Mendengar pertanyaan terakhir Gilang seperti memaksaku untuk kembali membuka lembaran lama, peristiwa lebih setahun silam yang aku alami, di mana saat itu aku merasa sendiri dan segala usaha dan upaya yang kulakukan tak dihargai sama sekali. Tak penting kata terima kasih bagiku, tapi setidaknya SDM tempatku bekerja harusnya bisa melihat sedikit dedikasi yang sudah kupersembahkan untuk perusahaan. Luka lama seakan menganga kembali.
Hening. Kami berdua tiba-tiba seperti orang bisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba "Halo Tiara, kau masih dengar suaraku," sapa Gilang diujung ponsel.
"Eh iya, aku dengar kok. Ohya, emang kenapa? Kau lagi punya masalah? Masalah apa?" ujarku memberondongnya dengan pertanyaan.
Tak berapa lama, mengalirlah cerita Gilang. Tentang kejenuhan atas pekerjaannya sebagai seorang kepala cabang sebuah bank BUMN di sebuah kota kecil. Juga tentang masalah dengan tim kerja dan nasabah, belum lagi persoalan keluarga yang kerap harus dihadapinya seorang diri. Aku seperti melihat diriku dalam sebuah cermin besar, ketika mendengar keluh kesah Gilang.
"Tiara, pernah dengar informasi gak, di mana ada psikiater atau psikolog yang terbaik di Makassar?" tanya Gilang mengakhiri ceritanya.
Glek! Seakan baru saja tertelan permen yang kemudian nancap di tenggorokan, aku lantas menelan ludah secepatnya. "Gilang, kau tau, aku pernah menghadapi persoalan hampir mirip yang kau alami. Waktu itu aku hampir stres sampai mencari alamat psikolog di Makassar. Aku bahkan sudah sempat konsultasi via email dan membuat janji untuk melakukan pertemuan," ceritaku dengan nada pelan, menahan rasa sedih yang kembali menyesak di dada. Â
"Terus bagaimana?" Gilang memotong suaraku.
"Untunglah, aku belum sempat bertemu psikolog itu," ujarku kemudian.
"Kenapa? Ada psikolog lain yang kau temui, atau bagaimana?" kejar Gilang.
"Tidak. Aku lebih memilih sholat dan mengadu serta curhat kepada Allah. Alhamdulillah jiwaku menjadi tenang dan bisa kembali menghadapi hari-hariku dengan riang seperti dulu," kataku seraya tersenyum di ujung ponsel.
Usai aku menyelesaikan kata per kataku, Gilang lalu menyudahi pembicaraan kami dan pamit lanjut bekerja kembali. Aku pun kembali fokus ke layar laptop yang hampir 45 menit aku tak pedulikan karena sibuk berbincang dengan Gilang melalui telepon genggam.