"Saya sudah katakan, kita harus berani menghadapi dan memberantas korupsi," demikian disampaikan Prabowo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden. Pidato ini pun langsung direspon oleh Kejaksaan Agung dengan menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus impor gula saat Tom menjadi Menteri Perdagangan. Diduga kasus impor gula ini telah merugikan negara.
Benny K Harman, anggota Komisi III DPR, saat rapat kerja bersama Komisi III DPR dengan Jaksa Agung RI, berharap kasus Tom Lembong dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap kasus lainnya (Antara, 13 Desember 2024). Yang menarik, Benny juga mengatakan 'Mudah-mudahan itu pintu masuk yang betul, Pak Jaksa Agung' (Kompastv, 14 November 2024).
Apakah 9 tersangka baru pihak swasta kasus korupsi Tom Lembong, dimana 7 orang langsung ditahan (Kompas.com, 20 Januari 2025) merupakan indikasi bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka merupakan pintu masuk yang benar? Dan, mengapa bisa saja kasus Tom Lembong bukan pintu masuk yang benar untuk membongkar mafia impor gula? Dua pertanyaan yang menarik, yang tentunya akan terjawab setelah penyelidikan dan penyidikan selanjutnya, dan tentunya setelah putusan pengadilan dijatuhkan.
KPK dengan pimpinan yang baru juga tidak kalah gebrakannya. Hanya 7 hari setelah dilantik, pada tanggal 23 Desember 2024 KPK menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dugaan kasus tindakan pidana suap kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk pelantikan Harun Masiku sebagai anggota DPR. Penetapan Hasto sebagai tersangka kemudian diikuti dengan penggeledahan rumah Djan Faridz, mantan Ketua Umum PPP dan mantan anggota Wantimpres, terkait dengan kasus suap yang melibatkan buron Harun Masiku ini (detiknews, 26 Januari 2025).
Mudah-mudahan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto benar-benar merupakan pintu masuk bagi terbukanya kasus korupsi sistemik di Indonesia. Lalu bagaimana kasus korupsi sistemik di Indonesia dipotret dalam publikasi di jurnal ilmiah internasional?
Paling tidak ada empat artikel ilmiah terkait detil kasus korupsi di Indonesia. Artikel ini tentunya dapat terbit setelah melalui proses review yang ketat. Ada banyak artikel ilmiah di jurnal internasional tentang kasus korupsi di Indonesia, tetapi sependek pengetahuan saya, saya baru membaca empat artikel dengan penjelasan detil sistemik tentang kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya membaca artikel ini dan membahasnya membuat malu kita sebagai bangsa, tetapi kita tidak bisa mengingkarinya.
Dengan mengetahui pola sistemik kasus korupsi di Indonesia, harapannya pemberantasan dan pencegahan korupsi akan menjadi lebih mudah.
Potret Korupsi di Sektor Irigasi
Kasus korupsi yang mendarah daging di sektor irigasi dipotret oleh Diana Suhardiman dan Peter P. Mollinga dalam artikelnya "Institutionalised corruption in Indonesian irrigation: An analysis of upeti system". Artikel ini terbit di jurnal ilmiah Development Policy Review, Volume 35 (S2), halaman O140-O159, tahun 2017.
Suhardiman dan Mollinga menggunakan istilah institutionalized corruption atau upeti system untuk kasus korupsi yang sistemik. Mereka berdua membedakan penerima upeti menjadi dua. Pertama yaitu penerima langsung. Penerima langsung menerima persentase tertentu dari dana proyek. Sementara yang kedua yaitu penerima tidak langsung yang menerima bantuan pendanaan untuk biaya kesehatan, perjalanan, dan biaya studi dirinya dan/atau keluarganya. (lihat halaman 146).
Pejabat pemerintah memberikan upeti kepada atasannya sebagai imbalan untuk menduduki jabatan birokrasi tertentu yang diinginkannya (halaman 151). Orientasi pejabat pemerintah, baik yang disuap maupun yang menyuap, adalah memperkaya dirinya melalui jabatannya (wawancara dalam artikel tersebut dengan pensiunan pejabat).
Cara korupsinya adalah dengan memanipulasi laporan keuangan sedemikian rupa sehingga hampir tidak mungkin orang luar menemukan bahwa laporan keuangannya telah dimanipulasi. Modusnya adalah dengan menaikkan unit costs untuk konstruksi dan rehabilitasi sistem.
Upeti diberikan oleh pejabat dengan eselon lebih rendah kepada pejabat dengan eselon lebih tinggi. Pejabat eselon satu dan dua memanajemeni seluruh alokasi dana upeti. Alokasi dana tergantung pada eselonnya, dan pejabat dengan eselon yang sama akan menerima sejumlah dana yang sama (halaman 154).
Sistem upeti ini berpusat pada pimpinan proyek dan birokrat atasannya. Upeti bisa berupa uang, barang mewah atau layanan lain dari pejabat yang lebih rendah kepada atasannya dengan tujuan untuk memperoleh promosi jabatan dan/atau untuk memperoleh jabatan pimpinan proyek (halaman 155). Sebaliknya, atasannya akan menunjuk pimpinan proyek yang dapat digunakan sebagai mesin ATM.
Kata kunci untuk kasus korupsi di sektor irigasi adalah para pimpinan proyek. Pimpinan proyek dapat menjadi pintu masuk yang baik untuk membongkar kasus korupsi. Namun, maukah pimpinan proyek membuka jaringan korupsinya, jika suatu saat dia ditangkap? Itu masalahnya.
Mudah-mudahan, kasus seperti yang digambarkan Suhardiman dan Mollinga saat ini sudah tidak ada di Indonesia, mengingat artikel ini dipublikasikan pada tahun 2017 dan data yang digunakan berarti sebelum tahun tersebut.
Potret Korupsi di Operasi Pasar Khusus / Raskin
Potret kedua yang lebih memalukan adalah kasus 'hilangnya' sekitar 18% beras bersubsidi yang didistribusikan kepada masyarakat miskin melalui program Operasi Pasar Khusus atau yang sejak tahun 2001 dikenal sebagai raskin. Setiap rumah tangga miskin berhak untuk membeli 20 kg beras dengan harga sekitar 60% di bawah harga pasar.
Benjamin A. Olken menuliskannya dalam artikelnya "Corruption and the costs of redistribution: Micro evidence from Indonesia'. Artikel ini terbit di Journal of Public Economics, Volume 90, halaman 853-870, tahun 2006.
Metode yang digunakan Olken sangat sederhana yaitu dengan membandingkan data administratif jumlah beras yang didistribusikan dari gudang pemerintah dengan data jumlah beras yang benar-benar diterima oleh rumah tangga miskin berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Seratus Desa (SSD).
Beras yang 'hilang' cenderung terjadi di daerah yang secara etnis heterogen dan jarang penduduknya. Yang menarik adalah pola korupsinya. Jumlah beras yang 'hilang' terkonsentrasi di sejumlah kecil area. Sejumlah 66% beras yang hilang terjadi hanya di 10% desa/kelurahan yang disurvei. Cara mendeteksi siapa yang korupsi juga amatlah mudah.
Olken menelusur mekanisme OPK. Perangkat desa bertanggung jawab untuk mendistribusikan raskin ini ke rumah tangga miskin yang berhak. Perangkat desa, biasanya kepala desa, setiap bulannya akan dikirim sejumlah beras, yang kemudian dibagi-bagi oleh perangkat desa menjadi masing-masing 20 kg per bungkus.
Kemudian rumah tangga miskin akan membayar 20 kg beras tersebut dengan harga yang sudah disubsidi. Selama pemerintah menerima sejumlah uang yang harus dibayarkan dari total beras yang didistribusikan, pemerintah tidak akan melakukan monitoring mengenai bagaimana beras ini didistribusikan di masing-masing desa/kelurahan.
Penelitian tentang kasus ini dilakukan pada tahun 2001. Semoga saja saat ini sudah tidak terjadi lagi. Kunci dari korupsi di sektor ini yang diindikasikan dalam artikel ini adalah perangkat desa di desa yang secara etnis heterogen dan jarang penduduknya.
Potret Korupsi di Sektor Kehutanan
Artikel ketiga adalah tentang kasus korupsi di sektor kehutanan yang ditulis oleh empat orang. Judul artikelnya "Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan. Penulisnya J. Smith, K. Obidzinzki, Subarudi dan I. Suramenggala. Artikel ini terbit di International Forestry Review Volume 5(3), halaman 293-302, tahun 2003.
Artikel ini membedakan kasus korupsi di sektor kehutanan menjadi dua yaitu korupsi yang bersifat kolusif dan yang bersifat non kolusif. Korupsi yang non kolusif akan meningkatkan biaya bagi pihak swasta. Korupsi yang kolusif justru menurunkan biaya yang dikeluarkan pihak swasta. Artinya, biaya suap korupsi non kolusif lebih tinggi dibandingkan dengan biaya suap untuk korupsi yang kolusif. Bagaimana bisa?
Dalam kasus korupsi yang kolusif, pejabat pemerintah dan pihak swasta bekerja sama untuk 'merampok' pendapatan negara. Misalnya, pejabat pemerintah membiarkan pihak swasta untuk mengekspor kayu tanpa perlu ijin atau membayar pajak, atau membiarkan pihak swasta untuk menebang hutan di luar area yang telah ditetapkan. Sebagai imbalannya, pejabat pemerintah menerima suap yang tentunya nilainya lebih rendah dibandingkan dengan jika pihak swasta melakukan bisnisnya secara legal. Kasus korupsi yang kolusif lebih sulit untuk dideteksi, karena baik penyuap atau yang disuap akan saling melindungi.
Data di artikel ini menunjukkan bahwa setelah Soeharto jatuh, penebangan hutan liar hasil korupsi yang bersifat kolusif justru meningkat.
Potret Korupsi di Bidang Layanan Pendidikan dan Kesehatan
Artikel yang ditulis oleh Peter Blunt, Mark Turner dan Henrik Lindroth berjudul 'Patronage, Service Delivery, and Social Justice in Indonesia' yang diterbitkan di International Journal of Public Administration Vol. 35, halaman 214-220 pada tahun 2012, menggambarkan praktek korupsi layanan publik di propinsi.
Modusnya adalah dengan sistem kekerabatan dan penyuapan terkait dengan hasil ujian penerimaan pegawai pemerintah, rekrutmen dan seleksi, penempatan, promosi dan pemindahan pegawai, yang akhirnya berpengaruh buruk pada kuantitas dan kualitas layanan publik.
Yang dimaksud dengan sistem kekerabatan adalah pekerjaan, kenaikan jabatan, penempatan pegawai diprioritaskan kepada keluarga, teman dan mereka yang memberikan dana suap terbesar, tanpa mempertimbangkan keterampilan atau kualifikasi, ketepatan penempatan posisi, atau pemindahan pegawai padahal sebenarnya tidak ada lowongan di pekerjaan tersebut.
Untuk menjadi pegawai negeri sipil di Indonesia, seorang calon pegawai harus lulus dari ujian masuk. Namun, wawancara yang dilakukan oleh Blunt, dkk. pada pegawai di bidang kesehatan menunjukkan bahwa responden rata-rata mengetahui ada pegawai yang diterima dengan membayar sejumlah uang atau memberikan 'hadiah' kepada calo. Jumlahnya bervariasi antara Rp. 35 juta sampai Rp. 120 juta. Kekerabatan juga bisa meloloskan mereka dari tes masuk, atau paling tidak mengurangi jumlah uang yang harus dikeluarkan. Meskipun tidak banyak fakta yang diungkap, wawancara dengan pegawai di sektor pendidikan juga menunjukkan fakta yang tidak jauh berbeda.
Hal yang sama juga terjadi bukan hanya pada tahap rekrutmen, tetapi juga pada penempatan pegawai, pemindahan dan promosi pegawai. Istilah 3D mewakili praktek-praktek korupsi di kedua bidang ini, yaitu Dekat, Dulur (Saudara), dan Duit.
Korbannya adalah masyarakat yang menerima layanan, karena layanan dilakukan oleh pegawai yang tidak kompeten atau yang tidak berorientasi untuk melayani masyarakat, tetapi lebih berorientasi pada usaha untuk mengembalikan modal atau hanya pada memuaskan atasan.
Wawancara yang dilakukan pada tahun 2011 ini, beberapa di antaranya sudah teratasi, terutama di bidang rekrutmen calon pegawai negeri sipil yang sudah dilakukan menggunakan tes berbasis komputer dan skor dapat dilihat secara langsung secara real time.
Lalu?
Penelitian ilmiah yang sudah terbukti validitas hasilnya, seperti keempat artikel jurnal tersebut, tentu akan membantu aparat berwenang untuk mencegah dan memberantas korupsi. Sebagai contoh, pintu masuk yang paling tepat untuk membongkar kasus korupsi adalah pimpinan proyek untuk kasus korupsi di sektor irigasi. Pengawasan untuk mencegah terjadinya korupsi untuk program raskin sebaiknya terkonsentrasi pada desa yang penduduknya jarang dan secara etnis heterogen.
Yang agak sulit memang untuk sektor kehutanan, karena kasus korupsinya bersifat kolusif, dimana pihak penyuap dan yang disuap akan saling melindungi. Tetapi dengan mengetahui potret sistemik korupsi baik di sektor kehutanan maupun sektor irigasi seperti yang digambarkan dalam kedua artikel ilmiah di atas, seharusnya penegak hukum lebih mudah untuk membongkarnya, tetapi tentunya harus dengan kemauan dan keberanian yang besar, karena kasus korupsi yang bersifat kolusif bisa berkembang kemana-mana.
Yang menarik adalah usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil yang saat ini menggunakan tes berbasis komputer dan tersedianya livescore, sehingga lumayan sulit untuk dimanipulasi. Instansi yang lain, seperti Polri dan TNI dengan berbagai penyesuaian dapat mengadopsi pendekatan yang sama.
Pekerjaan rumahnya adalah tentang bagaimana dengan penempatan, promosi jabatan dan transfer atau pemindahan pegawai. BUMN sudah mulai melakukan perbaikan dengan menyusun Key Performance Indicator yang dapat digunakan sebagai alat penilaian kinerja untuk mutasi, transfer dan tentunya promosi jabatan.
Pekerjaan rumah masih banyak, tetapi pekerjaan rumah bisa lebih mudah dilakukan jika semakin banyak potret sistemik korupsi yang ada di Indonesia. Harapannya ke depan aparat penegak hukum, khususnya KPK, dapat mendorong makin banyak penelitian tentang kasus korupsi yang sistemik yang terjadi di Indonesia. Mudah-mudahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI