Â
Moralitas akademik yang buruk dengan sendirinya akan menjadi pembusuk terhadap kebudayaan. Era disrupsi membawa serta peluang untuk sesuatu yang fundamental di bidang pendidikan tinggi, yaitu memastikan fondasi spiritual kebudayaan melalui pengembangan moral akademik yang terpuji.[32]
Â
Â
Sumber-sumber konflik yang membawa nama agama sering juga dimulai dari pemanfaatan teknologi yang keliru. Namun demikian agama tidak menutup diri terhadap perkembangan ini. Seperti disinggung sebelumnya, di era pandemi ini segala aktivitas keagamaan hampir selalu dicirikan dengan penggunaan teknologi live streaming atau video conference agar penganutnya dapat melakukan ritual keagamaan dengan baik dan terlayani.
Â
Agama di Indonesia mampu memberi peran besar dalam merekonstruksi tatanan sosial. Ini menjadi mungkin karena agama memainkan peran besar dalam membentuk moralitas individu-individu di negara ini. Agama-agama ini adalah sarana yang sangat ampuh dalam membantu memproduksi social capital. Namun beberapa tahun terakhir, tatanan politik hampir selalu diwarnai sentimen-sentimen religius. Searah dengan analisis Habermas mengenai era postsekular, dewasa ini di Indonesia, ideologi-ideologi kebangsaan semakin tergeser oleh ideologi-ideologi religius. [33] Maksud dari era postsekular di sini ialah situasi di mana terjadi proses saling belajar di dalam ruang publik antara warga sekular dan warga religius, dan di antara warga-warga agama yang berbeda.[34] Gusti A. Benoah menulis:
Â
Daya destruksi agama dengan mudah meluap karena ideologi religius bersifat totaliter. Sifat totaliter ideologi religius itu bersumber dari klaim agama bahwa kebenaran yang dimilikinya mutlak dan karena itu agama menuntut ketaatan tanpa reserve. Wujud totaliter dari ideologi-ideologi religius adalah fundamentalisme. Fundamentalisme adalah sikap menolak hak pihak lain untuk mempertanyakannya.[35]
Â
Â