Mohon tunggu...
Endah Manganti
Endah Manganti Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, Copy Writer, Influencer, Public Relation

Saya seorang Penulis, Copy Writer, Influencer, Public Relation yang terlahir dari Mama yang berasal dari Suku Ondae Poso, Sulawesi Tengah campur Banjar, Kalimantan Selatan dan Papa yang asli Sunda, Jawa Barat. Saya hobi menulis dan senang mendeskripsikan hampir semua perasaan, pengalaman dan apapun yang saya lihat. Saya juga senang dan suka menulis Cerpen. Salam dan bravo selalu ONDAE!!! Ohya skefo, saya pernah selama hampir 20 tahun menjalani profesi sebagai Jurnalis di koran lokal, majalah komunitas dan terakhir di Harian Bisnis Indonesia. Terima kasih!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Curhat

9 Oktober 2017   11:30 Diperbarui: 9 Oktober 2017   12:14 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya, setelah 2 minggu berturut-turut kubalurkan kakiku yang bengkak setiap mau tidur malam, Alhamdulillah bengkaknya hilang. Kakiku juga sudah tidak membiru lagi, warnanya sudah seperti kaki kananku yang kondisinya tetap baik pasca kejadian nahas di tangga kantor lalu.

Tengah asyik menjalani profesi uploader dengan penuh semangat, tiba-tiba kepala biro memanggiku untuk menghadap di ruangannya. "Ini ada surat dari SDM di Jakarta. Tiara diminta untuk menjalani psikotes lagi karena tes yang di Jakarta lalu hasilnya belum memenuhi standar SDM dan manajemen redaksi untuk menjadikan Tiara sebagai tenaga tetap uploader," pelan suara kepala biro ku, suaranya terdengar seperti bisikan. Namun, semua tulangku terasa lemas, seakan tak mampu untuk menopang seluruh tubuhku yang ingin kembali ke meja tempatku bekerja. Entahlah...saat itu rasanya aku ingin menangis karena rasa kecewaku. Tapi kupikir biarlah, aku ikuti saja apa mau SDM dan manajemen redaksi di Jakarta. Beberapa hari kemudian, aku kembali menjalani psikotes di kota tempatku bekerja.

Dua minggu kemudian, hasil psikotes dalam bentuk lembaran yang terbungkus rapi dalam sebuah amplop tiba di meja resepsionis kantorku. Tak berapa lama, amplop tersebut berpindah ke meja kepala biroku. Seperti biasa, pukul 16.00 WITA kepala biroku baru memunculkan batang hidungnya yang tinggi khas hidung turunan orang Arab. Sayup kudengar, berhubung jarak mejaku dengan ruangan kepala biro tidak begitu jauh, suara amplop dibuka dan lembaran di dalamnya dibaca.

Tak lama kemudian, "Tiara...ke sini dulu sebentar," panggil Pak Nursin, kepala biro yang selalu sibuk dengan konco bisnisnya sejak pagi hingga sore hari. Usai mengucapkan kalimat per kalimat dengan nada pelan, tidak berapa lama petir di siang bolong seperti menyambar tubuhku yang kemudian memanas. Bahkan pendingin ruangan 2,5 PK yang dipasang di ruangan berukuran 3 x 3 cm tidak mampu membuat suhu tubuhku mendingin kala itu.

Alhasil...air mataku mengalir deras, tumpah ruah di pipiku bak air bah, akibat rasa kecewaku yang mendalam. Bukan karena saya gila jabatan. Tidak! Tapi, apa arti semua usaha dan pengorbanan yang sudah kulakukan dan kupersembahkan yang terbaik bagi perusahaan selama 2 tahun? Apakah ukuran layak tidaknya menjadi karyawan di perusahaanku hanya dari hasil psikotes? Sama sekali tidak memperhitungkan kinerja, pengorbanan dan loyalitas? "Serendah" itukah penilaian perusahaanku terhadap karyawannya? Ingin kuberada di tempat yang sepi saat itu dan berteriak aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggghhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!

Sedih, kecewa, sakit hati......dan berbagai perasaan lainnya terus berkecamuk dalam hatiku. Sebisa mungkin kusembunyikan rasa yang ada di dada dengan senyum yang selalu merekah indah bila sedang berada di kantor dan berhadapan dengan teman-teman serta kepala biroku. Aku bertekad, bahkan semut dan nyamuk pun tak boleh tau isi perasaanku yang sebenarnya.

Namun tak bisa kupungkiri, sesak di dada akibat rasa sedih dan kecewa kian membuncah. Diam-diam aku browsingdi internet alamat psikolog di kotaku, sekaligus menanyakan jam konsultasi plus biayanya. Aku butuh teman curhat, aku butuh seseorang yang mau mendengar keluh kesahku, aku butuh seseorang yang dengan jujur bisa mengatakan apa saja kekuranganku dan kelebihan yang kumiliki sebagai bahan introspeksi diri.

Aku alami stres? Tidak! Depresi? Mungkin sedikit, yang pasti aku butuh teman untuk bercerita dan mau memahami keadaan diriku. Setelah kutimbang dan pikirkan masak-masak, akhirnya psikolog yang aku "temui" adalah Allah SWT melalui sholat meminta petunjuk dariNYA. Dengan sholat, saya bisa berdialog dengan Allah dan Alhamdulillah mendapatkan ketenangan jiwa. Saya pun mulai menjalani hari seperti biasa dengan perasaan plong, tanpa beban sedikipun.

Kini, 2 tahun sudah aku berkarier di sebuah BUMN, meski dengan aktivitas yang masih sama dengan kantor media tempat saya dulu menimba ilmu jurnalistik, yaitu menangani media sosial, media during milik internal perusahaan, membuat rilis berita kegiatan Perseroan dan tetap menjalin hubungan dengan teman wartawan. Lebih tepatnya, saya diminta menjadi Tenaga Ahli atau bahasa kerennya Individual Expert di Bidang Media. Selain menangani media internal dan pemberitaan, tak jarang saya juga diminta memberikan masukan atau pendapat jika ada pemberitaan negatif maupun positif terkait Perseroan yang beredar dan diangkat teman jurnalis di medianya untuk menjadi konsumsi publik, ya seperti Konsultan Media gitu deh.

Tentunya, semua itu aku syukuri karena Allah masih memberiku jalan terbaikNYA. Alhamdulillah, DIA telah merengkuhku saat kubutuh sandaran, DIA juga telah menjadi teman curhat yang baik, saat aku membutuhkan. Aku sadar, seberat apapun masalah dalam hidupmu, jangan pernah kau jauh dariNYA karena hanya DIA-lah yang bisa menolongmu, apapun kesulitan yang kau hadapi. DIA adalah teman curhat sebaik-baiknya teman curhatmu.

Setahun lebih menjalani profesi baru sebagai Individual Expert Bidang Media, terasa mengasyikkan bagiku. Langkahku kian ringan, seakan separuh beban masalahku lenyap seiring berjalannya detak jam di dinding. Kujalani hari-hariku dengan penuh semangat, apalagi bidang kerjaku masih berkutat dengan naskah berita dan dunia tulis menulis yang memang sudah passionku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun