"Sapu tangan sutra putih dihiasi bunga warna ..."
Potongan lirik lagu itu masih melekat dalam ingatan Asti. Lagu-lagu perjuangan memang kerap disenandungkan oleh ibunya sebagai penghantar tidur saat Asti masih kecil dulu.
Tentang ayahnya ia tidak banyak tahu. Cerita dari mulut ke mulut yang didengarnya, Ayah Asti bersama teman-temannya bergabung dalam perkumpulan PETA yang didirikan oleh Pemerintahan Jepang untuk mengusir Penjajah Belanda tapi kemudian malah membelot dan mengusir Jepang dari Tanah Air.
Setelah Indonesia Merdeka, Ayah Asti memilih bekerja pada sebuah perusahaan pengiriman ekspor impor barang yang cukup ternama saat itu. Jabatan Direktur Utama menuntutnya melakukan banyak perjalanan baik domestik maupun internasional.
Ayah Asti bahkan sedang berada di Australia saat mendengar berita bahwa Asti akan lahir. Tanpa berpikir dua kali, Ayahnya meninggalkan semua pertemuan-pertemuan penting yang telah diagendakan dan kembali ke Tanah Air untuk menyambut kedatangan Asti ke dunia.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Ayah Asti mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju rumahnya dari bandara. Hari yang penuh kebahagiaan itu tiba-tiba harus berselimut duka.
"Sumbang kasih Jaya Sakti, di selatan Bandung Raya..."
Meski tidak pernah bertemu, Ibu Asti berusaha sebaik mungkin memperkenalkan sosok Ayahnya, salah satunya dengan melantunkan lagu-lagu perjuangan pada setiap kesempatan yang ada.
Setelah kepergian Ayahnya, Ibu Asti tidak pernah menikah lagi. Ia mendedikasikan seluruh hidup hanya untuk membesarkan Asti, anak semata wayangnya.
"Diiringi kata yang merdu mesra ... "
Asti tidak akan pernah melupakan pertengkaran yang pernah terjadi antara dia dengan ibunya, saat mengutarakan bahwa Kenzo, pemuda Jepang itu akan melamarnya.
"Bagaimanapun juga Ibu tidak akan merestui! Jepang itu penjajah, Asti! Ayahmu mempertaruhkan nyawanya untuk mengusir mereka dari Tanah Air. Sekarang kamu malah tidak tahu diri ingin menikah dengan orang Jepang!" Seru Ibu Asti meluap-luap.
" Tapi Bu, itu masa lalu! Kenzo tidak tahu apa-apa! Dia tidak menjajah Indonesia! Ia hanya seorang pemuda yang sangat mencintaiku!" Bantah Asti, tidak kalah sengit.
"Ibu taksudi ia menjajah hidupmu! Pokonya Ibu tidak setuju!Titik!"
"Pokoknya aku akan menikahi Kenzo dengan atau tanpa persetujuan Ibu!"Teriak Asti sambil membanting pintu rumah. Meninggalkan ibunya.
"Terima kasih Dik, janganlah lupa ..."
Pernikahan dengan Kenzo yang tidak direstui Ibunya itu memang tidak bertahan lama. Mereka bercerai setelah satu tahun menikah. Hal ini tentu saja membuat Ibu Asti lega. Hubungan antara Ibu dan anak itupun kembali membaik.
Sayangnya kelanggengan hanya berlangsung selama dua tahun saja.
Suatu sore perseteruan antara keduanya kembali berlangsung hebat, setelah Asti memberitahu Ibunya akan keinginan Klaas, kekasihnya berkewarganegaraan Belanda itu untuk meminangnya.
"Penjajah lagi! Penjajah lagi! Apakah kamu tidak mau belajar dari pengalaman dulu, perkawinanmu dengan si penjajah Jepang itu berantakan, sekarang mau menikah dengan penjajah lagi?"
"Bu, jaman penjajahan itu sudah tidak ada! Klaas tidak ada hubungannya dengan jaman feodal dulu! Dia mencintai Asti apa adanya!"
"Ibu tahu, kamu pasti akan tetap menikahi si penjajah Belanda itu walau tanpa persetujuanku. Tapi lihat saja nanti, perkawinanmu takkan lama!" Teriak Ibu Asti.
"Air mataku berlinang, saputanganmu kusimpan ..."
Tapi kali ini perkiraan Ibu Asti meleset. Dua puluh lima tahun sudah pernikahannya dengan Klaas dan telah membuahkan seorang anak perempuan cantik yang sekarang telah berusia dua puluh tiga tahun.
Semenjak Asti memutuskan untuk menjadi istri Klaas, komunikasi antara ia dan ibunya putus begitu saja. Berbagai upaya telah ditempuh Asti, namun Ibunya tetap pada pendiriannya. Ia takmau tahu akan kehidupan Asti lagi.
Hal ini tentu saja sangat membuat Asti sedih. Tapi apalah daya, ia begitu mencintai Klaas. Untung ada Ani, saudara sepupu Asti yang selalu memantau keadaan ibunya dan dengan rutin memberitahukannya kepada Asti
Meski Asti bermukim di Negara Kincir Angin, ia selalu berusaha sebaik mungkin mengajarkan kepada anaknya tentang budaya Indonesia. Seperti ibunya, Asti juga melantunkan lagu-lagu kebangsaan Indonesia sebagai pengantar tidur, saat anak perempuannya masih kecil.
Asti sebetulnya berharap putrinya menikah dengan seorang pria asal Indonesia, tapi takdir menentukan lain. Putri Parahyangan, begitu Asti memberi nama anak semata wayangnya ternyata lebih memilih pria berkebangsaan Amerika, Greg yang akan menjadi menantunya beberapa bulan lagi.
Asti memberi kebebasan memilih jalan hidup kepada putrinya dan ia tidak ingin apa yang telah terjadi pada dirinya juga menimpa anaknya. Ia ingin hubungan erat antara ia dan putrinya tetap langgeng selamanya.
"Ujung jarimu kucium, serta do'a kuucapkan ..."
Asti memandang nisan kayu bertuliskan nama Ibunya. Tiga hari lalu, Ani sepupunya memberitahu bahwa Ibunya telah berpulang. Mendengar berita itu Asti dan keluarganya segera berkemas, pulang ke Indonesia.
Setelah menutup do'a-do'a yang ia panjatkan untuk Ibunya, pikiran Asti melayang ke masa kecil dulu dan lagu-lagu perjuangan yang seringkali dinyanyikan ibunya dengan merdu kembali terngiang.
Tanpa Asti sadari ternyata sejak tadi mulutnya bersenandung menyanyikan salah satu lagu perjuangan itu.
"Selamat jalan, selamat berjuang ..."
Asti tiba-tiba menghentikan senandungnya. Ia merasa ada suara lain yang mengikutinya bernyanyi. Bulu kuduknya berdiri.
Seketika itu juga ia merasakan sentuhan melingkar di pundak kirinya. Perlahan ditoleh mukanya ke kanan. Ada Putri Parahyangan di sana.
Asti mengernyitkan dahinya. Mungkinkah itu suara anaknya? Asti sungguh tidak menyangka kalau Putri Parahyangan ternyata mampu menyanyikan lagu itu dengan sempurna.
"Aku sudah lama belajar banyak lagu-lagu perjuangan Indonesia yang sering Ibu nyanyikan waktu aku kecil dulu" bisik anaknya perlahan, dengan logat Belanda yang kental.
Mendengar itu, air mata Asti mengalir. Ia cuma bisa berharap Ayah dan Ibunya bangga, bukan terhadap dirinya tetapi putrinya, cucu mereka. Asti merasakan usapan halus jemari tangan Putri Parahyangan menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
Asti memandang mata biru Putri Parahyangan dalam-dalam. Keduanya tersenyum dan serentak melantunkan bait akhir lagu.
"Bandung Selatan jangan dilupakan ..."
Widz Stoops , PC-USA 3.11.2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI