Gaya memasak nasi goreng ala saya bahkan menggunakan jurus memainkan besaran api. Kadang harus besar, kadang pula harus pakai api kecil.
Kalau pakai kompor listrik? Aduuuh... walaupun ada pengaturan panas, tetap saja terasa nggak cocok diterapkan untuk kebiasaan masak kami.
Nggak usah jauh-jauh membayangkan betapa repotnya masak buat hajatan atau jelang lebaran menggunakan kompor listrik. Bahkan, untuk sehari-hari saja, bagi keluarga yang terbiasa mengandalkan wajan cekung jelas menjadi problem tersendiri.
Wajan cekung memang menjadi salah satu ciri khas budaya masak beberapa negara Asia, dan Indonesia tentunya. Nenek moyang kita menciptakannya seiring warisan masakan lezat yang turun temurun entah sudah berapa ratus tahun lamanya.
Masak telur ceplok saja, bakal berbeda hasilnya antara wajan teflon dan wajan cekung. Telur ceplok dengan wajan teflon bakal beleber tepi luarnya, sementara pakai wajan cekung bisa menghasilkan bentuk lingkaran yang sempurna dan kegosongan sesuai selera.
Belum lagi mau bikin tempe goreng tepung atau semacam peyek dengan tepung tipis, hingga kalau mau menggoreng kerupuk. Sangat tidak gorengan-able ketika pakai wajan permukaan datar.
Sebagai warga yang tinggal di daerah yang listriknya masih kerap mati kalau hujan deras, mengandalkan kompor listrik semata jelas beresiko. Bayangkan pas bulan puasa mau masak untuk sahur, eh malah listriknya mati atau tokennya bunyi dengan merdu.
Auto panik itu pastinya.
Maka dari itu, kompor listrik memang tidak bisa diandalkan sebagai piranti utama. Ini kalau saya ya, mungkin beda di keluarga anda.
Sebaiknya tetap ada kompor gas di samping kompor listrik. Bisa saling melengkapi satu sama lain.