Kompor listrik sedang jadi polemik. Sebelum terlalu jauh menyimpulkan baik buruknya kompor listrik, tentu sebaiknya menggali pendapat kalangan emak yang tiap hari menguasai area dapur.
"Ngapain sih nanya-nanya kompor listrik? Jangan-jangan Ayah diajak jadi buzzer kompor listrik ya?! Awas ya, jangan mau Yah!" cerocos istri saya, seolah curiga dengan gelagat saya mengajaknya diskusi soal kompor listrik.
Saya sih nyengir aja dikira mau jadi buzzer kompor listrik. Faktanya sampai sekarang enggak ada yang nawarin, haha.
Namun, menariknya, tak biasanya istri saya kontra banget terhadap sebuah kebijakan baru. Sekilas bahkan saya melihat sosok Mulan Jameela di istri saya, eh.. (salah... salaaaah!!!).
Ya, baru-baru ini sebagai anggota DPR RI Komisi VII, Mulan Jameela menyuarakan pendapat bahwa kebijakan kompor listrik harus dikaji ulang. Ia melihat bahwa program konversi kompor gas ke kompor induksi ini menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Nggak cocok dengan masakan Indonesia.
Melihat Mbak Mulan bicara, kali ini saya harus mengangguk-angguk setuju. Demikian pula dengan argumen yang diutarakan istri saya.
"Kalau misal kita ganti kompor listrik, Ayah nggak bakalan bisa bikin nasi goreng lagi!" ujarnya.
Lah, bener juga ya? Kompor listrik induksi yang dibagikan pemerintah memang tidak mendukung peralatan masak seperti panci dan wajan dengan pantat cembung. Harus flat.
Sebagai orang yang mengaku hobi masak nasi goreng, dan nasi goreng saya selalu ditunggu-tunggu anak dan istri, jelas saya menolak ide untuk menggoreng nasi goreng dengan wajan datar di atas kompor listrik. Seninya di mana coba? Soalnya memasak kan termasuk seni juga dong.
Saya tidak bakal bisa melakukan gaya aduk-aduk nasi khas abang-abang nasi goreng. Sesekali nasinya bahkan bisa terbang-terbang ke udara, dan sesekali pula saya harus memukul-mukul sodet ke pinggiran wajan.