Mohon tunggu...
Bunda Widya
Bunda Widya Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan. Bergabung di Kompasiana 10 Mei 2013. Nenek seorang Cucu, penggemar setia Timnas Garuda dan Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belajar dari Mang Ujang dan Mang Nandang

27 Juni 2023   20:32 Diperbarui: 27 Juni 2023   20:37 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak purnakarya pada usia 60 tahun itu, Satria Purnama harus benar benar pandai mengatur cash flow keuangan bulanan.

Bayangkan dengan uang pensiun pas-pas-an ini harus menjalani hidup di kota besar seperti Bandung. Sebagai mantan peneliti bidang pasca panen, kadang Satria masih mendapatkan rezeki dari kegiatan sebagai konsultan.

Setiap bulan uang pensiun yang dia terima mengalir begitu deras untuk pembayaran PLN, LPG, Air Minum, Iuran RT, Asuransi kesehatan, uang pendidikan dan belanja kebutuhan sehari-hari.

Belum dana untuk membeli BBM kendaraan. Apalagi sekarang BBM bersubsidi sudah tidak berlaku maka semakin membengkak biaya untuk transportasi.

Untung saja sejak purnakarya ini, Satria sudah tidak memiliki lagi tanggungan untuk cicilan Bank atau cicilan-cicilan lainnya.

Memang orang yang sudah purnakarya dilarang keras mengajukan kredit di Bank karena tidak punya lagi jaminan untuk mendapatkan kredit tersebut. Uang pensiun tentu saja tidak cukup untuk dijaminkan.

"Sudahlah Ayah, kalau setiap menerima uang pensiun terus menggerutu karena tak ada sisa yang bisa ditabung maka uang pensiun itu malah tambah menguap karena Ayah tidak ikhlas menerimanya" kata istrinya memberi nasihat.

"Ya Bunda ikhlas deh, sekarang Ayah sudah ikhlas!" kata pria pensiunan yang masih kelihatan segar karena rajin berolah raga.

"Oh iya tadi di ATM Ayah tidak lupa kan transfer sodaqoh ke Yayasan Anak Yatim Al-Kautsar?" istrinya mengingatkan tentang sodaqoh untuk kepentingan anak-anak yatim.

"Alhamdulillah tidak lupa sudah ditransfer!" kata Satria. Walaupun sedikit, uang pensiun itu masih juga disisihkan untuk sodaqoh di sebuah Panti Asuhan Anak Yatim di daerah Bandung Selatan.

Bahkan menurut seorang Ustadz, ketika kita punya harta sesungguhnya harta itu hanya pinjaman dari Allah.

Jika harta itu disodaqohkan maka harta itu akan menjadi milik kita karena tercatat sebagai amal kebaikan.  Tentu saja sambil berharap Allah akan memberi rizki yang lebih baroqah.

Pagi pagi sekali Satria sudah meluncur di jalan raya mengantar istrinya untuk berbelanja bulanan ke sebuah Pasar Tradisional.

Walaupun harga BBM sudah naik ternyata tidak berpengaruh terhadap hiruk pikuk jalan raya yang selalu penuh riuh dengan kendaraan.

Sudah menjadi rutinitas di jalan raya adalah kemacetan sehingga denyut nadi kota Bandung berdetak semakin cepat.

Para pengendara sepeda motor berseliweran memenuhi jalan dari dua arah. Mereka kadang-kadang menyelinap di ruang sempit antara dua mobil yang berjajar panjang namun tetap tertib tidak saling mendahului.

Mungkin karena sudah akrab dengan kemacetan ini sehingga begitu tertib mengendarai motornya.

Ruas jalan yang dilalui dari rumah sampai dengan Pasar Tradisional memang ruas jalan padat yang merupakan akses menuju pintu Tol dan kearah kota.

Karena itu walaupun jarak antara rumah dengan Pasar hanya sekitar 3 km, tapi bisa ditempuh hingga 30 menit lebih.

Apalagi pada hari Senin seperti pagi ini. Selain kegiatan awal Kantor dan Sekolah namun juga kegiatan bisnis dimulai hari Senin.

Antrian panjang mobil dan motor hingga 1 km atau lebih adalah hal yang biasa. Satria senidiri sudah biasa menikmati kemacetan ini. Mungkin juga semua orang sudah terbiasa dengan kemacetan yang rutin ini tanpa disadari berapa banyak uang sudah terbuang dengan percuma karena dibakar bersama BBM.

Apalagi pada saat harga BBM naik lagi berapa banyak lagi uang harus dikeluarkan untuk biaya kemacetan?

Kadang-kadang terlintas dalam pikiran Satria, lebih baik mobil ini dijual saja dan untuk transportasi menggunakan sepeda motor yang ada. Atau menggunakan transportasi online.

Ya Satria terlihat senyum-senyum sendiri, kemana-mana bersama istri bisa menggunakan sepeda motor. Selain bebas kemacetan karena bisa meliuk-liuk juga sekaligus menghemat BBM.

Setelah sekian lama dalam kemacetan, akhirnya sampai juga perjalanan di Pasar Tradisonal itu.

Satria memarkir kendaraannya di halaman Bank Nasional pada sebuah komplek Ruko yang dekat dengan Pasar tradisonal itu.

Memang Staria biasa parkir disitu setiap mengantar istrinya ke Pasar. Juru parkir sendiri mungkin sudah hafal dengan mobil sedan Jepang berwarna hijau tua metalik tahun 90-an ini.

Apalagi diantara mobil-mobil yang parkir, kebanyakan mobil mobil baru keluaran diatas tahun 2015. Kebanyakan dari mereka yang parkir dipelataran itu memang nasabah Bank.

"Pak ini mobil tahun berapa? Kelihatan masih mulus dan suaranya masih halus," kata Pak Parkir yang bernama Ujang.

"Mobil ini usianya sudah tua hampir 29 tahun. Catnya masih mulus memang karena di cat lagi sedangkan suara mesin masih halus kebetulan memang saya rawat," kata Satria menjelaskan.

Ujang hanya manggut manggut saja sambil matanya tidak lepas perhatiannya pada mobil tua itu.

"Tempo hari ada orang tanya kepada saya tentang mobil bapak apakah mau di jual?" Kata Ujang. Satria terkejut juga mendengar ini informasi dari Ujang itu.

"Berarti orang itu pernah lihat mobil saya?" tanya Satria.

"Iya pak. Orang itu kebetulan parkir mobilnya persis sebelahnya mobil ini. Waktu itu bapak sedang jalan-jalan." Ujang memberi penjelasan.

"Ternyata masih ada orang yang naksir mobil ini," gumam Satria.

"Lho Pak orang itu bilang berani beli dengan harga 50 juta." Kata Ujang. Mendengar informasi ini, Satria tertegun. Lima puluh juta lumayan juga padahal pasarannya hanya 25 juta-an.

Tapi nanti dulu mobil ini sudah mengalami perbaikan dan pergantian spare part dengan biaya yang lumayan juga. Beberapa spare part yang diganti seperti  Fuel pump baru yang orginil, Dinamo ampere, Water pump, kabel busi baru, kaki kaki, service power steering, evaporator AC, vacuum delco, kabel speedometer, cluth master kopling.

Banyak juga ternyata yang sudah diganti kalau dihitung berapa rupiah sepertinya lumayan juga.

Kalau dijual 50 juta tentu masih rugi. Menghitung biaya perawatan dan penggantian spare part membuat Satria mengurungkan niat untuk menjual mobil ini.

Namun jika menghitung biaya minum mobil ini dalam satu minggu saja, maka cukup lumayan juga angak ayng ahrus dikeluarkan. Hal yang teramat berat bagi Pensiunan seperti Satria.

"Bagaimana pak. Ada niat untuk dijual? Kalau bapak setuju saya mau hubungi orang itu," tanya Ujang sambil menunggu jawaban.

"Saya belum tahu Mang." Jawab Satria.

"Terus terang saya juga senang kalau bapak mau menjual mobil ini karena nanti orang itu janji memberi komisi. Lumayan pak untuk biaya anak saya masuk TK, " kata Ujang polos.

"Iya nanti saya bicarakan dulu dengan istri saya ya Mang."

Mang Ujang juru parkir itu hanya mengangguk lalu dia melanjutkan lagi mengatur beberapa kendaraan yang masuk keluar pelataran parkir Bank itu.

Suara peluit khas tukang parkir dan teriakan lantang dan tegas memandu para pengemudi mobil mobil yang masuk keluar pelataran parkir.

Mang Ujang juru parkir sebuah Bank sehari hari bisa mendapatkan uang dari jasa parkir paling hanya sekitar 50 ribu rupiah kalau parkiran sedang ramai.

Namun Ujang tetap bekerja dengan gembira penuh dengan kegairahan untuk berjuang menghidupi seorang istri dan dua anaknya yang masih balita.

Tanpa terasa sudah setengah jam Satria menunggu istrinya berbelanja di Pasar Tradisional itu.

Untuk menghilangkan kejenuhan Satria berjalan menyusuri trotoar seberang jalan menuju pintu masuk Pasar sebelah utara.

Persis di pojok jalan ke arah komplek ruko ada tenda kecil sederhana dan biasanya Satria nongkrong sambil melihat ke arah pintu Pasar.

Dari sana Satria bisa melihat dengan jelas istrinya keluar dari Pasar menuju arah parkiran halaman Bank.

Sementara itu sebuah tenda  kecil itu adalah tempat untuk jasa Sol Sepatu.

"Menunggu Ibu Pak?" Sapa Nandang, tukang Sol sepatu itu.

Tentu saja Satria mengenalnya karena setiap ke pasar selalu menunggu istrinya disitu.

Nandang ini sudah 20 tahun jadi tukang sol sepatu. Penghasilan per harinya paling tidak 100 ribu kalau lagi rame.

Setiap sepatu atau sandal diberikan tarip jasa sebesar 20 sampai 25 ribu rupiah.

Untuk 10 sandal atau sepatu, Nandang sudah memperoleh paling tidak 200-250 ribu rupiah. Tapi sanat jarang hal itu terjadi. Paling sehari hanya melayani 5 sandal atau sepatu.

"Lumayan pak. Kalau lagi rame memang sekitar itu tapi kalau sepi ya paling 3 sampai 5 sandal atau sepatu," kata Nandang.

"Mungkin sebulan pendapatan Mang Nandang, sekitar 1 juta sampai 2 juta rupiah?" Tanya Satria.

"Belum tentu juga Pak. Tergantung berapa banyak yang mau memperbaiki sandal atau sepatunya, " kata Nandang menjawab pertanyaan.

"Apalagi sandal dan sepatu yang di sol di saya ini biasanya awet pak jadi rusaknya juga awe," kata Nandang sambil ketawa.

Benar juga sepatu dan sandal yang sudah direparasi Nandang baru kembali kalau barangnya sudah rusak lagi.

Atau bahkan tidak kembali karena membeli barang baru. Walaupun begitu rasa kagum Satria kepada Nandang yang selalu bekerja dengan gembira.

Wajahnya selalu ramah kepada para customer nya. Satria melihat Nandang selalu optimis.

Hal itu bisa dilihat dari sikapnya menghadapi persoalan hidup yang umum dirasakan orang-orang bawah seperti Mang Nandang ini.

"Pak ari saya mah pasrah wae rezeki mah moal katukeur nu penting mah usaha bari tawakkal," kata Nandang dalam bahasa Sunda.

Kira kira artinya: "Kalau saya pasrah saja karena rezeki itu tidak akan tertukar yang penting usaha sambil tawakkal".

Sebuah filosofi sederhana namun bagi sebagian orang tidak mudah untuk dilakukan.

"Apalagi sekarang BBM naik sudah pasti kebutuhan dapur juga naik. Untungnya saya tidak menggunakan kendaraan bermotor hanya sepeda tua ini jadi tidak perlu beli premium. Tapi tetap saja merasakan akibatnya karena harga beras juga ikut naik atuh." Kata Nandang.

Menurut pengakuannya, Mang Nandang ini usianya sekitar 45 tahun memilki tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Anak yang sulung perempuan baru saja lulus SMA.

"Saya ini sebenarnya sedang bingung, anak perempuan saya lulus SMA nilainya bagus bagus. Kata Gurunya disuruh masuk kuliah di Universitas karena nilainya bagus," kata Nandang.

"Bingung bagaimana Mang?" Tanya Satria.

"Biayanya itu pak. Kalau anak gadis saya bisa kuliah wah saya senang sekali. Bapaknya SMP saja tidak lulus."

"Lalu Guru di sekolahnya memberi saran bagaimana?"

"Gurunya menyarankan untuk mengajukan bea siswa. Anak saya meminta saya ke kelurahan untuk mengurus surat keterangan katanya untuk keperluan bea siswan itu."  Jelas Nandang lagi.

"Ya mudah-mudahan dapat bea siswa ya Mang, saya doakan." Kata Satria.

"Hatur nuhun pak," kata Nandang ramah.

Dialog ini harus berakhir karena di ujung pintu pasar Satria melihat istrinya sudah memberi isyarat kalau bawaannya berat butuh bantuan.

Segera Satria berpamitan kepada Nandang dan bergegas menghampiri istrinya.

Bagi Satria hari itu adalah hari yang sangat bernilai betapa tidak seorang Ujang tukang parkir tetap bekerja dengan semangat dan Nandang seorang tukang sol sepatu bekerja tetap ramah seolah mereka tidak punya problem dalam hidupnya.

Bagi mereka menjalani hidup ini mengalir saja seperti air. Begitu sederhana filsofi itu.

Namun bagi Satria jujur kepada dirinya sendiri. Hal itu begitu sulit untuk menerapkannya seperti yang dilakukan oleh Ujang dan Nandang.

Mereka begitu fight berperang dengan hidup ini. Mereka begitu tegar. Satria baru menyadari, ternyata dirinya lebih cengeng dari mereka. Dirinya terlalu lebay hanya karena seorang Pensiunan.

Padahal seharusnya Satria bersyukur walaupun uang pensiunnya pas-pas-an tetapi tetap pas kan.

Tidak seperti mereka, Mang Ujang juru parkir dan Mang Nandang tukang sol sepatu yang memang pendapatannya pas. Sungguh Satria merasa malu dengan dirinya sendiri.

@Bunda Widya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun