Keempat orang tersebut kemudian melakukan “hom-pim-pa”. Mereka memutuskan yang sedikit jumlah warna tangannya sama dengan yang lain, mendapat undian memanggil kepala dukun. Orang keempat yang beruntung tidak berlama-lama bertahan di bilik itu. Orang pertama, kedua, dan ketiga tinggal dan mulai sibuk membangunkan teman-teman yang lain.
“Hei, aku masih tidak yakin itu bayi setan,”
“Keras kepala! Kalau dia manusia, mungkinkah teman-teman kita hilang kesadaran seperti ini?”
“Benar, benar. Tidak mungkin dia ini manusia. Lihatlah wajahnya saja. Dia masih bayi, tapi alisnya sudah tebal dan panjang. Ujungnya malah sudah menyentuh telinga. Telinganya pun lebar dan turun, seperti anjing. Sementara hidungnya seperti kucing, giginya sudah mulai tumbuh dan lebih mirip serigala, tangannya berbulu seperti seekor simpanse. Belum lagi tangisannya seperti dengkuran babi. Apalagi kalau bukan setan?”
“Tapi, rahim yang merawatnya selama ini wanita, bukan? Tentu kalian mengenal Ratih. Dia teman kita sejak kecil,”
“Ah, paling Ratih bermain apa dengan setan atau Ratih sedang sial, jejaka tampan di matanya jati diri sesungguhnya adalah setan,”
“Aku tetap tidak habis pikir..,”
“Ya, ya, aku mengerti. Tapi, inilah kenyataan, bukan?”
“Bukan, bukan itu. aku tak habis pikir. Bayi ini tidak pernah meminta dia dilahirkan dalam bentuk seperti ini. Bahkan, kita pun tidak pernah meminta jadi manusia, lalu kenapa harus jadi seperti ini dia?”
Sampai badai reda, tidak ada dialog lagi setelah itu. Orang pertama dan orang ketiga terjebak juga dalam badai. Badai dalam hati mereka.
***