Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyikapi Disrupsi Teknologis di Indonesia dalam Bingkai Pemikiran Francis Fukuyama

6 Desember 2020   17:50 Diperbarui: 6 Desember 2020   18:17 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

            Data Badan Pusat Statistik melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), mencatat meningkatnya tingkat perceraian pada keluarga-keluarga di Indonesia terhitung sejak tahun 2016-2018. Di tahun 2018 ada 419,2 ribu keluarga yang secara resmi bercerai. Selain itu pernikahan di bawah umur juga naik 14,18% pada tahun 2018.[23] Ini adalah persoalan serius yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bentuk nyata dari great disruption di negara ini. Belum ada data tentang tingkat perceraian di Indonesia selama pandemi covid-19 ini. Namun negara lain seperti Cina, terjadi peningkatan kasus perceraian selama pandemi. 

Pasalnya, pasangan yang tadinya hanya berjumpa beberapa jam dan setelah itu hanya berkontak melalui media sosial, kini harus bersama selama 24 jam dan akhirnya mengetahui keburukan satu sama lain.[24] Pertanyaannya sekarang, apakah fakta ini meruntuhkan pandangan Fukuyama yang mengatakan bahwa terjadi perubahan positif saat keluarga lebih menghabiskan banyak waktu di rumah ketimbang di tempat bekerja (hlm. 78)? Tentu tidak bisa disimpulkan sesederhana itu. 

Fukuyama berbicara dalam konteks adanya kesadaran yang paling mendasar, yakni akan kapasitas manusiawi yang diaktualisasikan dengan baik. Sehingga, kualitas pertemuan di rumah berbuah menjadikan ikatan keluarga membaik. Namun fakta yang terjadi di Cina saat pandemi berlangsung justru menunjukkan tidak adanya kualitas dalam perjumpaan tersebut. Perceraian bisa terjadi karena kebersamaan tersebut tidak diikuti kesadaran untuk menjalin relasi yang konstruktif, yang mana bisa melahirkan nilai-nilai untuk keharmonisan keluarga tersebut. Perjumpaan selama pandemi malah sebaliknya. Yakni, diwarnai penolakan akan fakta yang dijumpai, bukan justru memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengonstruksi kembali ikatan keluarga itu menjadi semakin erat. Dasarnya sekali lagi kesadaran masing-masing individu akan kapasitas kodrati dalam dirinya. 

            Indonesia memang tengah memasuki Industri 4.0. Berpatokan dari data perceraian di Indonesia yang mengalami peningkatan (hlm. 89), maka dapat dikatakan bahwa awal revolusi industri 4.0 dengan akses informasi yang begitu luas, belum sepenuhnya menjadi instrumen yang mempererat ikatan keluarga-keluarga di Indonesia. Pemanfaatan teknologi yang salah mungkin adalah salah satu alasan melemahnya ikatan keluarga-keluarga ini. Situasi di awal revolusi industri seperti ini sebenarnya pernah dialami juga di kota-kota besar yang lebih awal mengalami revolusi industri pertama. Pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri masa itu membuat kondisi para pekerja bahkan lingkungan mereka memburuk. 

Perhatian berlebihan pada pekerjaan membuat waktu berama keluarga terpakai habis untuk perkerjaan, lingkungan menjadi suram, penuh sesak, dan tercemar.[25] Revolusi industri 4.0 adalah lompatan raksasa dari revolusi industri pertama, namun ketidaksiapan menghadapi perubahan ini juga membawa dampak buruk bagi perkembangan keluarga-keluarga. Kesejahteraan keluarga dapat menjadi alasan bagi keluarga-keluarga di era ini untuk runtuh. Bagaimana tidak? Terhitung sejak tahun 2015 hingga tahun 2025 bahkan lebih, saat generasi baby boomer pensiun, diperkirakan akan ada dua juta kesenjangan keterampilan pekerja di bidang manufaktur.[26] Belum terhitung dengan bidang-bidang lain yang mungkin akan memiliki dampak yang sama. Jika ini terjadi, maka banyak keluarga yang akan mengalami krisis finansial karena tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Perpecahan keluarga karena alasan ini pun kemungkinan besar akan terjadi. 

 

            Tentang tingkat kejahatan di Indonesia sendiri Statistik Kriminal dari Badan Pusat Statistik mencatat terjadi penurunan setiap tahunnya. Tingkat resiko terkena kejahatan untuk setiap 100 ribu penduduk juga menurun setiap tahunnya. Tetapi fakta lain tingkat kejahatan dengan memanfaatkan teknologi digital atau cyber crime mengalami pertumbuhan. [27] 

 

Sebenarnya fakta bahwa adanya peningkatan cyber crime tidaklah mengagetkan bila dikontekskan dengan revolusi industri 4.0. Ketika industri ini dimulai (2011), banyak negara yang mengklaim bahwa industri infrastruktur dan industri lainnya akan mengalami peningkatan dalam produksinya.  Kemudian, keamanannya pun semakin terjamin, alasannya, proses kontrol yang dianggap lebih mudah karena semua menjadi online. Empat tahun berikutnya, yakni tahun 2015, seorang peretas dari Ukraina mengancam jaringan listrik setempat dengan menginfeksi jaringan operator IT dengan virus yang ia sembunyikan dalam file Excel. Setelah penyelidikan dilakukan, terbukti bahwa 39,2% komputer operasional infrastruktur industri telah menjadi target serangan. Publik kemudian menjadi lebih yakin dengan serangan cyber.[28] 

 

Kasus peretasan di Indonesia selama ini belum begitu marak, dan masih dominan pada pembajakan media sosial. Namun penyebaran berita bohong telah menunjukkan bahwa akses informasi yang semakin luas dan cepat akibat dari revolusi industri 4.0 memberi efek destruktif yang jauh lebih besar bagi perkembangan sumber daya manusia di negara ini. Maraknya berita bohong yang memprovokasi masyarakat telah membuat ikatan-ikatan di dalamnya mengalami perenggangan yang sangat serius (hlm. 86). Hal ini menjadi sangat fatal saat berita bohong tersebut menyerang salah satu agama. Maka, bukan hal yang sepele jika diusahakan sebuah rekonstruksi tatanan sosial yang pertama-tama menyentuh kesadaran bersama tentang nilai dan norma yang harus diperjuangkan, untuk menyatukan kembali bangsa ini. Itulah mengapa pembangunan di era ini tidak boleh mengesampingkan pengembangan sumber daya manusianya. Rekonstruksi harus pertama-tama mengubah individunya, dan itu yang dikatakan oleh Fukuyama, yakni sebuah kesadaran akan kemampuan manusia untuk mengorganisasikan dirinya dan memproduksi nilai dan norma dalam tatanan sosial tempat ia hidup. Lagi-lagi persoalan ini akan menuntun kita pada kehidupan keluarga yang benar-benar mengalami disruptive mindset. Maksudnya, keluarga yang mampu menghadapi laju perkembangan revolusi industri ini dengan mengubah cara pandangnya tentang teknologi. Di mana, teknologi dilihat sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupannya dan menjadi sarana memproduksi social capital di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun