Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pola Sistemik Korupsi di Indonesia Menurut Artikel di Jurnal Ilmiah Internasional

2 Februari 2025   13:30 Diperbarui: 2 Februari 2025   13:41 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cara korupsinya adalah dengan memanipulasi laporan keuangan sedemikian rupa sehingga hampir tidak mungkin orang luar menemukan bahwa laporan keuangannya telah dimanipulasi. Modusnya adalah dengan menaikkan unit costs untuk konstruksi dan rehabilitasi sistem.

Upeti diberikan oleh pejabat dengan eselon lebih rendah kepada pejabat dengan eselon lebih tinggi. Pejabat eselon satu dan dua memanajemeni seluruh alokasi dana upeti. Alokasi dana tergantung pada eselonnya, dan pejabat dengan eselon yang sama akan menerima sejumlah dana yang sama (halaman 154).

Sistem upeti ini berpusat pada pimpinan proyek dan birokrat atasannya. Upeti bisa berupa uang, barang mewah atau layanan lain dari pejabat yang lebih rendah kepada atasannya dengan tujuan untuk memperoleh promosi jabatan dan/atau untuk memperoleh jabatan pimpinan proyek (halaman 155). Sebaliknya, atasannya akan menunjuk pimpinan proyek yang dapat digunakan sebagai mesin ATM.

Kata kunci untuk kasus korupsi di sektor irigasi adalah para pimpinan proyek. Pimpinan proyek dapat menjadi pintu masuk yang baik untuk membongkar kasus korupsi. Namun, maukah pimpinan proyek membuka jaringan korupsinya, jika suatu saat dia ditangkap? Itu masalahnya.

Mudah-mudahan, kasus seperti yang digambarkan Suhardiman dan Mollinga saat ini sudah tidak ada di Indonesia, mengingat artikel ini dipublikasikan pada tahun 2017 dan data yang digunakan berarti sebelum tahun tersebut.

Potret Korupsi di Operasi Pasar Khusus / Raskin

Potret kedua yang lebih memalukan adalah kasus 'hilangnya' sekitar 18% beras bersubsidi yang didistribusikan kepada masyarakat miskin melalui program Operasi Pasar Khusus atau yang sejak tahun 2001 dikenal sebagai raskin. Setiap rumah tangga miskin berhak untuk membeli 20 kg beras dengan harga sekitar 60% di bawah harga pasar.

Benjamin A. Olken menuliskannya dalam artikelnya "Corruption and the costs of redistribution: Micro evidence from Indonesia'. Artikel ini terbit di Journal of Public Economics, Volume 90, halaman 853-870, tahun 2006.

Metode yang digunakan Olken sangat sederhana yaitu dengan membandingkan data administratif jumlah beras yang didistribusikan dari gudang pemerintah dengan data jumlah beras yang benar-benar diterima oleh rumah tangga miskin berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Seratus Desa (SSD).

Beras yang 'hilang' cenderung terjadi di daerah yang secara etnis heterogen dan jarang penduduknya. Yang menarik adalah pola korupsinya. Jumlah beras yang 'hilang' terkonsentrasi di sejumlah kecil area. Sejumlah 66% beras yang hilang terjadi hanya di 10% desa/kelurahan yang disurvei. Cara mendeteksi siapa yang korupsi juga amatlah mudah.

Olken menelusur mekanisme OPK. Perangkat desa bertanggung jawab untuk mendistribusikan raskin ini ke rumah tangga miskin yang berhak. Perangkat desa, biasanya kepala desa, setiap bulannya akan dikirim sejumlah beras, yang kemudian dibagi-bagi oleh perangkat desa menjadi masing-masing 20 kg per bungkus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun