarnya sama, yakni pengaruh informasi digital tanpa di verifikasi kembali.
Â
      Faktanya setiap individu punya kesadaran moral, namun kenyataannya perceraian meningkat, kejahatan dengan teknologi digital juga meningkat, rendahnya kepercayaan terhadap e-commerce, dan kecenderungan menelan mentah-mentah informasi dari internet. Ini mengindikasikan bahwa rekonstruksi belum terjadi atau mungkin sudah terjadi namun belum memperoleh hasil yang memuaskan. Di tengah mewabahnya pandemi covid-19 pun dengan angka kasus positif yang semakin meningkat dari hari ke hari, himbauan pemerintah bahkan tokoh agama pun tidak begitu diabaikan.
Â
Â
3.3 Â Â Â PERAN NEGARA DAN AGAMA
Â
Kesadaran akan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, kapasitas manusiawi untuk memproduksi social capital, dan peran keluarga sebagai lembaga primer yang mendidik individu harus didukung oleh peran negara dan agama. Sudah disinggung di beberapa bagian di atas bagaimana negara harus berkontribusi dalam merekonstruksi tatanan sosial. Tumbuhnya cyber crime menuntut peran lebih dari pemerintah untuk melindungi warga yang dipimpinnya. Dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu langkah penting yang dilakukan oleh negara. Namun kasus seperti yang dialami oleh kepala daerah tadi mengindikasikan belum terjadinya implementasi serius dari UU ITE ini dalam mencegah kejahatan melalui teknologi digital. Di sisi lain, pemanfaatan perkembangan teknologi digital juga harus dimaksimalkan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia. Hal ini perlu demi menanggapi fenomena yang dipaparkan di atas, di mana terjadi ilusi prestasi intelektual, yang mana seseorang merasa tahu segalanya berkat layanan informasi yang mudah diakses di internet dan mengabaikan para ahli untuk berdiskusi secara langsung atau meneliti dan memverifikasi kembali kebenaran informasi tersebut. Selain itu, negara juga perlu memperhatikan pendidikan untuk menumbuhkan moralitas dan disiplin pada generasi di era informasi ini. Â Tentang hal ini, Prof. J. Ohoitimur menulis: