Mohon tunggu...
widyastuti jati
widyastuti jati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UIN Salatiga

mengagumi keindahan alam dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerimis di Bulan Januari

26 Januari 2023   16:37 Diperbarui: 26 Januari 2023   16:53 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halimun di cakrawala semakin menebal, tak lama gerimis pun datang. Pak Kiai dan dua cucunya masih asyik bercanda dan  berlarian  di tengah rumput hijau, tidak mempedulikan rintik hujan yang mulai menerpa wajah. Tidak jauh dari mereka dua air terjun dengan suara khasnya bagai irama musik alam yang memecah kesunyian. Bu Nyai yang duduk di gazebo tersenyum melihat tingkah Pak Kiai yang seolah  larut pada masa kecilnya, bebas tertawa dan berlarian di tengah rintik hujan. Kali ini dia bermain bersama cucu-cucunya.

Bunga sepatu , pacar air,  kana, kertas yang berwarna warni menghiasi tepian rumput yang menghijau, menambah indahnya tempat ini, wisata alam yang sangat diminati. Tiga puluh delapan tahun yang lalu Bu Nyai melaksanakan KKN di desa terpencil ini. Udaranya sangat sejuk dan pemandangan alamnya  sangat memukau , sayang belum ada yang mempedulikan, kemudian  dia dan teman-teman mahasiswa KKN menemukan tempat ini, yang dahulu masih dianggap tempat yang menakutkan.

***

 Fatimah dan keempat temannya turun dari kendaraan yang disewa kampus tepat di depan rumah Bapak Kepala Dusun. Dia agak kesulitan ketika harus mengangkat kopor dan tas yang  besar.

            "Bisa aku bantu?" Salah satu teman yang baru dia kenal di kendaraan  menawarkan bantuan.

 "Duh, senyumnya menawan , wajahnya bersih dan bercahaya, mungkin dia rajin berwudhu dan salat," pikir Fatimah.

            "Terima kasih ," jawab Fatimah seraya memberikan kopor pada teman barunya.

            Kelima mahasiswa KKN itu berjalan menuju rumah Pak Kadus yang mempunyai halaman luas, kanan kiri rumah ditumbuhi pohon cengkih dan buah-buahan. Pak Kadus dan istrinya menyambut mereka di depan rumah. Senyum mengembang penuh suka cita. Menjadi tempat posko  mahasiswa KKN merupakan suatu kehormatan bagi mereka.

            Ketika memasuki ruang tamu sederhana tetapi luas, di meja tamu sudah tersedia teh dan banyak makanan khas desa. Ada singkong yang diberi gula aren, jagung rebus serta tahu bacem, membuat perut mereka kembali lapar. Begitu tuan rumah mempersilakan  makan, kelima mahasiswa itu segera menikmati hidangan langka itu. Kemudian kelima  mahasiswa itu memperkenalkan diri. Mahasiswa yang menolong membawakan kopor Fatimah bernama Stephanus Wisnu Anoraga.   Vidia mahasiswa  Fakultas Hukum, Kuncoro,  Teknik Kimia dan Setiyono, dari Fakultas  Peternakan.

 Bila pagi hari sesudah salat subuh  Fatimah dan Vidia menuju ke sungai yang tidak jauh dari rumah untuk buang hajat besar, karena rumah Pak Kadus tidak memilik WC. Seminggu sekali mereka berlima menuju sendang untuk mencuci pakaian. Ada dua sendang yang bersih airnya, sebelah kiri pohon beringin untuk laki-laki dan sebelah kanannya untuk perempuan. Ketika menuju sendang mereka harus melewati pematang sawah serta jembatan bambu di atas sungai kecil yang airnya bening karena belum tercemar.

 Setiap berada di sendang para mahasiswa KKN menatap bukit yang terlihat jelas . Mereka merasa penasaran dengan cerita penduduk yang mengatakan bahwa di atas  bukit yang jalannya sangat terjal itu ada sepasang air terjun. Namun tempat itu  sangat jarang dikunjungi karena selain jauh dan sulit dijangkau ada mitos kalau ada sepasang kekasih atau suami istri  yang mengunjungi ke sana pasti hubungan mereka akan putus.

            "Kapan-kapan kita harus ke sana," ucap Setiyono sang ketua.

            "Setuju!!" seru anak buahnya serentak. 

***       

            Para ibu PKK sangat antusias ketika Fatimah dan Vidia mengajarkan ketrampilan dari bahan sederhana untuk membuat bunga atau hiasan,  membuat snack sederhana bolu singkong pandan dan menghias hantaran lamaran. Kedatangan mahasiswa KKN sangat diharapkan oleh orang tua dan remaja desa. Mereka menganggap para mahasiswa itu serba bisa. Bahkan mereka diundang untuk mengisi pengajian ibu-ibu. Untung Fatimah adalah anak Kiai yang memiliki pondok, sehingga dia bisa mengisi pengajian ibu-ibu. Bahkan teman-teman KKN dari desa lain sering mengajak Fatimah untuk mengisi pengajian ibu-ibu atau mengajar les bahasa inggris anak-anak SMP dan SMA karena Fatimah dari Fakultas Bahasa dan Sastra Inggris.

Banyaknya permintaan untuk mengisi pengajian dan les bahasa Inggris baik dari desanya maupun desa-desa lain membuat Fatimah kewalahan. Untung ada Stephanus yang selalu dengan senang hati mengantar dan menunggu ketika Fatimah memberi ceramah dan les bahasa Inggris dengan Honda CB 100 nya. Kebaikan dan perhatian Stephanus sangat mengesankan Fatimah, demikian pula Stephanus, dia sangat terpesona dengan  ceramah dan sikap Fatimah ketika mengajar yang penuh kesabaran. Dia rela menunggu dan mendengarkan ceramah Fatimah yang sederhana tetapi bisa diterapkan sehari-hari oleh para ibu. Senyum Fatimah  selalu mengembang, suaranya   lembut tapi mampu menguatkan dan menyentuh hati , sikapnya yang lembut dan  anggun, memukau siapa saja yang mendengarkan. Ada rasa yang sama tapi tidak bisa terungkap di antara mereka karena ada tembok pemisah yang sulit untuk ditembus.

Fatimah, putri seorang kiai yang memiliki pondok besar. Dia satu-satunya putri kiai yang sekolah umum. Kakak-kakaknya semua  belajar di pondok. Sesudah PGA mereka melanjutkan di IAIN, sementara Fatimah sekolah di SMA Negeri dan UNDIP.

Sementara Stephanus lulusan Seminari Magelang yang  melanjutkan studinya di Undip. Cita-citanya sejak kecil adalah menjadi seorang pastur , semua kakaknya mendukung sehingga dia sekolah di SMA Seminari Mertoyudan Magelang. Sejak remaja  sudah bertekad untuk tidak dekat dengan wanita dan tak sekalipun  merasa tertarik dengan wanita apalagi selama pendidikan di seminari, tekadnya makin bulat untuk menjadi pastur. Ketika masuk di Fakultas Ekonomi Undip dia tidak merasa khawatir untuk jatuh cinta meski  mempunyai banyak teman wanita. Demikian pula teman-teman gerejanya yang sebagian juga wanita. Kebaikan dia kepada semua teman adalah wujud dari pelayanannya, dia belajar untuk menjadi seorang yang penolong dan berbuat baik bagi sesamanya, apa pun agamanya.

Namun begitu dia bertemu Fatimah, ada perasaan yang tidak bisa dimengerti yang sulit dia enyahkan. Mata teduh, senyum manis, keramahan dan kesabarannya seperti magnit yang tidak bisa dia lupakan. Semakin lama bergaul dengan Fatimah, makin dalam rasa sayang dan kagumnya pada wanita sederhana tapi sangat memesona itu.

Perasaan yang sama ada di hati Fatimah, dia berjanji pada ayahnya ketika  dia belajar di sekolah umum dia harus menjaga diri, tidak boleh dekat dengan lelaki apalagi pacaran. Seperti kakak-kakaknya, yang mencarikan jodoh adalah ayahnya. Salah satu syarat calon suaminya adalah dia harus hafal Al Qur'an! Sikap Stephanus yang penolong, toleran, cerdas, supel dan mudah bergaul membuat Fatimah jatuh hati tapi dengan sekuat tenaga dia usir rasa itu.

***

            Akhirnya kelima mahasiswa KKN itu bisa menyempatkan dirinya untuk berpetualang menuju bukit di mana terdapat sepasang air terjun. Motor mereka titipkan di rumah penduduk. Sesuai dengan petunjuk bapak tua, mereka harus mengikuti jalan setapak yang  terjal dan  mendaki bukit. Mereka sudah menyiapkan bekal di ransel masing-masing.

            Semula kelima mahasiswa itu begitu ceria, menikmati segarnya udara pagi, rimbunnya pepohonan serta suara-suara binatang yang bersaut-sautan. Namun semakin tinggi mereka berjalan, keceriaan mereka berkurang. Vidia, si centil yang cantik menyerah.

            "Capek sekali ... aku disini saja ya?"

            "Wah sayang dong, tinggal dikit lagi,  kita istirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan," kata sang ketua.

 Keempat anak buahnya pun menurut, mereka beristirahat sambil menikmati bekal.

            "Fatimah, kamu capek? Jangan dipaksakan," ucap Stephanus sembari mendekati Fatimah.

            "Dikit, tapi aku senang, pengin banget lihat sepasang air terjun," jawab Fatimah seraya minum air putih.

            "Cie..cie...pasangan serasi kita. Tapi awas lho kalau kalian ke sana cinta kalian nggak bakalan menyatu, kata bapak tua lho!" ledek  Vidia.

Stephanus dan Fatimah hanya tertawa. Cinta? Apakah mereka jatuh cinta? Pikir Stephanus dan Fatimah. Setelah beristirahat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan.

            Lelah mereka hilang ketika sampai di puncak bukit. Sepasang air terjun menyambut  kedatangan mereka dengan suara gemuruhnya yang sudah terdengar dari jauh. Airnya yang bening dan  berkilau seolah mengajak  untuk mendekat dan berendam di sana. Kicauan burung yang merdu pun terdengar, tanaman dan bunga-bunga liar tumbuh dengan subur, menambah eksotiknya tempat ini.

            "Kita harus lapor, Pak Kepala Desa, Pak Camat dan Pak Bupati, bahwa  tempat ini sangat bagus untuk tempat wisata" kata Stephanus.

            "Ya setuju sekali, ow ya Fatimah kameranya dikeluarkan!" perintah Setiyono.

            "Siap Ketua!" ucap Fatimah sembari mengambil kamera Nikon F.60nya.

***

            Tak terasa tiga bulan telah berlalu, KKN telah usai, tangis dari para remaja, anak-nak dan ibu-ibu di desa pun pecah ketika kelima mahasiswa itu berpamitan. Ada kesan yang mendalam di hati penduduk desa terhadap para mahasiswa yang penuh semangat, ikhlas dan tanpa pamrih mengajari mereka dengan ilmu dan ketrampilan yang sangat bermanfaat. Demikian pula Stephanus dan Fatimah, berat hati mereka untuk berpisah, rasa sayang itu semakin lama semakin bersemi di hati keduanya.

            "Fatimah, bolehkah aku main di indekosmu?" tanya Stephanus.

            "Tentu boleh, aku tunggu," jawab Fatimah spontan, dia sendiri kaget dengan jawabannya.

            Hubungan Stephanus dan Fatimahpun berlanjut. Stephanus beberapa kali bertandang di tempat kos Fatimah.

            "Fatimah, maukah kamu menemani aku menghadiri pertunangan sepupuku besok malam Minggu?" ajak Stephanus suatu hari.

            "Aku tidak berani,Stephanus. Nanti kita dikira pacaran."

            "Kalau pacaran emangnya kenapa?'

            "Aku melanggar janji pada bapakku, bapak pesan aku tidak boleh pacaran atau pergi berdua dengan laki-laki untuk bersenang-senang misal nonton atau menghadiri pesta."

            "Ow begitu ya," kata Stephanus maklum.

            "Kalau menemani adikku Tanti dan aku ke air terjun mau?"

            "Mau sekali ...." jawab Fatimah dengan mata berbinar-binar. Sebetulnya dia juga menginginkan kembali mengunjungi tempat indah itu.

***

            Akhir bulan Januari ketiga mahasiswa itu pun sampai di sepasang air terjun. Tanti  berteriak histeris karena kagum dengan keindahan alam yang sangat memukau itu. Dia langsung berlari, bermain air di bawah air terjun. Sementara Stephanus dan Fatimah duduk di bebatuan di bawah pohon yang rindang.

            "Fatimah, tidak bisakah kita pacaran?" tanya Stephanus. Fatimah menggeleng berat. Ada kesedihan di dua hati itu.

            "Bapakku pasti tidak merestui."

            "Kalau aku pindah keyakinan, mengikutimu?" tanya Stephanus yang membuat Fatimah terkejut.

            "Jangan Stephanus! Janganlah kamu pindah keyakinan karena aku. Lanjutkan cita-cita muliamu menjadi seorang pastur."

            "Aku sangat mencintaimu Fatimah, baru kali ini aku bisa mencintai wanita segenap hatiku."

            "Aku juga Stephanus, tapi kita tidak bisa bersatu. Seperti sepasang air terjun itu, mereka tidak akan pernah bersatu meski air yang jatuh itu menyatu, tapi asalnya dari tempat yang berbeda."

            "Aku banyak belajar dari kamu Fatimah, tentang kesabaran dan keikhlasan."

            "Aku juga banyak belajar darimu Stephanus, sifat penolongmu dan perhatianmu kepada siapa  saja."

            Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Ada rasa syukur dan bahagia mereka telah dipertemukan, tapi ada rasa sedih karena  tidak bisa bersatu.

            "Tanti, ayo pulang, gerimis datang!" teriak Stephanus.

            "Sebentar lagi kak," jawab Tanti yang masih  menikmati beningnya air dan segarnya udara.

Sementara titik-titik air menerpa wajah Stepanus dan Fatimah, mengiringi airmata mereka yang menetes.

***

            Tigapuluh delapan tahun kemudian Fatimah dan Stephanus dipertemukan pada acara International Conference di Yogya. Fatimah mewakili kampusnya Universitas Islam, sedangkan Prof. Stephanus Wisnu Anoraga dari Universitas Katholik sebagai key note speaker.

            Pada saat istirahat mereka sempat berpapasan.

            "Selamat pagi Prof Stephanus? Masih ingatkah  saya? Fatimah teman KKN," ucap Fatimah.

            "Fatimah? Tentu masih ingat, senyummu tidak berubah," kata Stephanus menelangkupkan kedua telapak tangannya, tanda hormat.Dia tahu dari penampilan Fatimah yang berkerudung besar  tentu tidak boleh bersalaman dengan yang bukan muhrim.

            "Apa kabar, berapa anakmu ?" tanya Stephanus dengan ramah.

            "Empat, perempuan semua dan sudah menikah semua," jawab Fatimah dengan senyum manis yang masih memesona, meski usia sudah tidak muda .

            "Sayang kita terlambat bertemu jadi tidak bisa besanan, aku dua laki-laki semua dan belum menikah," jawab Stephanus sambil tertawa.

" o ya, aku sering berkunjung di air terjun kita lho," lanjutnya

"Aku juga,"

"Kok tidak pernah bertemu ya?"

"Tidak jodoh," keduanya tertawa, tetapi  harus berpisah karena panitia mempersilakan Profesor Stephanus di ruang VIP.

 Keduanya tidak berusaha mencari tahu alamat maupun nomor telepon. Mereka sudah bahagia dengan kehidupan masing-masing.

***

"Yang ... eyang ... gerimis sudah reda ayo gabung!" teriak Faras cucu Fatimah, membuyarkan lamunan. Bu Nyai atau Bu Dosen Fatimah pun segera berlari mendekati kedua cucunya dan Pak Kiai, menikmati segarnya udara yang masih bersih terbebas dari polusi.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun