Mohon tunggu...
Putri GIOK
Putri GIOK Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, Copy Writer, Influencer, Public Relation

Saya seorang Penulis, Copy Writer, Influencer, Public Relation yang terlahir dari Mama yang berasal dari Suku Ondae Poso, Sulawesi Tengah campur Banjar, Kalimantan Selatan dan Papa yang asli Sunda, Jawa Barat. Saya hobi menulis dan senang mendeskripsikan hampir semua perasaan, pengalaman dan apapun yang saya lihat. Saya juga senang dan suka menulis Cerpen. Salam dan bravo selalu ONDAE!!! Ohya skefo, saya pernah selama hampir 20 tahun menjalani profesi sebagai Jurnalis di koran lokal, majalah komunitas dan terakhir di Harian Bisnis Indonesia. Terima kasih!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Curhat

9 Oktober 2017   11:30 Diperbarui: 9 Oktober 2017   12:14 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deg! Jantungku berdegup dengan kencang, padahal suara kepala biro tempatku bekerja yang duduk tak jauh dari hadapanku sangat pelan terdengar. Tak bisa kuraba bagaimana perasaanku saat itu, yang jelas air di mataku bak air bah yang siap membanjiri satu kota.

Kepalaku terasa panas, badanku bergetar, tak terasa air mata mulai mengalir di pipiku. "Tiara, ini ada pemberitahuan dari SDM, katanya hasil psikotes mu belum memenuhi syarat. Bahkan, kau akan dikembalikan ke posisi semula, yaitu sebagai wartawan di lapangan," pelan suara kepala biro kantorku dari balik meja kerjanya di depanku, tapi bagai petir yang menggelegar dan menyambar ubun kepalaku hingga panas terasa.

Aku bukanlah seseorang yang gila jabatan. Tapi, tidakkah SDM kantorku melihat hasil kerja yang telah kulakukan selama 2 tahun? Butakah mata mereka, hingga yang terlihat hanya hasil psikotes semata? Persetan dengan psikotes karena soal yang ada didalamnya adalah buatan manusia, penilaiannya pun menggunakan cara-cara manusia. Tapi bakat dan kemampuan dalam diri seseorang adalah ciptaan Allah yang sudah ditetapkan sejak lahir. Dan, Allah juga yang menjadi penilai dari bakat, skill dan kemampuan yang kita miliki sejak lahir hingga tinggal kain kafan menutupi diri kita di balik papan dan tanah berlumpur.

Tiga tahun menjalani profesi jurnalis yang siap tempur di lapangan dengan status sebagai kontributor atau wartawan kontrak, semua aku lakoni dengan penuh kata sabar dan tekun. Bagiku, profesi jurnalis adalah bagian dari bakat dan kesenanganku dalam dunia tulis menulis dan passion yang telah melekat dan seakan tak bisa terpisah dari ragaku.

Sore itu, sekembali dari berburu berita, aku tiba dengan kondisi buru-buru di kantor. Tanpa banyak kata, aku langsung naik ke lantai dua dan duduk manis di kursi yang selalu setia menemaniku dalam merangkai kata menjadi kalimat indah yang enak dibaca dan layak disajikan kepada para pelanggan setia, media tempatku bernaung.

Usai menyelesaikan tiga berita dengan terburu-buru akibat jadwal deadline yang mepet karena liputan terakhirku berdekatan dengan jam terakhir aku harus menyerahkan semua naskah hari itu ke meja redaksi di Jakarta, aku pun iseng membuka emailku.

Ada satu email dari SDM kantor pusat mediaku yang berlokasi di Jakarta. Maklum, saya berkantor di kantor biro yang jaraknya ratusan mil dari ibukota negara ini. Agak kaget sih. "Ada apa ya SDM Jakarta mengirimiku email?" tanyaku dalam hati. Beberapa detik kemudian, kubuka email tersebut demi menghilangkan rasa penasaran.

"Wow...ada penawaran menarik nih dari Jakarta," gumamku dalam hati. Aku ditawari mengikuti tes di Jakarta, untuk menjadi karyawan organik dan menempati posisi uploader, satu posisi diatas wartawan dan dibawah redaktur yang saat itu memang lagi dibutuhkan mediaku yang sedang sibuk berekspansi dengan media during, bersanding dengan media konvensional yang ketika itu telah berusia 20 tahun.

Dengan gembira karena merasa diberi kesempatan untuk menjadi jurnalis yang lebih baik di perusahaan tempatku bekerja, aku lantas memberitahukan kepada kepala biro soal email dari SDM yang aku terima. "Oke, ikut saja tes itu Tiara. Bagus kalau ada penawaran yang begitu dari SDM," komentar kepala biro memberiku semangat ketika itu.

Tanpa menunggu lama, aku langsung membalas email dari SDM dan memesan tiket pesawat sesuai jadwal tes yang telah ditentukan.

Hari masih pagi, baru pukul 07.00 WIB ketika aku keluar dari rumah sepupuku di Jakarta, tempat aku menginap selama 2 hari mengikuti tes yang diadakan kantorku. Mengenakan kemeja kotak warna cokelat ditemani bawahan celana kain warna hitam, kutelusuri jalanan ibukota menggunakan angkot jurusan Manggarai-Tanah Abang. Jadwal tes memang nanti pukul 10.00 WIB, tapi aku tidak ingin konsentrasiku buyar hanya karena terburu-buru dengan peluh yang membanjiri seluruh wajah dan tubuhku. Maka kuputuskan datang lebih awal, sekaligus "membaca" situasi sambil menunggu tes wawancara berlangsung.

Dua hari menjalani tes di Jakarta, wawancara dan psikotes, aku pun kembali ke kotaku tempat bekerja sambil menunggu pengumuman lanjutan dari SDM. Selang dua minggu kemudian, aku mendapat email lagi dari SDM di Jakarta, yang memberitahukan bahwa aku harus mengikuti magang selama 1 bulan di kantor pusat, bersama lima teman dari kantor biro lainnya.

Tak terkira rasa syukurku kepada Allah SWT saat itu karena aku berpikir, panggilan magang sebulan itu adalah "pemberitahuan" dari kantor pusat bahwa aku lulus tes dan diterima menjadi karyawan organik untuk kemudian menempati posisi uploader. Tapi ternyata, panggilan itu hanya bentuk "rasa tidak enak" SDM dan manajemen redaksiku karena saya dan teman-teman lainnya begitu semangat mengikuti tes yang diadakan. 

Dari 6 orang yang mengikuti tes ketika itu, hanya 3 orang yang sudah ditentukan nasibnya alias aman menduduki posisi uploder dengan jaminan sebagai karyawan organik. Sedangkan nasib saya bersama 2 teman lainnya masih terkatung-katung. Kami tetap diberi posisi sebagai uploader tapi dengan status karyawan kontrak.

Kecewa tentu saja. Namun saat itu aku hanya bisa mengambil hikmah dan sisi positifnya saja, sambil bekerja sebagai uploader sebaik mungkin. Pikirku, kalau rejeki tidak akan lari kemana.

Dua tahun duduk di kursi uploader media during lokal milik perusahaan tempatku bekerja dengan status karyawan kontrak, tak membuatku kerja malas-malasan dan setengah hati. Sebaliknya, aku bekerja dengan sekuat tenaga dan segigih mungkin, berusaha selalu menunjukkan hasil kerja terbaikku.

Seyogyanya, aku kerja hanya 8 jam sehari, tapi boleh dikata aku kerja hampir 24 jam sehari. Apalagi, media yang kutangani adalah media during atau yang akrab disebut media online, yang selalu harus update berita dan informasi terkini dengan judul semenarik mungkin, agar ratingnya terus naik.

Tak jarang, saat kepalaku baru mau menyentuh bantal pukul 00.00, ada BBM atau SMS masuk dari teman-teman jurnalis di biro lainnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI), yang mengatakan bahwa mereka baru saja mengirim naskah berita di emailku dan mereka beradu cepat dengan jurnalis dari salah satu media during nasional yang sudah cukup ternama dan terkenal kecepatannya dalam menyajikan informasi ataupun berita. Kebetulan, biro tempatku beraktivitas sehari-hari, adalah pusat dari semua berita dan informasi yang ada di Indonesia Timur atau KTI.

Selama 2 tahun kujalani profesi uploader tanpa ada keluhan, bahkan ketika aku terjatuh dengan sendirinya dari tangga kantor di hari Sabtu, saat semua teman kantorku tengah asyik bercengkrama dengan keluarga maupun sahabat mereka, entah hanya di rumah, mal atau tempat rekreasi. Selama 3 bulan, aku berjalan pincang akibat kaki sebelah kiriku bengkak dan membiru meski sudah kubawa ke tukang pijat tradisional.

Meski harus berjalan pincang dengan kaki yang bengkak seperti kaki gajah, aku tetap saja semangat ke kantor dan mengupload semua berita yang dikirimkan teman-temanku. Tak terbersit dibenakku untuk cuti istirahat sambil meredakan kaki yang terus membengkak, atau hanya bekerja dari rumah walau hal itu tidak menjadi masalah buatku. Toh mengisi naskah berita di media online sebenarnya bisa dilakukan dari mana saja. Bisa di rumah, warkop, cafe atau bahkan di bawah pohon dan di pinggir pantai sekalipun, yang penting akses internet lancar.

Tiga bulan merasakan sakit di pergelangan kaki sebelah kiri dan terus berjalan pincang, aku pun disarankan tante yang kebetulan juga seorang perawat agar membuat ramuan tradisional dari beras kencur yang kemudian dibalurkan ke kaki yang bengkak setiap menjelang tidur malam.

Aku lantas menghubungi ibu pemilik tempat kos ku dulu, yang sudah kuanggap seperti orangtua sendiri. "Assalamuallaikum Puang Aji. Puang, kakiku bengkak habis jatuh dari tangga kantor. Bisa minta tolong buatkan beras kencur yang ditumbuk? Mau saya balurkan ke kaki setiap malam kalau mau tidur," rengekku kepada perempuan paruh baya yang sudah seperti mamaku sendiri, ketika suaranya mulai terdengar di ujung ponselku. "Kenapa bisa kau jatuh nak? Iya nanti dibuatkan bedak dari beras kencur. Pulang kerja besok singgah ambil di rumah ya," jawab Puang Aji dengan nada kaget bercampur khawatir.

Akhirnya, setelah 2 minggu berturut-turut kubalurkan kakiku yang bengkak setiap mau tidur malam, Alhamdulillah bengkaknya hilang. Kakiku juga sudah tidak membiru lagi, warnanya sudah seperti kaki kananku yang kondisinya tetap baik pasca kejadian nahas di tangga kantor lalu.

Tengah asyik menjalani profesi uploader dengan penuh semangat, tiba-tiba kepala biro memanggiku untuk menghadap di ruangannya. "Ini ada surat dari SDM di Jakarta. Tiara diminta untuk menjalani psikotes lagi karena tes yang di Jakarta lalu hasilnya belum memenuhi standar SDM dan manajemen redaksi untuk menjadikan Tiara sebagai tenaga tetap uploader," pelan suara kepala biro ku, suaranya terdengar seperti bisikan. Namun, semua tulangku terasa lemas, seakan tak mampu untuk menopang seluruh tubuhku yang ingin kembali ke meja tempatku bekerja. Entahlah...saat itu rasanya aku ingin menangis karena rasa kecewaku. Tapi kupikir biarlah, aku ikuti saja apa mau SDM dan manajemen redaksi di Jakarta. Beberapa hari kemudian, aku kembali menjalani psikotes di kota tempatku bekerja.

Dua minggu kemudian, hasil psikotes dalam bentuk lembaran yang terbungkus rapi dalam sebuah amplop tiba di meja resepsionis kantorku. Tak berapa lama, amplop tersebut berpindah ke meja kepala biroku. Seperti biasa, pukul 16.00 WITA kepala biroku baru memunculkan batang hidungnya yang tinggi khas hidung turunan orang Arab. Sayup kudengar, berhubung jarak mejaku dengan ruangan kepala biro tidak begitu jauh, suara amplop dibuka dan lembaran di dalamnya dibaca.

Tak lama kemudian, "Tiara...ke sini dulu sebentar," panggil Pak Nursin, kepala biro yang selalu sibuk dengan konco bisnisnya sejak pagi hingga sore hari. Usai mengucapkan kalimat per kalimat dengan nada pelan, tidak berapa lama petir di siang bolong seperti menyambar tubuhku yang kemudian memanas. Bahkan pendingin ruangan 2,5 PK yang dipasang di ruangan berukuran 3 x 3 cm tidak mampu membuat suhu tubuhku mendingin kala itu.

Alhasil...air mataku mengalir deras, tumpah ruah di pipiku bak air bah, akibat rasa kecewaku yang mendalam. Bukan karena saya gila jabatan. Tidak! Tapi, apa arti semua usaha dan pengorbanan yang sudah kulakukan dan kupersembahkan yang terbaik bagi perusahaan selama 2 tahun? Apakah ukuran layak tidaknya menjadi karyawan di perusahaanku hanya dari hasil psikotes? Sama sekali tidak memperhitungkan kinerja, pengorbanan dan loyalitas? "Serendah" itukah penilaian perusahaanku terhadap karyawannya? Ingin kuberada di tempat yang sepi saat itu dan berteriak aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggghhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!

Sedih, kecewa, sakit hati......dan berbagai perasaan lainnya terus berkecamuk dalam hatiku. Sebisa mungkin kusembunyikan rasa yang ada di dada dengan senyum yang selalu merekah indah bila sedang berada di kantor dan berhadapan dengan teman-teman serta kepala biroku. Aku bertekad, bahkan semut dan nyamuk pun tak boleh tau isi perasaanku yang sebenarnya.

Namun tak bisa kupungkiri, sesak di dada akibat rasa sedih dan kecewa kian membuncah. Diam-diam aku browsingdi internet alamat psikolog di kotaku, sekaligus menanyakan jam konsultasi plus biayanya. Aku butuh teman curhat, aku butuh seseorang yang mau mendengar keluh kesahku, aku butuh seseorang yang dengan jujur bisa mengatakan apa saja kekuranganku dan kelebihan yang kumiliki sebagai bahan introspeksi diri.

Aku alami stres? Tidak! Depresi? Mungkin sedikit, yang pasti aku butuh teman untuk bercerita dan mau memahami keadaan diriku. Setelah kutimbang dan pikirkan masak-masak, akhirnya psikolog yang aku "temui" adalah Allah SWT melalui sholat meminta petunjuk dariNYA. Dengan sholat, saya bisa berdialog dengan Allah dan Alhamdulillah mendapatkan ketenangan jiwa. Saya pun mulai menjalani hari seperti biasa dengan perasaan plong, tanpa beban sedikipun.

Kini, 2 tahun sudah aku berkarier di sebuah BUMN, meski dengan aktivitas yang masih sama dengan kantor media tempat saya dulu menimba ilmu jurnalistik, yaitu menangani media sosial, media during milik internal perusahaan, membuat rilis berita kegiatan Perseroan dan tetap menjalin hubungan dengan teman wartawan. Lebih tepatnya, saya diminta menjadi Tenaga Ahli atau bahasa kerennya Individual Expert di Bidang Media. Selain menangani media internal dan pemberitaan, tak jarang saya juga diminta memberikan masukan atau pendapat jika ada pemberitaan negatif maupun positif terkait Perseroan yang beredar dan diangkat teman jurnalis di medianya untuk menjadi konsumsi publik, ya seperti Konsultan Media gitu deh.

Tentunya, semua itu aku syukuri karena Allah masih memberiku jalan terbaikNYA. Alhamdulillah, DIA telah merengkuhku saat kubutuh sandaran, DIA juga telah menjadi teman curhat yang baik, saat aku membutuhkan. Aku sadar, seberat apapun masalah dalam hidupmu, jangan pernah kau jauh dariNYA karena hanya DIA-lah yang bisa menolongmu, apapun kesulitan yang kau hadapi. DIA adalah teman curhat sebaik-baiknya teman curhatmu.

Setahun lebih menjalani profesi baru sebagai Individual Expert Bidang Media, terasa mengasyikkan bagiku. Langkahku kian ringan, seakan separuh beban masalahku lenyap seiring berjalannya detak jam di dinding. Kujalani hari-hariku dengan penuh semangat, apalagi bidang kerjaku masih berkutat dengan naskah berita dan dunia tulis menulis yang memang sudah passionku.

Jam digital di laptopku baru menunjukkan pukul 10.05 WITA. Jari jemari tanganku tengah asyik menyentuh tuts keyboard laptop. Aku sedang konsentrasi membuat sebuah naskah tulisan tentang direct call atau pelayaran langsung ke luar negeri yang sedang gencar dilakukan orang nomor satu di perusahaan tempat aku bekerja kini. Tiba-tiba, konsentrasiku pecah oleh bunyi panggilan masuk di ponselku.

Sejenak kulirik layar ponsel yang selama 7 tahun sudah setia menemaniku berhubungan suara melalui udara dengan saudara, keluarga, rekan kerja, narasumber maupun teman dan sahabatku untuk sekedar bercerita dan bergurau mengisi waktu senggang. Sedikit berkerut keningku melihat sebuah nama yang tertera di layar ponsel. Nama milik salah satu teman laki-lakiku ketika masih sama-sama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas di sebuah kota kecil nan indah, yang banyak meninggalkan kenangan di benakku.

"Hmmm.....tumben nih orang nelpon," gumamku dalam hati seraya mengangkat ponsel.

"Hallooo.....apa kabar? Tumben nelpon, ada apa nih?" sapaku mendahului.

"Hai Tiara, lagi sibuk?" tanya Gilang, salah satu teman SMA yang namanya juga tercatat dalam grup reuni WhatsApp khusus angkatan kami.

"Gak juga sih, ada apa? Kok tumben nelpon, lagi di Makassar ya?" jawabku.

"Tidak, aku tidak lagi di Makassar. Cuma mau nelpon aja," balasnya.

"Oooh, kirain lagi di Makassar," ujarku.

"Eh Tiara, aku boleh nanya gak?" suara Gilang terdengar mulai serius.

"Boleh, tanya soal apa?" nada suaraku juga ikutan serius sambil berpikir kira-kira pertanyaan apa yang akan Gilang ajukan.

 "Begini, pernah gak dalam kariermu kau mengalami titik jenuh? Kau merasa bosan dengan pekerjaanmu, teman sekantormu, teman wartawanmu, keluargamu, pokoknya semua aktivitas yang kau jalani setiap hari," jelas Gilang.

Mendengar pertanyaan terakhir Gilang seperti memaksaku untuk kembali membuka lembaran lama, peristiwa lebih setahun silam yang aku alami, di mana saat itu aku merasa sendiri dan segala usaha dan upaya yang kulakukan tak dihargai sama sekali. Tak penting kata terima kasih bagiku, tapi setidaknya SDM tempatku bekerja harusnya bisa melihat sedikit dedikasi yang sudah kupersembahkan untuk perusahaan. Luka lama seakan menganga kembali.

Hening. Kami berdua tiba-tiba seperti orang bisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba "Halo Tiara, kau masih dengar suaraku," sapa Gilang diujung ponsel.

"Eh iya, aku dengar kok. Ohya, emang kenapa? Kau lagi punya masalah? Masalah apa?" ujarku memberondongnya dengan pertanyaan.

Tak berapa lama, mengalirlah cerita Gilang. Tentang kejenuhan atas pekerjaannya sebagai seorang kepala cabang sebuah bank BUMN di sebuah kota kecil. Juga tentang masalah dengan tim kerja dan nasabah, belum lagi persoalan keluarga yang kerap harus dihadapinya seorang diri. Aku seperti melihat diriku dalam sebuah cermin besar, ketika mendengar keluh kesah Gilang.

"Tiara, pernah dengar informasi gak, di mana ada psikiater atau psikolog yang terbaik di Makassar?" tanya Gilang mengakhiri ceritanya.

Glek! Seakan baru saja tertelan permen yang kemudian nancap di tenggorokan, aku lantas menelan ludah secepatnya. "Gilang, kau tau, aku pernah menghadapi persoalan hampir mirip yang kau alami. Waktu itu aku hampir stres sampai mencari alamat psikolog di Makassar. Aku bahkan sudah sempat konsultasi via email dan membuat janji untuk melakukan pertemuan," ceritaku dengan nada pelan, menahan rasa sedih yang kembali menyesak di dada.  

"Terus bagaimana?" Gilang memotong suaraku.

"Untunglah, aku belum sempat bertemu psikolog itu," ujarku kemudian.

"Kenapa? Ada psikolog lain yang kau temui, atau bagaimana?" kejar Gilang.

"Tidak. Aku lebih memilih sholat dan mengadu serta curhat kepada Allah. Alhamdulillah jiwaku menjadi tenang dan bisa kembali menghadapi hari-hariku dengan riang seperti dulu," kataku seraya tersenyum di ujung ponsel.

Usai aku menyelesaikan kata per kataku, Gilang lalu menyudahi pembicaraan kami dan pamit lanjut bekerja kembali. Aku pun kembali fokus ke layar laptop yang hampir 45 menit aku tak pedulikan karena sibuk berbincang dengan Gilang melalui telepon genggam.

Dua minggu aku lupa dengan pembicaraan yang sudah kulakukan dengan Gilang. Tiba-tiba ponselku kembali berdering dan layarnya menampilkan nama pemanggilnya, Gilang. Langsung kuangkat "Halo, Assalamuallaikum," sapaku.

"Hai Tiara, apa kabar?" tanya Gilang menjawab sapaanku.

"Alhamdulillah baik. Kau sendiri? Bagaimana dengan masalahmu yang kau cerita lalu? Sudah ketemu dengan psikolog?" jawabku dengan pertanyaan juga.

"Terima kasih ya Tiara, kau sudah mau mendengarkan ceritaku. Aku gak jadi konsultasi ke psikolog. Sama seperti kau, aku juga lebih memilih berkonsultasi dan curhat kepada Allah. Alhamdulillah keadaanku sudah lebih baik dari sebelumnya. Aku juga sudah bisa lebih enjoy menghadapi hari dan pekerjaanku," beber Gilang.

"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu," kataku singkat, tak terasa air mata menitik dan mengalir perlahan di pipiku.

Perasaanku langsung lega dan senang mendengar kalimat yang diucapkan Gilang di ujung telepon. Akhirnya Gilang bisa menentukan pilihan yang tepat, yaitu curhat kepada Allah SWT. Seperti kataku sebelumnya, DIA adalah teman curhat sebaik-baiknya teman curhatmu!         

Makassar, 30 Mei 2017

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun