" Jujur, aku pun tak mau seperti ini. Empat bulan yang kulalui tanpa kamu sudah seperti empat abad lamanya, apalagi sekarang, satu tahun Mae. Satu tahun aku harus jauh dari kamu, jauh dari keluargaku, jauh dari orang-orang yang aku sayangi, apa kamu pikir aku bahagia? Tidak, Mae. Aku tersiksa", kali ini Tegar mencoba berbagi rasa dengan Mae, kekasihnya. Rasa yang selama ini dia sembunyikan.
Mae terdiam. Dia belum melepas pelukan Tegar. Pelukan yang mungkin hanya bisa dia nikmati sekarang. Betapa egoisnya aku. Harusnya aku tak menangis. Harusnya aku kuat. Harusnya............
Ini saatnya Mae harus melepaskan Tegar.
" Jaga diri baik-baik ya sayang. Jaga kesehatan. Kerja yang rajin. Biar pundi-pundi tabungan masa depan kita makin bertambah. Jangan khawatir, aku akan selalu jaga amanah dari kamu. Menjaga hati dan cintaku hanya untuk kamu," Mae mencium tangan Tegar dengan takjim dan lembut.
" Kamu juga, baik-baik di sini. Tunggu aku pulang ya sayang," ujar Tegar sambil memberikan kecupan hangat di kening tambatan hatinya itu.
Tegar bergegas meninggalkan Mae. Langkahnya terasa berat. Dibalikkannya kembali tubuh tegap itu. Memandang Mae yang masih diam mematung. Mae tersenyum dan melambaikan tangannya. Tanda perpisahan. Melihat senyum manis itu hati Tegar sedikit lega. Tegar membalas senyuman itu.
Mae belum beranjak selangkahpun dari tempat berdirinya. Dia terus memandangi Tegar sampai sosok Tegar tak terlihat lagi dari matanya.
Ya Tuhan, inikah rasanya harus melepas kepergian seseorang yang kita sayangi? Sakit. Sedih. Padahal perpisahan ini hanya sementara, tapi aku merasa tak berdaya. Jadi ingat Ia, sahabatku. Yang harus benar-benar berpisah dengan kekasih hatinya untuk selamanya. Perpisahan yang abadi. Seharusnya aku bersyukur karena aku masih bisa mendengar suara Tegar lewat telepon, dan mengetahui kabarnya lewat sms ataupun email. Aku masih jauh lebih beruntung dari sahabatku, Ia.
Jakarta, 18 Agustus 2010
Pukul 23.15 wib
_coretanmaeda_