"Air mataku berlinang, saputanganmu kusimpan ..."
Tapi kali ini perkiraan Ibu Asti meleset. Dua puluh lima tahun sudah pernikahannya dengan Klaas dan telah membuahkan seorang anak perempuan cantik yang sekarang telah berusia dua puluh tiga tahun.
Semenjak Asti memutuskan untuk menjadi istri Klaas, komunikasi antara ia dan ibunya putus begitu saja. Berbagai upaya telah ditempuh Asti, namun Ibunya tetap pada pendiriannya. Ia takmau tahu akan kehidupan Asti lagi.
Hal ini tentu saja sangat membuat Asti sedih. Tapi apalah daya, ia begitu mencintai Klaas. Untung ada Ani, saudara sepupu Asti yang selalu memantau keadaan ibunya dan dengan rutin memberitahukannya kepada Asti
Meski Asti bermukim di Negara Kincir Angin, ia selalu berusaha sebaik mungkin mengajarkan kepada anaknya tentang budaya Indonesia. Seperti ibunya, Asti juga melantunkan lagu-lagu kebangsaan Indonesia sebagai pengantar tidur, saat anak perempuannya masih kecil.
Asti sebetulnya berharap putrinya menikah dengan seorang pria asal Indonesia, tapi takdir menentukan lain. Putri Parahyangan, begitu Asti memberi nama anak semata wayangnya ternyata lebih memilih pria berkebangsaan Amerika, Greg yang akan menjadi menantunya beberapa bulan lagi.
Asti memberi kebebasan memilih jalan hidup kepada putrinya dan ia tidak ingin apa yang telah terjadi pada dirinya juga menimpa anaknya. Ia ingin hubungan erat antara ia dan putrinya tetap langgeng selamanya.
"Ujung jarimu kucium, serta do'a kuucapkan ..."
Asti memandang nisan kayu bertuliskan nama Ibunya. Tiga hari lalu, Ani sepupunya memberitahu bahwa Ibunya telah berpulang. Mendengar berita itu Asti dan keluarganya segera berkemas, pulang ke Indonesia.
Setelah menutup do'a-do'a yang ia panjatkan untuk Ibunya, pikiran Asti melayang ke masa kecil dulu dan lagu-lagu perjuangan yang seringkali dinyanyikan ibunya dengan merdu kembali terngiang.
Tanpa Asti sadari ternyata sejak tadi mulutnya bersenandung menyanyikan salah satu lagu perjuangan itu.