Ini sudah kali kelima kami pindah rumah. Capek sebetulnya. Tapi mau gimana lagi? Emak menginginkan pindah. Kami memang tak pernah tinggal lama di satu tempat, satu atau dua tahun, paling lama tiga tahun.
Akulah sebetulnya akar penyebab di setiap kepindahan kami. Itu pasti! Meski emak selalu marah bila aku mengemukakan hal ini kepadanya.
"Jangan biarkan pendapat picik itu meracuni otak kamu, Digo!" Masih terngiang teriakan emak kepadaku.
Dimataku emak adalah super woman, jarang ada wanita yang seperti emak. Jam setengah empat pagi emak sudah bangun membuat kudapan yang bakal dititipkan ke warung atau toko yang bersedia menjualnya dengan sistem “Bagi untung”.
Setelah itu emak mencuci baju kami. Lalu kak In, kakakku membantu menjemur baju saat emak mempersiapkan sarapan. Emak mengharuskan aku dan kak In untuk makan pagi sebelum berangkat sekolah.
Kadang kalau masih ada sisa, emak mengemasnya untuk kami bawa buat di santap kembali siang harinya saat istirahat di sekolah. Emak tidak pernah memberi kami uang jajan. Karena memang tidak ada sisa uang yang dapat disisihkan untuk jajan kami.
Setelah aku dan kak In berangkat sekolah, emak pun berangkat kerja kuli cuci baju. Di sela-sela kesibukannya di siang hari, emak selalu menyempatkan diri pergi ke pasar berbelanja buat keperluan esok hari dan mengangkati cucian baju kami yang sudah kering. Selepas itu emak pergi lagi untuk kerja kuli setrika.
Jam sekolahku biasanya usai lebih dulu dari kak In. Tapi emak marah kalau aku pulang sendiri, jadi aku harus menunggu sampai kak In selesai untuk pulang sama-sama.
"Kalian berangkat sekolah sama-sama, pulang ya juga harus sama-sama!" Kata-kata emak yang tetap kuingat.
Biasanya kami selalu tiba di rumah sekitar jam tiga sore, dua jam lebih dulu ketimbang emak. Emak menyembunyikan kunci rumah di bawah batu dekat pot tanaman yang terletak di depan pintu rumah kontrakan, biar kami bisa langsung masuk kedalam rumah tanpa harus menunggunya pulang.