Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa relasi Bogor-Angke yang melewati Bojonggede, Citayam, hingga Tanah Abang adalah rute paling padat penumpang yang memang sudah kadung menjadi andalan warga di jalur tersebut.
2. Minimnya alternatif transportasi ke Jakarta selain KRL
Daerah di Kabupaten Bogor dan Kota Depok yang sejalur, sebut saja Bojonggede, Citayam dan Cilebut, beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan pesat jumlah penduduk dan pemukiman. Mereka yang bekerja di Jakarta, dan tidak kuat membeli rumah di ibu kota, memilih daerah-daerah tersebut dengan alasan harga properti masih terjangkau dan dekat dengan jalur moda andalan berupa KRL.
Namun, masalahnya di daerah tersebut minim alternatif transportasi lain seperti bus yang langsung ke Jakarta. Mau tidak mau, bagi yang enggan memakai kendaraan pribadi, maka KRL adalah satu-satunya transportasi yang bisa diakses dengan mudah, murah dan cepat.
Kini, ketika satu jalur langsung ke arah Angke via Sudirman dan Tanah Abang hilang, sudah pasti penumpang dari daerah ini menjadi korbannya. Harus transit di Manggarai dengan jumlah penumpang yang luar biasa banyak adalah sebuah siksaan berbalut keterpaksaan.
3. Jumlah kereta lanjutan dari Manggarai ke Angke tidak sebanding
Berdasarkan pengamatan sejauh ini, ketika pagi di jam sibuk, KRL dari arah Bogor sudah tiga kali lewat menurunkan penumpang di Stasiun Manggarai, tetapi masih harus menunggu KRL dari arah Bekasi/Cikarang yang akan membawa ke arah Angke.
Akibatnya, saling dorong di pintu KRL jelas tak terhindarkan. Bahkan beberapa hari lalu saya menyaksikan sendiri ada penumpang yang kakinya kejeblos celah peron saat hendak naik KRL dengan buru-buru. Ada pula yang terjepit di pintu KRL gara-gara memaksakan diri masuk ke dalam kereta.