Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Beberapa Waktu di Neraka

22 Agustus 2011   15:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bapak berwajah kasar itu hanya diam, melongok sebentar ke arah papan nama, mengambil satu batang pulpen dari debu, dan mengotori papan nama yang telah saya bersihkan. “Koruptor” lagi.

“Hei, anak baru! Awas kamu kalau macam-macam lagi!”

Saya diam saja untuk menjawab hardikan itu. Percuma. Mau saya bersihkan lagi, ah, sebentar lagi juga kotor. Penjara memang bukan podium. Disini tidak perlu ramah tamah, apalagi senyum. Itukan hanya di dunia saja. Saya jadi tertawa sendiri, sinis, dan di dalam hati. Saya tidak diperbolehkan bicara. Saya manusia elegi.

Di sebelah bangsal koruptor tersebut, saya kemudian berjalan. Saya tertarik dengannya. Bangsal apakah yang persis ada di sebelah bangsal koruptor. Sampailah saya disini dan saya baca pelan-pelan,

“Aktivis,”

Semula saya tidak percaya dengan pendengaran saya. Kemudian, saya tidak percaya dengan cara baca saya. Saya usap mata saya berkali-kali. Saya tiup debu-debu di papan nama bangsal tersebut hingga mengkilat. Siapa tahu akan berubah. Namun, saya masih mendapatkan nama yang sama. Saya beranikan melongok ke dalam lewat jendela kecil dan tampaklah pada saya bangsal yang kosong. Saya lega, di atas sana masih ada pembela kebenaran. Beberapa hembusan napas, saya dengar ada gelak tawa disana. Bukan di bangsal aktivis, bukan juga di bangsal koruptor, tetapi di tengah-tengah. Ah, ketika saya mengintip jendela tadi saya kurang teliti. Saya tidak melihat ada lubang besar di bangsal aktivis ini ada lubang itu membuka jalan ke bangsal koruptor.

Saya dengar ada suara berat dan suara renyah bersatu. Saya rasa seperti itulah ketika forum generasi tua dan generasi penerus sedang berdiskusi, atau mungkin main kartu. Saya kembali lemas. Ternyata, setelah saya mengetahui sedikit dari banyak, saya saja sudah takut. Lalu, bagaimana dengan banyak?

Dengan hebat saya benturkan kepala saya—maksud saya pemahamanku terhadap kenyataan. Saya bersikeras pastilah ada bangsal yang masih kosong. Neraka ini ada pula bagian yang kosongnya. Saya pun berjalan dan berjalan. Sampailah saya di depan bangsal seniman. Saya pikir merekalah orang jujur.

Lagi-lagi saya harus berkecil hati karena bangsal ini penuh juga. Namun, beda dengan bangsal sebelumnya, penghuni bangsal-bangsal ini berpakaian dan bermuka bagus-bagus. Beberapa diantaranya saya pikir lebih cocok menekuni model daripada seniman. Banyak-banyak dari mereka bernyanyi. Aneh, inilah neraka, mereka seperti bernyanyi. Wajah dan gerak bibir mereka mengindikasikan itu. Tapi, tidak ada satu nada pun yang keluar dari lekuk kerongkongannya. Entah mereka terlalu sayang dengan suaranya sehingga harus terus-terusan diwakilkan atau juga pasar meminta mereka menyajikan muka, bukan talenta atau bisa juga memang itulah suara mereka atau juga…, ah, saya jadi pusing sendiri.

Pelan-pelan, tangis iseng merambat. Neraka memang lebih buruk daripada neraka. Saya terus berjalan dan berjalan hingga sampailah saya di ujung koridor. Bangsal terakhir, bangsal orang gila. Di ujung koridor ini terdapat tali yang dirangkai dengan kayu-kayu sedemikian rupa menjadi tangga. Saya longokkan kepala mencari ujung temali itu, saya tidak dapat menemukannya, tinggi sekali. Persis di sebelah tangga itu ada satu mading tak terurus, tapi ada satu pengumuman yang masih menempel dan memungkinkan saya baca. Sederhana isi pengumuman tersebut, tanda panah keatas berwarna merah dan dibawah tanda panah itu terbaca “dunia”.

Saya jadi ragu. Haruskah saya kembali ke dunia? Haruskah saya kembali untuk kemudian dibuang kembali? Tentu, saya harus memilih. Setelah saya teguk air ludah saya tiga kali, saya putuskan untuk naik saja ke dunia, apapun yang terjadi. Baru saya naiki anak tangga pertama, dari bangsal orang gila, ada seseorang yang bertegur sapa dengan saya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun