" Kenapa kamu harus meninggalkan aku lagi, Gar? Kenapa kamu tak coba mencari pekerjaan di sini saja?", perempuan itu mulai bersuara. Suaranya parau. Sedikit-sedikit masih terdengar isak tangisnya.
Tegar berusaha meyakinkan kekasihnya," Mae sayang, aku pergi hanya untuk beberapa bulan saja, menghabiskan masa kontrak kerjaku di sana. Setelah itu aku pasti kembali. Kamu lupa ya dengan ucapanmu kemarin?".
" Ucapan yang mana?" Mae mendongakkan kepalanya dan memandang mata teduh milik Tegar, kekasihnya.
" Jangan pura-pura lupa ah sayang," Tegar menggoda Mae.
" Ih, aku benar-benar lupa...." Mae mengeluarkan tubuhnya dari pelukan Tegar.
" Masa?", Tegar masih menggoda Mae.
Mae mengangguk. Karena dia memang benar-benar lupa. Seminggu sebelum keberangkatan Tegar kembali ke Jepang, hati dan pikiran Mae menjadi kacau balau. Carut-marut tak karuan. Dia tak bisa membayangkan harus berpisah kembali dengan Tegar. Berpisah jarak ribuan kilo meter, berbeda ruang dan waktu dengan kekasih hatinya.
" Kamu kan yang bilang, kalau aku tak usah mengkhawatirkan kamu di sini. Kamu akan baik-baik saja meskipun tanpa aku. Kamu akan bertahan dengan status hubungan kita yang selalu berjauhan. Kamu juga kan yang bilang, kalau perpisahan ini hanya sementara. Meski raga kita terpisah jarak, ruang dan waktu tapi hati kita tak pernah bejarak sedikitpun. Masih ingatkah sayang dengan semua ucapanmu ini?" Tegar kembali mengulang semua perkataan Mae kemarin sore tanpa ada yang terlewat satu katapun.
Mae terdiam. Ya, semua itu adalah perkataanya yang ia sampaikan ke Tegar. Perkataan yang sebenarnya untuk meyakinkan Tegar bahwa dia rela melepaskan kepergian Tegar kembali demi masa depan Tegar, masa depan mereka tentunya. Tapi ternyata Mae tidak bisa membohongi perasaannya sendiri kalau sebenarnya dia berat melakukan itu semua.
" Awalnya aku pikir juga begitu, Gar. Aku bisa melepas kepergianmu dengan rela hati. Tapi ternyata aku salah. Sebulan bersamamu hanya seperti hitungan menit saja. Aku masih ingin bersama kamu. Rasa rinduku yang kemarin saja belum terbayar semuanya. Tak adil rasanya jika sekarang aku harus kembali menyimpan semua rasa ini. Sampai kapan Tegar?" Mae kembali meneteskan air mata.
Tegar memeluk Mae erat sekali. Rasanya tak ingin dia melepas pelukan itu.