Mohon tunggu...
dewi nurmaida susana
dewi nurmaida susana Mohon Tunggu... -

lembayung jingga di ujung senja dan rintik hujan yang menciptakan aroma harum tanah basah yang mendamaikan jiwa....dua hal yang kusuka^^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perpisahan (Ceren)

19 Mei 2011   10:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:28 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Akhirnya aku mendapat informasi yang akurat, tajam dan terpercaya tentang kematian Haykal. Sopir bus jemputan bilang bahwa kecelakaan maut yang meregang nyawa Haykal. Kecelakaan itu terjadi kemarin sore, sepulang kantor. Motor yang dikendarai Haykal tertabrak angkot dan terseret hingga puluhan meter. Tepat di depan bus jemputan kantor. Sayangnya aku tak berada di sana. Karena aku harus lembur. Apa kabarnya Ia ya? Sampai detik ini aku belum bisa menghubungi Ia.

Dua hari sudah peristiwa itu terjadi. Dan aku baru sempat menengok Ia. Astagfirullah, Ia terlihat kurus sekali. Matanya bengkak, mungkin karena terlalu banyak menangis, pikirku. Tapi yang membuat hatiku perih, tak kulihat lagi sinar harapan di bola mata sahabatku itu. Aku memeluknya. Mencoba membuatnya tegar.

" Sabar ya Ia, relakan semuanya. Ikhlas sayang," bisikku sambil mengelus-elus rambutnya.

Kini kurasakan tubuhnya berguncang. Ia menangis. Masih dalam pelukanku. Hatiku miris mendengar tangisannya. Kutahan butiran bening itu agar tak ikut jatuh. Tapi aku gagal. Aku ikut menangis.

" Kenapa semuanya begitu cepat terjadi, Mae? Belum genap setahun aku merasakan kasih sayang Haykal. Dan sekarang aku harus rela melepaskan dia selamanya. Apa aku sanggup melupakan semua kenangan bersamanya? Apa aku bisa terbiasa tanpa kehadirannya? Tanpa cintanya? Mae, kenapa Haykal ingkar janji? Bukankah dia berjanji akan selalu ada di sisiku? Kenapa dia tega meninggalkan aku sendirian di sini? Aku sakit Mae. Aku terluka. Sedih. Ingin rasanya aku ikut bersamanya. Aku ingin mati saja," suaranya tertahan dalam sedu sedan.

" Sssssttt,,,istighfar Ia. Mana Ia yang aku kenal? Ia yang sabar, Ia yang tegar. Masih ingat kajian beberapa minggu yang lalu di mesjid kantor kan sayang? Hidup, mati semuanya ada di tangan Allah. Tak ada yang tahu kapan maut akan menjemput. Hidup ini hanya titipan. Kapanpun Sang Pemilik meminta kembali titipan itu, kita semua harus siap. Sudahlah, aku yakin, Haykal pun tak mau melihat kamu seperti ini. Dia sayang kamu, Ia. Dengan atau tanpa Haykal, kamu harus tetap bertahan. Life must go on, say," ceramahku panjang lebar. Dan aku yakin tak banyak yang melekat di hati Ia.

Kali ini kucoba membujuk Ia untuk makan. Kata nenek, sudah dua hari ini tak ada satupun makanan yang masuk ke mulutnya. Pantas saja badannya yang mungil semakin terlihat ringkih. Beberapa kali ku bujuk Ia untuk makan walaupun hanya sesuap. Tak ada sebutir nasipun yang berhasil masuk. Hmmm, mungkin kalau aku ajak makan bakso Ia mau, pikirku cepat. Tapi ternyata aku salah lagi. Ia masih bertahan. Menolak ajakanku.

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Menurutku membiarkan Ia dengan segala kesedihannya sekarang ini mungkin akan lebih baik. Kutinggalkan Ia sendirian di kamarnya. Aku pamit, pulang.

Diperjalanan pulang, aku masih memikirkan Ia. Apa aku juga sanggup bertahan jika kejadian itu menimpa diriku? Apa aku sekuat Ia? Mendadak hatiku bertanya seperti itu.

Masih di bawah langit Jakartaku. Dua pasang kekasih itu masih terdiam. Ada raut kesedihan tergurat diwajah keduanya. Hening mereka rasakan. Padahal suasana disekitar mereka ramai sekali.

Perempuan itu masih menundukan kepalanya. Berusaha menyembunyikan air mata yang terus jatuh membasahi pipi. Laki-laki yang sedari tadi duduk di sampingnya menghela nafas panjang. Kemudian menatapnya dan merangkul tubuhnya. Dia biarkan kekasihnya menangis dalam pelukannya. Dia juga ingin menangis, tapi tak bisa. Lagi pula dia tak ingin kekasihnya semakin berat untuk melepas kepergiannya. Biar kunikmati saja detik demi detik yang mungkin tak bisa kurasakan lagi bersamanya, gumam hati laki-laki itu. Oh Tuhan, sebenarnya aku pun tak mau meninggalkan dia untuk kesekian kalinya. Aku ingin ada di sampingnya. Melewati hari-hari bersamanya. Andai aku bisa membawanya pergi bersamaku, kan kuajak dia, kata laki-laki itu kembali dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun