Akibat dari fundamentalisme adalah kebencian terhadap siapa saja yang tidak mengikuti peraturan agama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa agama kembali ke ruang publik secara agresif dan cenderung mengintervensi demokrasi. Tentu ini adalah tantangan untuk Indonesia dalam memperjuangkan rekonstruksi tatanan sosial. Segala kebijakan yang tidak cermat dapat menghancurkan tatanan sosial itu sendiri. Namun jika tepat, maka rekonstruksi tatanan sosial sebagaimana yang terjadi di era Victorian di Inggris dan Amerika Serikat akan terjadi juga di Indonesia. Bahkan mungkin akan lebih gemilang dari itu, mengingat Indonesia yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Fukuyama menawarkan sebuah gerakan untuk kembali mengonstruksi tatanan sosial seperti yang terjadi pada abad ke 18-19. Ini tentang pola yang terjadi di Amerika Serikat, Inggris bahkan Jepang beberapa abad lalu. Pertanyaannya, apakah pola itu bisa terjadi kembali?
Â
Pola yang dimaksud oleh Fukuyama adalah upaya menormalkan kembali tatanan sosial yang pernah diusahakan di Inggris dan Amerika Serikat di tahun 1830-an dan seterusnya di era yang dinamakan sebagai era Victorian (1837-1901). Rupanya upaya itu mencapai keberhasilan monumental. Era di mana Ratu Victoria memerintah ini ditandai dengan keberhasilan dalam mengusahakan perdamaian, kemakmuran, kejayaan Inggris di kancah internasional dan tingginya rasa percaya diri masyarakat Inggris.[36] Era ini sebenarnya muncul sebagai bentuk reaksi atas kekacauan yang menyebar ke mana-mana pada abad itu, sebuah gerakan yang dengan sengaja menciptakan aturan-aturan sosial baru dan mencita-citakan berbagai kebajikan pada banyak penduduk yang terlihat sedang berkubang dalam kemerosotan. Gerakan ini dengan cepat juga diimpor ke Amerika Serikat pada era yang sama. Banyak lembaga yang berkontribusi dalam penyebaran ini, di antaranya lembaga. Keagamaan dan perubahan yang terjadi diklaim mencapai tingkatan yang luar biasa. Misalnya, orang yang pada tahun 1825 yang merupakan pelaku bisnis dari utara mendominasi istrinya dan anak-anaknya, bekerja dengan jam kerja tidak teratur, sangat banyak mengonsumsi alkohol, dan jarang memberikan suara atau pergi ke Gereja. Tetapi berkat rekonstruksi ini, sepuluh tahun kemudian orang yang sama pergi ke Gereja dua kali sepekan, memperlakukan keluarganya dengan kelembutan dan lain sebagainya.[37]Â
Â
Â
- Â PENUTUP
Â
Di akhir pembahasannya dalam buku The Great Disruption, Fukuyama mengajukan pertanyaan untuk masa depan yang diyakini akan menghadapi gempuran disrupsi akibat perkembangan teknologi yang terus berkembang. Pertanyaannya, apakah bentuk-bentuk kultural dari sebuah tatanan sosial akan dapat terus bertahan? Apakah basis kultural yang dibangun sekian lama mampu bertahan dari ancaman teknologi-teknologi yang akan datang? Sesungguhnya jawaban untuk dua pertanyaan Fukuyama tersebut telah terjawab melalui gagasannya tentang pentingnya kembali kepada kesadaran akan kodrat manusia dan kapasitas manusiawinya, merekonstruksi tatanan sosial, serta terakhir melibatkan negara dan agama di dalamnya.
Â
Pembahasan tentang cara menghadapi disrupsi teknologis memang secara esensial optimistik. Sebab teknologi secanggih apa pun tidak mampu mengubah kodrat manusia. Manusia tetaplah manusia yang sama, yakni sebagai makhluk sosial yang memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan moral dan kemampuannya untuk secara terus menerus mengorganisasikan diri. Karenanya keluarga yang hancur akibat disrupsi teknologis, radius kepercayaan yang sempit dan kejahatan yang tumbuh, tetap akan mampu dihadapi. Syarat utamanya adalah kesadaran akan kodrat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu-individu untuk memproduksi kembali social capital, keberanian untuk merekontruksi tatanan sosial, dan melibatkan negara dan agama. Teknologi memang akan terus mendisrupsi tatanan sosial. Ini kenyataan yang harus diterima dan dihadapi selama kita berada dunia. Sebab teknologi memang akan terus berkembang. Tetapi perubahan ini tidak selamanya bersifat destruktif. Ia malah akan mengonstruksi tatanan sosial selama digunakan secara tepat. Menilai apakah teknologi itu digunakan secara tepat atau tidak adalah kekhasan dari manusia itu sendiri dan sudah menjadi kodratnya.
Â
Kini yang tidak  boleh diabaikan adalah peran negara dan agama.  Peran agama bahkan akan melebihi negara itu sendiri. Hal ini bukan tentang kembali kepada tradisi keagamaan dan ortodoksinya melulu, tetapi karena agama akan membangkitkan hasrat  untuk bersatu membentuk komunitas yang erat, hadir sebagai by-product dari kepercayaan yang kaku, dan akhirnya paling utama menyadarkan setiap individu akan kapasitasnya untuk melakukan perbuatan moral.