Deg! Jantungku berdegup dengan kencang, padahal suara kepala biro tempatku bekerja yang duduk tak jauh dari hadapanku sangat pelan terdengar. Tak bisa kuraba bagaimana perasaanku saat itu, yang jelas air di mataku bak air bah yang siap membanjiri satu kota.
Kepalaku terasa panas, badanku bergetar, tak terasa air mata mulai mengalir di pipiku. "Tiara, ini ada pemberitahuan dari SDM, katanya hasil psikotes mu belum memenuhi syarat. Bahkan, kau akan dikembalikan ke posisi semula, yaitu sebagai wartawan di lapangan," pelan suara kepala biro kantorku dari balik meja kerjanya di depanku, tapi bagai petir yang menggelegar dan menyambar ubun kepalaku hingga panas terasa.
Aku bukanlah seseorang yang gila jabatan. Tapi, tidakkah SDM kantorku melihat hasil kerja yang telah kulakukan selama 2 tahun? Butakah mata mereka, hingga yang terlihat hanya hasil psikotes semata? Persetan dengan psikotes karena soal yang ada didalamnya adalah buatan manusia, penilaiannya pun menggunakan cara-cara manusia. Tapi bakat dan kemampuan dalam diri seseorang adalah ciptaan Allah yang sudah ditetapkan sejak lahir. Dan, Allah juga yang menjadi penilai dari bakat, skill dan kemampuan yang kita miliki sejak lahir hingga tinggal kain kafan menutupi diri kita di balik papan dan tanah berlumpur.
Tiga tahun menjalani profesi jurnalis yang siap tempur di lapangan dengan status sebagai kontributor atau wartawan kontrak, semua aku lakoni dengan penuh kata sabar dan tekun. Bagiku, profesi jurnalis adalah bagian dari bakat dan kesenanganku dalam dunia tulis menulis dan passion yang telah melekat dan seakan tak bisa terpisah dari ragaku.
Sore itu, sekembali dari berburu berita, aku tiba dengan kondisi buru-buru di kantor. Tanpa banyak kata, aku langsung naik ke lantai dua dan duduk manis di kursi yang selalu setia menemaniku dalam merangkai kata menjadi kalimat indah yang enak dibaca dan layak disajikan kepada para pelanggan setia, media tempatku bernaung.
Usai menyelesaikan tiga berita dengan terburu-buru akibat jadwal deadline yang mepet karena liputan terakhirku berdekatan dengan jam terakhir aku harus menyerahkan semua naskah hari itu ke meja redaksi di Jakarta, aku pun iseng membuka emailku.
Ada satu email dari SDM kantor pusat mediaku yang berlokasi di Jakarta. Maklum, saya berkantor di kantor biro yang jaraknya ratusan mil dari ibukota negara ini. Agak kaget sih. "Ada apa ya SDM Jakarta mengirimiku email?" tanyaku dalam hati. Beberapa detik kemudian, kubuka email tersebut demi menghilangkan rasa penasaran.
"Wow...ada penawaran menarik nih dari Jakarta," gumamku dalam hati. Aku ditawari mengikuti tes di Jakarta, untuk menjadi karyawan organik dan menempati posisi uploader, satu posisi diatas wartawan dan dibawah redaktur yang saat itu memang lagi dibutuhkan mediaku yang sedang sibuk berekspansi dengan media during, bersanding dengan media konvensional yang ketika itu telah berusia 20 tahun.
Dengan gembira karena merasa diberi kesempatan untuk menjadi jurnalis yang lebih baik di perusahaan tempatku bekerja, aku lantas memberitahukan kepada kepala biro soal email dari SDM yang aku terima. "Oke, ikut saja tes itu Tiara. Bagus kalau ada penawaran yang begitu dari SDM," komentar kepala biro memberiku semangat ketika itu.
Tanpa menunggu lama, aku langsung membalas email dari SDM dan memesan tiket pesawat sesuai jadwal tes yang telah ditentukan.
Hari masih pagi, baru pukul 07.00 WIB ketika aku keluar dari rumah sepupuku di Jakarta, tempat aku menginap selama 2 hari mengikuti tes yang diadakan kantorku. Mengenakan kemeja kotak warna cokelat ditemani bawahan celana kain warna hitam, kutelusuri jalanan ibukota menggunakan angkot jurusan Manggarai-Tanah Abang. Jadwal tes memang nanti pukul 10.00 WIB, tapi aku tidak ingin konsentrasiku buyar hanya karena terburu-buru dengan peluh yang membanjiri seluruh wajah dan tubuhku. Maka kuputuskan datang lebih awal, sekaligus "membaca" situasi sambil menunggu tes wawancara berlangsung.