Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Sebagai Penyintas Covid-19 dengan Gagal Ginjal, Begini Caraku Melanjutkan Hidup

19 Juli 2021   05:30 Diperbarui: 26 Juli 2021   19:13 3211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku di ranjang RS Sentra Medika Cibinong dengan lengan kanan bengkak akibat infus. Foto milik sendiri.

"Gagal ginjal bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal baru bagi hidup yang tertata," -seorang teman-

Pagi 17 Juni 2021 aku bangun dengan wajah bengkak. Aku merasa melihat monster di cermin itu. Aku syok bukan main. Buru-buru kucuci wajah dan mengambil sebongkah es dan mengompres wajahku. Pagi itu aku ada kelas di Tempo Institute. Kupikir bengkak itu karena ku salah posisi tidur. 

Pada 20 Juni 2021 aku demam tinggi, sesak napas, batuk-batuk, gatal-gatal di seluruh tubuh, dan sangat tidak berselera makan. Hari itu aku sedang mengerjakan sebuah draft proposal untuk pekerjaan yang akan dimulai bulan Juli.

Keanehan lain yang kurasakan adalah mataku buram sehingga proses editing dan layout proposal terasa begitu beratnya. Saat draft itu selesai dan kukirim ke rekan kerjaku, aku tidur hingga pagi. 

Pagi 21 Juni 2021 adalah horror yang lain. Kali ini keluhanku ditambah dengan bengkak di kedua kaki. Bengkak ini menjadi parah jika aku beraktivitas seperti berjalan kaki atau mandi. 

Rasanya remuk redam tubuhku dan aku hanya bisa meringis menahan sakit. Aku tidak bisa makan, maka aku membeli 2 kg ubi cilembu dan merebusnya satu per satu agar bisa makan. Aku pun tidak punya antibiotik atau obat penurun panas. Yang ada hanya vitamin C. Kumakan vitamin C itu, berharap kondisiku membaik. 

Hari-hari tidak membaik dan aku merasa semakin kesulitan bergerak. Aku hanya berbaring atau selonjoran di ranjang. Semua upaya yang kulakukan untuk menyembuhkan bengkak sia-sia. 

Aku mengontak layanan dokter visit ke rumah, tapi aku ditolak karena memiliki keluhan sesak napas. Mereka menyarankan aku ke rumah sakit. Meski kakiku masih bengkak dan sangat sakit jika digunakan berjalan, aku terpaksa menuju RS Mitra keluarga Depok. 

Sesampainya di RS Mitra Keluarga Depok, aku harus mengisi formulir yang ternyata membuatku harus melakukan tes ISPA. Ya, aku ke bagian ISPA dan langsung ditodong untuk melakukan rongten. 

Hasil pemeriksaan manual dan rongten, dokter menyatakan bahwa aku Orang Dengan Gejala (ODG). Aku juga divonis memiliki anemia. Saat itu juga dokter memintaku melakukan Swab PCR dan dirawat di bangsal Covid-19. 

Hah? Bagaimana bisa ODG dirawat di bangsal Covid-19 sementara hasil PCR belum keluar. Hari itu juga aku disarankan membeli obat senilai Rp1.3 juta. Aku menolak membeli obat karena hasil PCR belum keluar. 

Aku pulang sembari menangis karena kakiku bukan hanya bengkak, tapi mengeras dan sangat sulit digunakan berjalan. Pihak RS menolak memeriksa bengkak di kaki aku karena hasil PCR belum keluar. 

Aku sangat resah dalam menunggu hasil PCR. Terutama karena dadaku sesak dan sakit bukan main. Ditambah batuk kering yang tiada henti. Pada 29 Juni pukul 23. 30 WIB aku menerima email berisi hasil PCR. Aku positif Covid-19. Aku menangis sembari menahan rasa sakit yang tidak terkira di sekujur tubuhku. Kupikir aku akan mati. 

Pada 30 Juni pukul 09.15 WIB seorang teman mengontakku bahwa hari itu akan ada ambulans yang menjemputku untuk dirawat di RSDC Wisma Atlet, di Jakarta. Sementara teman yang lain bergotong-royong membantuku mulai dari mengirimkan obat-obatan, makanan, suplemen, camilan hingga melakukan penggalangan dana di lingkaran pertemanan kami. 

Sore sekira pukul 16.00 WIB aku dijemput ambulans dari Human Initiative menuju Wisma Atlet. Di sana seorang suster membantuku mendapatkan kamar di mana kau dirawat. Aku mendapatkan kamar di tower 4 lantai 8 kamar 22. 

Penanganan pertama yang kuterima di Wisma Atlet adalah rongten dan tes darah. Aku juga diberi sejumlah obat-obatan untuk aku konsumsi pertama kali. Di Wisma Atlet, para nakes merawatku dengan baik. Mereka begitu ramah dan telaten, meski kerja dalam tekanan luar biasa. 

Pagi 3 Juli 2021 seorang dokter mengunjungiku di kamar dan mengatakan bahwa hasil tes lab menunjukkan bahwa aku mengalami gagal ginjal. Beliau mengatakan bahwa kadar ureum dan kreatinin dalam darahnya sangat tinggi, melebihi angka rujukan. Maka dokter tersebut menyarankan aku mencari RS rujukan agar aku bisa segera melakukan terapi hemodialisa atau cuci darah. 

Teman-temanku jadi hectic. Mereka bergotong royong mencarikan RS Rujukan agar aku bisa melakukan cuci darah. Seorang teman mengatakan aku telah didaftarkan ke RS Fatmawati, namun masih antre. Pada akhirnya, teman yang lain berhasil mendapatkan kamar untukku di RS Sentra Medika Cibinong, Bogor. 

Pada 4 Juni sekitar pukul 11 siang aku diantar ambulans ke RS Sentra Medika Cibinong dan langsung masuk IGD. Saking banyaknya pasien di IGD, aku baru ditangani dokter pukul 4 sore. 

Saat itu dokter langsung mengambil sampel darahku untuk di cek di laboratorium. Aku pun diantar ke kamarku di bangsal Covid-19. Di kamar itu sudah ada 3 pasien lain yang selalu batuk-batuk, mengeluh, hingga melenguh karena kadar oksigen mereka rendah. 

Lengan kiriku dipasang jarum infus, dan segera aku mendapat berbagai jenis perawatan mulai dari tenis darah, obat, dan lain-lain. Pagi 5 Juli 2021 aku menjalani cuci darah untuk pertama kali. 

Kulihat ada dua kantong darah yang digantung, darah orang asing yang memberikan efek kejut menyakitkan saat proses cuci darah dimulai. Karena aku pasien baru, aku menjalani cuci darah hanya 3 jam. 

Meski hanya 3 jam, proses itu sangat menyiksa. Seluruh tubuhku pegal bukan main serasa habis digebukin kayu. Aku menangis menahan sakit. 

Aku paham bahwa di dunia ini bukan hanya aku yang sakit gagal ginjal. ada jutaan orang dengan penyakit yang sama. Namun demikian, rasa sakit adalah derita personal bagi yang mengalaminya. Maka meski ada jutaan orang lain serupa penyakitku, tentu saja aku hanya fokus bagaimana berdamai dengan rasa sakit yang menikam tubuhku. 

Aku membaca buku, menonton film, drama dan dokumenter, meditasi, berdoa dan berdzikir sebagai bentuk komunikasi dengan tubuhku. Aku harus membaik dan sembuh. 

Aku dirawat di RS hingga pagi 18 Juli 2021, dengan segudang pengalaman baru dan pembelajaran hidup. Aku dinyatakan negatif Covid-19 pada 10 Juli 2021 dan berpindah kamar ke bangsal umum. 

Di sana ada 5 pasien lain dengan keluhan berat mulai dari sesak nafas kaut, memiliki benjolan di payudara kiri, hingga yang muntah-muntah sepanjang waktu karena memiliki masalah lambun akut. 

Selama 7 hari di bangsal umum, tangan kananku bengkak tak karuan karena sepanjang waktu ditusuk jarum infus. Entah sudah berapa banyak cairan obat masuk ke tubuhku melalui jarum infus tersebut. Yang pasti, ada satu jenis obat yang digunakan untuk membantu keluarnya carian dalam ubuhku melalui pipis.  

Ya, bagi pasien gagal ginjal pipis adalah sebuah kebahagiaan. Jika bisa pipis artinya obat bekerja dan tubuh masih mau diajak bekerja sama mengeluarkan racun. Meski seringkali aku menangis setiap kali suster menyuntikkan obat melalui selang infus karena begitu sakit dan perih, aku tetap tabah menerimanya demi bisa pipis. 

Setiap kali tubuhku memberi sinyal untuk pipis, aku dengan semangat ke kamar mandi untuk pipis. Bagiku kini pipis adalah salah satu sumber kebahagiaan. 

Karena masih baru di dunia gagal ginjal, aku memutuskan bergabung dengan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) cabang Bogor. Dari komunitas ini aku mendapat banyak informasi dan pembelajaran mengenai bagaimana pasien cuci darah melanjutkan hidup dengan ceria, bahagia,dan produktif. 

Informasi lain yang kudapatkan juga tentang bagaimana kesembuhan dicapai dengan rutin cuci darah, diet ketat dan mengelola pikiran agar tetap positif. 

Gambaran singkat proses cuci darah yang kujalani. Foto milik sendiri.
Gambaran singkat proses cuci darah yang kujalani. Foto milik sendiri.

Pada awalnya, divonis gagal ginjal membuatku merasa mendapat hukuman serius dari Tuhan. Aku merasa memasuki sebuah kurungan waktu yang akan memeras diriku menjadi calon mayat. Aku merasa direnggut dari hak asasi manusia bernama kebebasan menjalani hidup. 

Bagaimanapun, hidupku setelah ini ditentukan oleh jadwal cuci darah. Aku harus selektif soal apapun mulai dari makan minum, berkegiatan sosial hingga memilih pekerjaan. 

Namun demikian, teman-teman memberiku semangat bahwa menjadi pasien cuci darah bukan akhir dari segalanya, melainkan awal hidup baru yang lebih tertata, dan bisa jadi lebih baik. 

Mereka bilang, bisa jadi ini cara Tuhan menunjukkan cintaNya padaku agar hidupku lebih bermakna dan berkualitas dari tahun-tahun yang telah kujalani. Mereka memelukku dalam harapan dan doa. 

Mereka meminta aku sembuh agar tetap bisa membaca tulisan-tulisanku. Bahkan, ada diantara mereka yang mengirimkan obat herbal khas suatu daerah agar aku sembuh. 

Hari ini aku keluar RS dan terapiku dilanjutkan dengan rawat jalan. Inilah awal baru hidupku sebagai penyintas covid19 yang divonis gagal ginjal. Kumulai lembaran baru hidupku dengan semangat dan diet ketat. Kumulai jalan bau ini dengan harapan dan semangat, agar hidupku kedepan bukan hanya tertata, juga produktif dan bahagia. 

Pembaca, doakan aku agar tabah dan sabar menjalani sakit ini, bukan sebagai hukuman melainkan tugas baru agar hidupku lebih baik lagi. Doa pembaca sangat berarti bagiku dalam mengetuk pintu Tuhan dan meminta tanganNya membelaiku dengan kasihNya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun