Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyikapi Disrupsi Teknologis di Indonesia dalam Bingkai Pemikiran Francis Fukuyama

6 Desember 2020   17:50 Diperbarui: 6 Desember 2020   18:17 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut Fukuyama, disrupsi teknologis mengakibatkan merosotnya nilai dan norma dalam masyarakat yang ditandai dengan hilangnya kepercayaan, meningkatnya angka kriminalitas, ikatan keluarga yang semakin rapuh dan berimbas pada meningkatnya angka perceraian serta maraknya kelahiran anak tanpa ayah. Bagi dia, teknologi yang kian berkembang membentuk masyarakat informasi dan menciptakan ketergantungan yang memperburuk tatanan sosial.[9] Meskipun demikian, kodrat manusia untuk mengembangkan nilai dan norma serta mengorganisasikan diri akan membuat manusia mampu menghadapi terjangan disrupsi dan mencegah rusaknya tatanan sosial. Maka suatu tatanan sosial yang rusak akan mampu dibenahi karena kapasitas manusiawi yang memproduksi kembali nilai dan norma yang rusak tersebut.

  • Fukuyama melakukan kajian tentang bagaimana disrupsi teknologis  merusak tatanan sosial secara lebih khusus menyentuh social capital. Gagasan utamanya dipengaruhi oleh pandangan Hegel  mengenai dunia yang telah tiba pada apa yang ia sebut sebagai akhir sejarah. Akhir sejarah itu ditandai oleh runtuhnya ideologi-ideologi komunis, kepemimpinan diktator dan rezim-rezim yang bertolak belakang dengan demokrasi liberal. Dengan konteks pemikiran itu, bagi Fukuyama perkembangan teknologi menjadi pendukung tercapainya demokrasi liberal.[10] Namun sayangnya teknologi tersebut memberikan efek destruktif yang besar karena memberikan ingsutan-ingsutan pada social capital yang seharusnya menjadi dasar bagi tatanan sosial. 

Fukuyama mengartikan disrupsi sebagai guncangan atau kekacauan pada tatanan sosial. Teknologi yang berkembang pesat memberi suatu loncatan ke belakang bagi kehidupan masyarakat. Loncatan yang dimaksud adalah kebobrokan pada tatanan sosial sebagai akibat dari mangkirnya nilai dan norma yang adalah modal sosial atau social capital. Akibatnya, social capital (modal sosial) pun berubah.[11] Tatanan sosial (social order) yang dimaksudkan oleh Fukuyama tidak lain adalah lingkungan sosial di mana individu-individu di dalamnya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan nilai dan norma yang dianut. 

Tatanan sosial ini merusak social capital. Social capital atau modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dianut oleh masyarakat dalam suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka.[12] Jadi tatanan sosial adalah tempat di mana modal sosial terbentuk atau diproduksi. Tentang ini Fukuyama menulis: "Social capital memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam sebuah masyarakat yang kompleks untuk mengikat bersama demi membela kepentingan mereka, yang mungkin diabaikan oleh negara yang kuat."[13] 

  • Terjadi kemerosotan moral di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan semua itu menjadi lebih jelas dengan data statistik yang ia sajikan. Bahkan telah terjadi sejak era revolusi industri yang pertama.[14] Keadaan berikutnya lebih diperparah lagi oleh akibat-akibat dari perang dunia yang melumpuhkan perekonomian. Teknologi yang digunakan untuk kebutuhan perang, pembangunan yang menciptakan urbanisasi, munculnya inovasi-inovasi di bidang industri dan teknologi informasi ternyata mempengaruhi tatanan sosial di mana social capital terbentuk. Lahirnya teknologi informasi telah menciptakan arus homogenisasi tanpa memperhatikan arus sejarah terbentuknya tatanan sosial tersebut.  Ikatan keluarga yang menurun, munculnya gemeinschaft dan gesellschaft, kebebasan dan persamaan, dan lahirnya teknologi sains modern menandai tatanan sosial yang terpapar disrupsi.[15] Meskipun tidak menutup mata terhadap pengaruh positif dari disrupsi teknologis, Fukuyama tetap berpendirian bahwa implikasi yang dihasilkan oleh disrupsi teknologis jauh lebih negatif dibandingkan sisi positif yang dihasilkan. 
  •  
  • Fukuyama menunjuk implikasi dari disrupsi teknologis terhadap tatanan sosial. Ia membaginya ke dalam tiga bagian besar, yakni tingkat kejahatan atau kriminalitas yang meningkat, kehidupan keluarga yang semakin rapuh, dan radius kepercayaan yang semakin sempit. Kejahatan sendiri memiliki bentuk tersendiri sesuai dengan perkembangan revolusi industri masing-masing era. Semakin canggih teknologi yang diciptakan, bentuk kejahatan yang terjadi justru mengikuti dan memanfaatkan perkembangan tersebut.[16] Disrupsi teknologis juga telah meletakkan keluarga pada kejatuhan jangka panjang dan berakibat fatal bagi fungsi reproduksi, tingkat perceraian yang meningkat, serta meningkatnya jumlah kelahiran anak-anak tanpa ayah.[17] Fukuyama juga melihat kemerosotan tingkat kepercayaan publik maupun pribadi sebagai akibat dari disrupsi teknologis. Kecanggihan teknologi mengakibatkan terjadinya keterbukaan akses informasi secara cepat dan mendalam, yang mengondisikan keterbukaan informasi tetapi juga menjadi sarana untuk mempengaruhi dan memprovokasi individu atau masyarakat tertentu.[18]

  •  
  • MENYIKAPI DISRUPSI TEKNOLOGIS DI INDONESIA

Bagaimana Indonesia menghadapi gempuran disrupsi teknologis sekarang ini? Dengan berkaca pada pandangan Francis Fukuyama, dapat diutarakan pertanyaan lebih lanjut mengenai kapasitas manusiawi, rekonstruksi tatanan sosial yang diusahakan, hingga peran negara dan agama.

 

3.1       KONDISI SOCIAL CAPITAL DI INDONESIA

 

Perkembangan teknologi mewarnai perjalanan Indonesia beberapa tahun terakhir, seperti hadirnya startup yang bahkan kini telah menjelma menjadi unicorn atau perusahaan rintisan yang telah memiliki valuasi hingga satu miliar dolar AS. Startup tersebut adalah Go-jek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak. Tidak ada yang akan menyangka jika tiga perusahaan besar ini dirintis oleh anak-anak milenial.

 

            Apakah perkembangan tersebut bisa dikatakan adil untuk Indonesia? Catatan Bank Dunia termasuk Biro Sensus Amerika Serikat mengenai jumlah penduduk setiap negara di dunia menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 267,7 juta jiwa. Di atas Indonesia ada Amerika Serikat dengan jumlah 327,2 juta jiwa.[19] Untuk negara dengan perkembangan ekonomi seperti Indonesia, jumlah 267,7 juta penduduk merupakan jumlah terlampau besar. Karenanya Indonesia tidak boleh berat sebelah dalam arti menggenjot laju pertumbuhan ekonomi, tanpa diimbangi dengan tatanan sosial yang kokoh dengan social capital  dalamnya. Bagaimana dengan moralitas individu-individu di dalamnya? Sejauh mana kapasitas manusiawi benar-benar beroperasi dan mengondisikan lahirnya social capital? 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun