Saya menelpon teman saya yang psikiater, dan kembali meminum obat antidepresan saya. dan saya memutuskan mengunjungi psikolog, (tentu saja bukan psikolog bapak tua itu) untuk sekedar mengeluarkan emosi saya..
------------
Setelah saya mengeluarkan semua luapan emosi saya, psikolog itu memberikan 1 nasehat  yang hingga sekarang masih saya pegang.Â
"Bahwa saya harus menerima bahwa pilihan saya bekerja di RS kanker ini akan selalu berhadapan dengan kematian,Â
kematian adalah takdir Allah, saya hanya manusia yang kebetulan ada di saat Allah menetapkan kematian untuk pasien. Yang harus saya tetap pertahankan adalah saya tidak boleh berpuas diri dan terus memperbaiki diri dengan ilmu dan menjaga tubuh dan metal saya agar saya dapat membantu orang lebih banyak lagi."
"begitu pula dengan kehamilan saya, saya harus percaya ada hal yang Allah siapkan untuk saya"
-------------
Saat ini kondisi mental saya masih sering naik turun, sangat wajar dan saya sudah bisa menerima.Â
Saya masih sering frustasi ketika pasien meninggal, atau perburukan, atau ketika muncul komplikasi pada rongga mulut akibat terapi kanker, atau ketika pasien tidak respon terhadap pengobatan yang saya berikan.
Saat ini saya selalu berusaha menyiapkan diri saya jika komplikasi rongga mulut itu muncul, walaupun saya sudah melakukan eliminasi fokus infeksi dan persiapan gigi mulut seteliti dan sebaik mungkin, kemungkinan komplikasi bisa saja terjadi.Â
Manusia itu rumit, sistem tubuh kita saling terkait satu sama lain. saya sebagai dokter gigi tidak bisa hanya melihat kondisi giginya, dan mengesampingkan kondisi tubuh pasien.