"Mantan tunangan?" sebenarnya Angga ragu menanyakan hal ini.
Aini tersenyum tipis sambil memijit-mijit ikan bakar ditangannya. Memastikan kalau sudah matang semua. "Dia menikah dengan orang Jakarta tepat di hari pertama aku mempunyai hand phone. Ibuku yang memberi tahu. So, aku memutuskan untuk pulang nant-nanti saja kalau sudah banyak uang sekaligus membawa pangeran, hehehe," tawa Aini renyah.
"Kalau begitu, aku siap menjadi pangeranmu. Ayo kita pulang, hehee," canda Angga mampu membuat Aini tersedak. Untung daging ikan, bukan durinya.
"Kamu!" jengkel Aini menyimpan senyum.
"Habiskan ikannya, nanti kuantar pulang ke tempatmu."
Aini mengangguk. Keduanya berlomba melahap talapia yang super menggoda itu. Memang tanpa bumbu apa pun, namun mampu mengenceskan liur perut yang lapar.
***
Sejak kejadian itu, Aini dan Angga sering bertemu di hari libur yang sama. Kadang sebulan sekali, tiga bulan sekali bahkan ada yang sampai enam bulan baru menjumpai hari libur yang sama.
Meski sangat terlambat akhirnya permit kerja Angga sudah jadi. Kini ia tidak lagi ketakutan jika berpapasan dengan Encik Baju Hitam.
"Aini ...."
"Ya."
"Boleh aku minta alamat rumahmu?" tanya Angga saat makan malam bersama di kedai tomyam. Bahasa mereka sudah tidak saya-saya lagi.