Kemudian rumah tangga miskin akan membayar 20 kg beras tersebut dengan harga yang sudah disubsidi. Selama pemerintah menerima sejumlah uang yang harus dibayarkan dari total beras yang didistribusikan, pemerintah tidak akan melakukan monitoring mengenai bagaimana beras ini didistribusikan di masing-masing desa/kelurahan.
Penelitian tentang kasus ini dilakukan pada tahun 2001. Semoga saja saat ini sudah tidak terjadi lagi. Kunci dari korupsi di sektor ini yang diindikasikan dalam artikel ini adalah perangkat desa di desa yang secara etnis heterogen dan jarang penduduknya.
Potret Korupsi di Sektor Kehutanan
Artikel ketiga adalah tentang kasus korupsi di sektor kehutanan yang ditulis oleh empat orang. Judul artikelnya "Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan. Penulisnya J. Smith, K. Obidzinzki, Subarudi dan I. Suramenggala. Artikel ini terbit di International Forestry Review Volume 5(3), halaman 293-302, tahun 2003.
Artikel ini membedakan kasus korupsi di sektor kehutanan menjadi dua yaitu korupsi yang bersifat kolusif dan yang bersifat non kolusif. Korupsi yang non kolusif akan meningkatkan biaya bagi pihak swasta. Korupsi yang kolusif justru menurunkan biaya yang dikeluarkan pihak swasta. Artinya, biaya suap korupsi non kolusif lebih tinggi dibandingkan dengan biaya suap untuk korupsi yang kolusif. Bagaimana bisa?
Dalam kasus korupsi yang kolusif, pejabat pemerintah dan pihak swasta bekerja sama untuk 'merampok' pendapatan negara. Misalnya, pejabat pemerintah membiarkan pihak swasta untuk mengekspor kayu tanpa perlu ijin atau membayar pajak, atau membiarkan pihak swasta untuk menebang hutan di luar area yang telah ditetapkan. Sebagai imbalannya, pejabat pemerintah menerima suap yang tentunya nilainya lebih rendah dibandingkan dengan jika pihak swasta melakukan bisnisnya secara legal. Kasus korupsi yang kolusif lebih sulit untuk dideteksi, karena baik penyuap atau yang disuap akan saling melindungi.
Data di artikel ini menunjukkan bahwa setelah Soeharto jatuh, penebangan hutan liar hasil korupsi yang bersifat kolusif justru meningkat.
Potret Korupsi di Bidang Layanan Pendidikan dan Kesehatan
Artikel yang ditulis oleh Peter Blunt, Mark Turner dan Henrik Lindroth berjudul 'Patronage, Service Delivery, and Social Justice in Indonesia' yang diterbitkan di International Journal of Public Administration Vol. 35, halaman 214-220 pada tahun 2012, menggambarkan praktek korupsi layanan publik di propinsi.
Modusnya adalah dengan sistem kekerabatan dan penyuapan terkait dengan hasil ujian penerimaan pegawai pemerintah, rekrutmen dan seleksi, penempatan, promosi dan pemindahan pegawai, yang akhirnya berpengaruh buruk pada kuantitas dan kualitas layanan publik.
Yang dimaksud dengan sistem kekerabatan adalah pekerjaan, kenaikan jabatan, penempatan pegawai diprioritaskan kepada keluarga, teman dan mereka yang memberikan dana suap terbesar, tanpa mempertimbangkan keterampilan atau kualifikasi, ketepatan penempatan posisi, atau pemindahan pegawai padahal sebenarnya tidak ada lowongan di pekerjaan tersebut.