Saya pun di rumah tidak serta merta menolak piranti masak berbasis energi listrik. Ada air fryer di rumah saya yang kini kerap digunakan untuk menggoreng tanpa minyak, dan menghangatkan makanan tertentu.
Air fryer ini pun tidak bisa digunakan untuk menggoreng makanan tipe gorengan tradisional yang butuh minyak goreng macam kolam renang. Lebih pada jenis masakan kekinian yang resepnya harus dicari dulu di media sosial, dan tentunya yang praktis-praktis saja.
Mencari solusi dari energi alternatif
Persoalan gas subsidi yang dikonversi ke arah kompor listrik ini seolah menepikan hal lain seperti keberadaan energi alternatif untuk kebutuhan rumah tangga.
Sebut saja pemanfaatan gas metana dari pengelolaan sampah rumah tangga untuk memberikan pasokan gas dan listrik. Saat ini beberapa daerah, utamanya di area tempat pembuangan akhir (TPA) yang memanfaatkan gas metana untuk kebutuhan energi rumah tangga.
Tahun 2013 silam, saya sempat mengunjungi TPA Puuwatu di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan menjadi saksi pemanfaatan gas metana dari sampah untuk kebutuhan gas dan listrik di perumahan warga di sekitar TPA.
Maka, kebutuhan untuk masak sehari-hari pun bisa terpenuhi secara gratis. Pipa-pipa gas disalurkan dari pengelolaan gas metana di TPA ke perumahan warga.
Hanya saja, sembilan tahun berlalu, ternyata hal positif semacam ini belum banyak ditiru dan dikembangkan secara nasional. Bayangkan saja andai ada kebijakan nasional untuk hal ini.
Di satu sisi pengelolaan sampah bakal beres, dan di sisi lain pasokan energi untuk masyarakat pun tak lagi tergantung dengan listrik PLN dan gas elpiji bersubsidi.
Well, entah kendala apa yang menyertainya. Tapi teringat hal itu, rasanya pengen mengajak Mbak Mulan Jameela (ehemmm...) untuk datang ke TPA yang sudah berhasil mengelola gas metana untuk memasok energi bagi warga sekitar.