"Masuk dulu Uti, kakak masih kangen," rengeknya sambil menggandengku masuk rumah. Ibunya yang sedang menggendong anak keduanya keluar menyambut kami.
      "Istirahat dulu Kung, Uti," kata anakku.
      Demi cucu, kami pun menuruti kemauannya. Sekitar pukul sembilan, dia mengizinkan kami  pulang. Udara malam semakin dingin, jalan pun sudah sepi, untuk mengusir dingin kudekap suamiku erat-erat. Suami tetap menjalankan motor dengan kecepatan sedang. Tidak terasa kami berboncengan seperti ini sudah puluhan tahun,.
      Kami hanya tinggal berdua di rumah, saat usia  menua  benih-benih cinta semakin subur. Salah satu rahasianya  adalah kami tidak segan-segan saling memuji. Berapa pun usia seseorang sangat membutuhkan pujian, dengan pujian kita bisa merasakan betapa berartinya kita bagi pasangan.
      Jalan sangat sepi dan gelap. Suara klakson mengagetkan kami, suami segera menepikan motornya.
Bruak...!
      Motor suami menyenggol motor yang menyalip. Karena kaget  suami  mengerem mendadak, dia  terpental, sedangkan aku jatuh dari boncengan.
 Aku terhempas dan beradu dengan aspal, motor yang tersenggol suami juga ambruk, dan pengendaranya  jatuh. Dia segera bangun dan menaiki motor, langsung tancap gas, tanpa mempedulikan kami yang tergeletak di pinggir jalan.
       Suasana sangat sepi dan gelap, tidak ada satupun orang yang mengetahui kejadian ini. Mobil yang  sudah jarang berlalu lalangpun tidak ada yang melihat kami.
      Dengan susah payah aku berdiri, kemudian melangkahkan kaki mendekati suami yang masih tergeletak, tidak bergerak. Aku menjerit ketika melihat keadaannya, wajahnya penuh dengan darah!
      "Bapak...!ya Allah...tolonglah ya Allah," ucapku sembari mengangkat kepala suami di pangkuan.