Mohon tunggu...
Widya Apsari
Widya Apsari Mohon Tunggu... Dokter - Dokter gigi, pecinta seni, pemerhati netizen

menulis hanya jika mood

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Refleksi 13 Tahun Saya Sebagai Dokter Gigi (Part 3b-tamat)

15 Oktober 2022   08:34 Diperbarui: 15 Maret 2024   06:34 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Juli 2022 adalah bulan penuh arti untuk saya. saya mengalami 3 peristiwa dengan benang merah berupa "darah"

Di akhir bulan Mei 2022, saya mendapat pasien dengan multiple myeloma, salah satu jenis dari kanker darah, dengan rencana terapi kanker berupa terapi infus obat yang bernama bisfosfonat.

---------

Sebagai informasi, pemberian bisfosfonat ini memiliki efek samping pada tulang rahang, yaitu osteonekrosis, atau kematian pada jaringan tulang. Berbeda dari osteoradionekrosis yang kematian tulangnya disebabkan oleh efek sinar radiasinya, osteonekrosis ini murni diakibatkan oleh obat bisfonat itu sendiri, yang dapat menghambat proses pembentukan tulang dan regenerasi tulang, proses osteonekrosis ini dapat terjadi spontan, yang pada umunya disebabkan oleh infeksi maupun iritasi kronis pada area gusi dan tulang rahang, maupun akibat pencabutan pada saat terapi bisfosfonat. 

Sehingga protokol untuk gigi adalah wajib melakukan pencabutan gigi yang infeksi sebelum pemberian bisfosfonat ini.

---------

Seingat saya saya sudah melihat hasil pemeriksaan darah pasien sebelum saya memutuskan melakukan pencabutan gigi, dan seingat saya juga pasca pencabutan tidak ada pendarahan, namun 1 hari pasca pencabutan saya dikomplen oleh pasien dan keluarganya bahwa terjadi pendarahan pasca pencabutan. 

saya melihat pendarahan pada gusi daerah pencabutan ini sebagai sesuatu yang wajar.tidak ada tindakan lebih lanjut yang saya lakukan selain saya minta beliau untuk kembali ke dokter hematologi onkologinya.

Selang  beberapa minggu kemudian, di bulan juli 2022, saya bertemu, berpapasan dengan dokter hematologi onkologi yang merawat pasien tersebut, dan beliau mengatakan ternyata pasca pencabutan gigi, kadar hb atau hemoglobin pasien drop sampai 3 g/dL dari yang angka normal seharusnya adalah 12-16 g/dL. Rendah sekali. Saya mulai panik. Mengevaluasi kesalahan saya. Saya merasa sangat takut, takut pasiennya menuntut, dan itu kesalahan saya. 

harusnya saya langsung jahit luka pencabutan giginya, seharusnya saya gak perlu mencabut, seharusnya seharusnya.. saya terus menyalahkan diri, bahwa ini kegagalan saya. Saya menumpuk rasa bersalah saya. Namun karena hidup masih harus berjalan dan masih harus bekerja untuk pasien lain, rasa bersalah ini saya pendam, ibarat ini adalah baju lama yang saya ingin simpan tapi tidak lagi ingin saya pakai, saya letakkan dalam tumpukan baju paling bawah. 

------------

Kemudian muncul kejadian ke 2, tidak jauh dari hari dimana saya ditegur oleh dokter hematologi onkologi. 

Saya menerima konsul pasien anak, dengan leukemia relaps (kambuh), dokter anak hematologi onkologinya meminta saya untuk mengatasi infeksi di mulutnya dulu sebelum masuk kemoterapi ulang. 

Kondisi rongga mulut pasien ini sungguh membuat saya sedih, baru berusia 5 tahunan dengan gigi susu yang rusak semua, dengan gusi yang bengkak. 

(saya masih sedih setiap kejadian ini, dan saya masih belum bisa memaafkan diri saya 100%)

Trombosit pasien masih 100rb an, yang mana secara teori tidak ada resiko pendarahan pada prosedur pencabutan. Singkat cerita saya lakukan lah itu pencabutan pada gigi sisa akar pada gigi susu yang infeksi pada gigi atas dan bawah. 

Pencabutan berjalan lancar dan seingat saya juga pendarahan yang terjadi masih dalam kadar wajar.  Namun sesampainya pasien di ruang bangsal anak, terjadi pendarahan masif pada gusi. Saya menuju ke ruangan bangsal mengecek kondisi pasien. 

Memang pendarahan keluar terus, mungkin karena kondisi peradangan gusinya itu yang membuat pendarahan sulit dikontrol. 

Pukul 4 sore, sesaat sebelum saya pulang, saya dihubungi oleh dokter jaga bahwa pendarahan gusi sudah berhasil di atasi. Namun pukul 4.30 saya dihubungi oleh sekertaris SMF bahwa pasiennya masuk PICU, dan pukul 17 masuk chat dengan awalan "Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un", saya menangis..

Memang pasien ini meninggal bukan karena pencabutan giginya, tapi kemungkinan karena tersedak bekuan darah yang kemudian menyebabkan terjadinya gagal nafas.

saya merasa kembali gagal..

Kejadian ketiga, kita mundur beberapa hari sebelum kejadian no 2, saya baru tahu bahwa saya hamil, hari kamis subuh saya mendapati hasil tespek menunjukan strip 2, saya dan suami berencana mau ke dokter kandungan di hari sabtu depan..

Belum sempat saya ke dokter kandungan, di hari selasa siang, saya merasakan ada cairan yang keluar di sela paha saya sesaat setelah saya selesai mengerjakan pasien poli yaitu pasien anak pada kejadian no 2. 

Sungguh saya tidak tahu cairan apa yang keluar ini, sampai saatnya saya berganti pakaian, ternyata cairan yang keluar ini adalah darah. 

Jam 19 saya berangkat ke dokter kandungan, setelah saya mencoba meredakan tangis saya akibat meninggalnya pasien saya ini.

Dengan menahan sedih karena kematian pasien, saya mendapati bahwa kehamilan saya ini adalah hamil kosong atau blind ovum, dengan usia kehamilan 8 minggu, dokter kandungan menyarankan saya untuk melakukan kuret. 

Mungkin susah untuk saya ceritakan perasaan saya pada hari itu, saya menangis untuk semuanya.. dunia terasa runtuh.. saya merasa di hari itu lemari saya jebol, sudah tidak mampu lagi menampung semua baju di dalam lemari.

Saya memutuskan untuk mengambil cuti 3 hari diluar sabtu dan minggu, jadi total 5 hari saya off dari semua aktiktifitas pekerjaan, jumat, sabtu, minggu, senin dan selasa.

Dimana hari sabtunya saya mendaftar untuk tindakan kuret. 

--------------

Sepanjang menunggu jam tindakan kuret dan selama hari minggu itu, saya tidak bisa berhenti menangis. saya terus menangis. 

Saya tahu bahwa sedang ada yang tidak baik-baik saja dengan mental saya. 

Saya menelpon teman saya yang psikiater, dan kembali meminum obat antidepresan saya. dan saya memutuskan mengunjungi psikolog, (tentu saja bukan psikolog bapak tua itu) untuk sekedar mengeluarkan emosi saya..

------------

Setelah saya mengeluarkan semua luapan emosi saya, psikolog itu memberikan 1 nasehat  yang hingga sekarang masih saya pegang. 

"Bahwa saya harus menerima bahwa pilihan saya bekerja di RS kanker ini akan selalu berhadapan dengan kematian, 

kematian adalah takdir Allah, saya hanya manusia yang kebetulan ada di saat Allah menetapkan kematian untuk pasien. Yang harus saya tetap pertahankan adalah saya tidak boleh berpuas diri dan terus memperbaiki diri dengan ilmu dan menjaga tubuh dan metal saya agar saya dapat membantu orang lebih banyak lagi."

"begitu pula dengan kehamilan saya, saya harus percaya ada hal yang Allah siapkan untuk saya"

-------------

Saat ini kondisi mental saya masih sering naik turun, sangat wajar dan saya sudah bisa menerima. 

Saya masih sering frustasi ketika pasien meninggal, atau perburukan, atau ketika muncul komplikasi pada rongga mulut akibat terapi kanker, atau ketika pasien tidak respon terhadap pengobatan yang saya berikan.

Saat ini saya selalu berusaha menyiapkan diri saya jika komplikasi rongga mulut itu muncul, walaupun saya sudah melakukan eliminasi fokus infeksi dan persiapan gigi mulut seteliti dan sebaik mungkin, kemungkinan komplikasi bisa saja terjadi. 

Manusia itu rumit, sistem tubuh kita saling terkait satu sama lain. saya sebagai dokter gigi tidak bisa hanya melihat kondisi giginya, dan mengesampingkan kondisi tubuh pasien.

Dan sampai pada kesimpulan, walaupun terhitung cukup lama saya bekerja di RS Kanker ini, sudah 6 tahun saya bekerja, melihat bagaimana kondisi pasien kanker, masih banyak hal lain yang saya tidak tahu, dan harus saya terus menerus cari tahu. 

-----------

Kembali ke saat ini dimana saya memutuskan menuliskan ini semua, saya sedang sedih, apalagi kalau bukan kematian pasien, dan kebingungan saya yang tampak tiada ada ujungnya,

 kok dikasih obat ini ga respon siiiiii???? aduh trombosit cuman 2 ribu, ANC rendah lagi, aiiihhhh bilirubin juga naik, infeksi dari mana ya, duuh giginya bisa gue cabut ga ya, tambal aja apa cabut ya, kalo ditambal terus infeksi gimana, kalo dicabut kira-kira pendarahannya gimana ya, luka cabutannya bakal nutup cepet gak ya, dan segudang pikiran  rumit saya mengenai pekerjaan sebagai dokter gigi.

-----------

Saat ini saya sudah tidak memiliki ambisi bekerja di klinik bonafit dan tampil cantik, rasanya penampilan saya berangkat ke RS tidak jauh berbeda waktu saya kuliah S1, celana jins dan kaos serta dengan sepatu sandal, tanpa make up. 

Tentu saja jauh dari cita-cita saya dulu sewaktu awal lulus dokter gigi, tapi Allah sudah mengatur jalam hidup saya demikian adanya, dan saya bahagia si menjalaninya. 

ya walaupun sering kali saya pulang ke rumah dengan muka kusut, dan di depan suami, saya mengatakan "aku lagi bete".

Dan saya sekarang sudah bisa lebih cuek dengan apa pendapat orang mengenai pekerjaan saya ini, spesialis penyakit mulut kok masih mau kerjain tindakan gigi, 3 serangkai: tambal cabut skeling.  

Yang tau tentang pekerjaan saya kan saya sendiri, dan 1 hal yang saya baru sadari, kenapa teman-teman bisa berbicara seperti itu ya karena tidak mengalaminya langsung.

 Saya ada instagram khusus yang isinya tentang sharing kasus saya, boleh diintip di @drg.widyaapsari. :))

----------

terimakasih untuk teman-teman yang membaca  tulisan saya ini.  saya gak tahu ada manfaatnya buat teman-teman yang membaca ini atau tidak, tapi setidaknya terimakasih sudah membaca, dan membantu meringankan beban pikiran saya.. terimakasih atas respon dan telah meninggalkan komentar baik di sosial media maupun di kolom kompasiana ini.

--------

Semoga saya dan kita semua bisa menjaga hati agar dijauhkan dari sifat sombong dan berpuas diri, karena hidup harus diisi dengan proses belajar, dan terus belajar..

Saya sangat setuju dengan peribahasa "jadilah manusia seperti padi, semakin berisi semakin menunduk"

-------

terimakasih dan sehat selalu untuk kita semua.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun