Mohon tunggu...
Patrisius WidiNugraha
Patrisius WidiNugraha Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - manusia asli

asek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bila Matahari Tak Mampu Bersinar Lagi

30 Maret 2022   08:06 Diperbarui: 30 Maret 2022   08:07 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila Matahari Tak Mampu Bersinar Lagi

Banyak orang bilang bermimpilah setinggi-tingginya dan imajinasikan apa yang kamu inginkan dalam mimpi itu serta perjuangkanlah apa yang kamu impikan dan nantinya kamu akan jatuh di bintang-bintang yang sudah kamu harapkan itu.Namun apalah artinya bagiku. Hah... Apalagi yang akan kau lakukan? Imajinasi sudah tak ada artinya lagi, harapan pun tak pasti. Hanya putus asa yang datang menghampiri.

Bantaran sungai adalah tempat favoritku untuk melamun. Namun terkadang aku membencinya. Iya betul. Bagaimana tidak? Sungai saja dapat mengalir tanpa henti, tetapi cerita hidupku hanyalah hambatan bagiku untuk melakukan keseharian. Ah, sudahlah, tak penting membicarakan hal yang tidak jelas. 

"Woi Doni kerjaan lu ngelamun terus, ini cuci piring cepet", teriak Jamal dengan nada tinggi. 

"Ya Mal, kalem napa", ketusku dengan kesal. 

Warteg kencono, satu-satunya tempat usaha yang menerimaku sebagai pegawai. Ya... "Pegawai" buruh cuci yang kumaksud. Setidaknya memiliki panggilan yang kece. 

"Alah... lemas kali kau" , ucap Mamat.

 "Belum makan saya Mat" , balasku dengan lemas.

 "Sinilah makan, aku traktir tapi jangan kau ambil banyak-banyak" , ucap Mamatdengan nada kasihan. 

Aku langsung pergi ke arah Mamat dan memesan makan. Nasi dan telur rebus favoritku. Makanan murah namun dapat menahan lapar dua hari. Jangan kaget dong hehehe...

Kota metropolitan sebutannya, pusat ekonomi, tempat orang-orang mengais rezeki. Merampok, begal, mengemis, dan menjadi budak. Begitulah rusaknya. Ah sudahlah. Menggerutu tak membuat piring itu tercuci sendiri.

Pukul lima sore, saatnya kembali. Kembali? Entahlah aku kembali ke mana. Sambil membawa secerca harapan yang hampir yang hampir sirna, aku kembali ke bantaran sungai. Sambil berharap ada yang memiliki hobi dan sukarela memberi harga murah untuk kost yang akan kutinggali.

Delapan belas tahun. Aku kira sudah cukup untuk cari kerja di Metropolitan. Sebuah kota yang katanya megah nan mudah untuk mencari pekerjaan. "Katanya" , sesampainya di sana mengapa yang aku lihat hanya kebusukannya saja. Harapan yang semula bersinar terasng perlahan mulai meredup. Sudah hampir ratusan perusahaan yang kuhampiri. 

Namun mereka hanya mengatakan aku kurang berpengalaman. Iya "pengalaman" membohongi orang maksudnya. Mengapa tidak? Jika ingin cepat laku ya berbuat demikianlah kata "mereka" , memang sulit memahami cara pandang orang lain.

"Eh doni, sudah malam nih, aku ada kost yang kosong satu. Aku murahin deh" , teriak Nana dari kejauhan. 

Ya ampun perempuan itu membuatku terkejut saja,

 "ya" , ucapku sambil membawa tas.

. Malam itu sangat puas dan bahagia. Entahlah malam itu berlalu begitu saja, yang terpenting aku dapat tidur dengan nyenyak. 

Mataharti mulai hadir kembali. Ah sentuhan hangatnya. Sudah lama aku tak dapat merasakan hal itu. Empat tahun merupakan waktu yang cukup untuk membuatku lupa kasih sayang seorang ibu. Hadeh pemikiran ini lagi. Mengapa selalu muncul kembali dalam benak pikiran ini yang mengacau keseharianku saja. Aku harus bisa banyak menjalani kegiatan supaya bisa melupakan pemikirang yang tidak mengenakan ini. 

"Bangun Doni, sapa Nana pelan. Botol miras, rokok, kartu ada di mana-mana berserakan di kamar kostku ini. Entah apa yang terjadi semalam. 

"Ya" sahutku.

 "Ini ada nasi uduk" sahut Nana kembali. 

Mengapa aku merasakan hal yang aneh di dalam hatiku, aneh mengapa aku merasa ada hal yang mengganjal di hatiku diperlakukan seperti ini. Aku pun melihat Nana yang juga sedang melihatku dan hal itu semakin membuatku semakin merasa canggung dalam waktu ini. 

Nana adalah temanku dan ia memang memiliki kebaikan hati yang selalu membuat saya menjadi lebih mudah menjalani keseharian yang hampa ini. Nana selalu ada dikala kesusahan menyerang diriku dan ia selalu bisa mengobati hal itu. Senang bisa berkenalan dengan dirinya. Sikapnya membuat pikiran hatiku merasakan ada gejolak yang terasa di dada. Ingin rasanya mengungkapkan isi hati yang selalu terpana melihatnya. Sosoknya yang keibuan membuat diriku menjadi merasakan kehangatan didekatnya. 

Setelahku makan sarapan yang telah diberikan Nana kepadaku, aku mulai bersiap diri untuk melakukan pekerjaanku. Hanya inilah kesibukan yang dapat aku lakukan dan mengahsilkan rezeki bagiku yang halal.

 "Oi Mal" , sapaku kepada Jamal yang sedang membereskan tempat makan untuk segera buka dan melayani pembeli.

 "Yo Don, gimana kabar nih baik kah?" , balasan Jamal yang sekaligus menanyakan kabarku. 

"Ya biasa gini-gini aja hidupku Mal, jalanin aja sedih dah biasa seneng ya syukuri aja ya ga si hehehe" , jawabku dengan santai yang baru ingin membantunya menyiapkan warteg yang segera buka.

Mamat yang menjadi pelanggan pertama langsung duduk dan memesan menu yang ia sampaikan kepadaku.

 "Oi Don bikinkan aku satu gelas kopi hangat dan nasi dengan lauk tempe orek dan kikil" , ucap Mamat yang sudah duduk di tempat yang sudah tersedia.

"Oke Mat pesanan akan datanag dalam sekejap" , jawabku dengan semangat.

 Langsung kuambilkan menu-menu yang tadi sudah disebutkan oleh Mamat.

 "Silahkan Mamat disantap hidangan yang masih hangat ini" , ucapku sembari memberikan pesanan Mamat.

Entah mengapa hari ini aku begitu semnagat menjalani kegiatan pekerjaanku. Apa itu karena sosok perempuan yang selalu memberi perhatian kepadaku itu atau... entahlah intinya hari ini aku sangat semangat sekali.

Saat kembali ke kostan aku langsung mandi dan beberes untuk melakukan kesukaanku yaitu tidur pastinya. Hehehe, saat mata ini baru terpejam tiba-tiba pintu kost bunyi karena ada yang mengetuk dari luar. Suara itu sedikit kencang karena pintu kost yang terbuat dari kayu ringan sehingga menimbulkan suara yang nyaring. 

"Misi, Doni" , sapaan orang yang mengetuk pintu 

"Iya, tunggu sebentar, siapa ni, eh kamu Na. Ada apa kok malem-malem kesini?" , balasanku terhadap orang yang mengetuk pintu yang ternyata adalah Nana.

"Ini ada nasi sama lauk lebih dari rumah, tadi aku masak bareng ibu." , ucap Nana yang sembari memberikan wadah makan kepadaku.

"Ya, ampun repot-repot banget nih, jadi ga enak." , balasku dengan senyuman tipis malu.

"Udah gapapa Don, berarti emang rezeki kali buatmu." , ucap Nana dengan senyum manisnya.

"Puji Tuhan, masih ada orang baik sepertimu Na, semoga rezekiku juga untuk bisa mendapatkanmu Na." , ucapku yang spontan keluar dari hati.

Ucapan itu membuat Nana hanya terdiam dan menahan bibirnya, seperti bingung harus menjawab atau bersikap seperti apa. 

Keesokannya Doni kepikiran dengan perkataannya yang semalam kepada Nana. Ia takut ucapannya itu malah membuat Nana menjadi malas menemuinya lagi dan tidak ingin menemuinya karena merasa canggung. Ingin menyesali tapi tidak ada guna dan hal itu juga spontan dan sesuai apa yang aku rasakan. Sempat terlintas di benak Doni untuk bertemu dengan Nana dan bilang kepadanya sama seperti semalam namun, lebih jelas. Doni yanh hanya bekerja sebagai "pegawai" warteg ingin mendapatkan Nana yang merupakan anak dari juragan kost-kostan. Sisi pikiran lainnnya muncul hal seperti itu. Setelah memikirkan cukup lama, Doni akhirnya memberanikan diri untuk bisa langsung berbicara dan menyatakan perasaannya jepada Nana.

Malamnya Doni mengunjungi rumah Nana yang tidak jauh dari kostnya. Ia mengetuk pintu tumah Nana dan memanggilnya.

"Misi Nana." , ucapku 

"Iya sebentar, loh kamu Don, sini duduk dulu." , balas Nana dan langsung menawarkan untuk duduk.

"Iya Na, terima kasih." , balasku singkat.

"Ada apa Don? Tumben kesini." , tanya Nana kepadaku.

Saat ini perasaan doni campur aduk dan ia hanya diam saja dan memikirkan tentang yang sudah ia rencanakan.

"Mengapa perasaanku menjadi seperti ini ya Tuhan? Apa tidak jadi saja ia melakukannya?" , ucap Doni di dalam hatinya.

"Don kok kamu diam saja, ada apa?" , tanya Nana yang bingung dan penasaran. 

"Jadi Na aku kesini ingin mengambil rezekiku, yaitu bisa mendapatkanmu atau memilikimu Na." kataku kepada Nana.

"Maksudnya Don?" , tanya Nana yang masih sedikit bingung.

"Oke jadi aku perjelas aja ya Na, aku sayang sama kamu Na, mau ga kamu bersamaku untuk menemani setiap langkahku? , ucapku dengan sedikit ragu.

"Hmm. Gimana ya Don?" , ucap Nana

"Ya terserah kamu aja Na, ya aku sih Cuma berharap kamu mau." , balasku

Nana seketika senyum dan berkata dengan suara lembutnya

"Iya Don aku mau kok sama kamu." , balas Nana.

Tidak terasa sudah tujuh tahun kisah itu berlalu. Anakku malah tertawa mendegarkan kisah yang aku ceritakan itu. Yap aku kini sudah punya anak dan Nana sudah menjadi istriku dan selamanya keluarga ini akan aku pertahankan karena mereka lah kebahagiaanku sekarang dan selamanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun