"Cik Aini, saya betul-betul minta maaf sudah reflek mengajak berlarian saat ada razia tadi. Nama saya Angga dari Indonesia," pemuda itu mencoba menjelaskan.
"Razia? Oww ... kamu ilegal?" tanya Aini, kali ini bahasanya sudah tidak Melayu lagi.
"Sebenarnya bukan keinginan saya untuk menjadi TKI ilegal, tetapi para ejen penipu yang membuat saya jadi selalu lari tunggang langgang kalau ada pasukan baju hitam. Enam ribu ringgit melayang untuk pembuatan permit. Sudah hampir dua tahun tak kunjung jadi, eh, maaf malah jadi curhat," senyum malu pemuda yang bernama Angga itu sembari membolak-balikkan ikan bakarnya.
"Tidak apa. Maaf sudah bentak-bentak kamu. Terima kasih sudah mengajak berlari. Kalau tidak, mungkin saat ini saya sudah masuk lokap," balas Aini yang belum beranjak juga dari alas daun pisang.
"Kamu juga PATI? Pendatang Asing Tanpa Ijin?" tanya Angga memastikan.
Aini mengangguk,"Saya tersesat. Tiga tahun yang lalu saya dan kawan-kawan berwisata ke Kuala Lumpur. Saat mengunjungi Batu Cave, saya terpisah dari rombongan dan ditinggal pulang oleh mereka. Hanya sisa 10 ringgit uang dalam dompet yang hanya cukup untuk makan malam. Pemilik restoran itu sangat baik dan mengizinkan saya menginap di rumahnya serta sarapan gratis dengan membantu mencuci piring. Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja di situ sambil ngumpulin uang untuk pulang, tapi malah keenakan sampai sekarang belum ingin pulang."
"Tidak rindu keluarga?" tanya Angga.
"Itu sudah pasti. Satu bulan dapat gaji langsung saya belikan HP tulalit untuk menghubungi keluarga. Alhamdulillah komunikasi kita lancar setelah itu," Aini mendekatkan tubuhnya ke api unggun. Malam semakin dingin.
"Apa mereka tidak memintamu pulang? Dari cerita yang awal ke sini untuk berlibur pasti kamu datang dari keluarga yang berada, 'kan?"
Angga menyerahkan seekor ikan bakar ke Aini.
"Tidak juga. Mantan tunanganku yang membiayai semuanya. Saat itu ia merayakan ulang tahun serta jatuhnya warisan keluarga kepadanya." Nada Aini berbicara terdengar seperti menyimpan amarah.