Sudah dua pekan berjalan sejak perubahan rute KRL di Stasiun Manggarai, dan masih banyak penumpang yang ngedumel baik di media sosial maupun saat berjibaku untuk transit.
Atas nama perbaikan layanan yang lebih baik, serta menuju Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral, maka diambillah kebijakan kontroversial berupa penghapusan rute Bogor-Angke serta Bekasi-Jakarta Kota.
Penumpukan penumpang dan ketidaksiapan Manggarai menerima penumpang yang transit, menjadi bukti bahwa penghapusan rute, terutama Bogor-Angke yang melewati stasiun-stasiun vital nan ramai macam Sudirman, Karet, dan Tanah Abang, merupakan kebijakan yang patut dikaji lagi.
Menjadi langkah yang aneh, mengingat pembangunan transportasi massal di era modern sejatinya harus menambah banyak rute baru demi kepentingan masyarakat, bukan malah menghilangkan keberadaan sebuah rute vital seperti Bogor-Angke.
Mungkin dari sisi operator menjadi lebih mudah, karena jalur keretanya tinggal lurus saja dari Bogor ke Kota, tapi dari sisi penumpang yang dari arah Bogor hendak menuju ke arah Tanah Abang adalah derita karena harus transit di Manggarai.
Terlebih saat transit, mereka harus berjalan menuruni tangga sambil berjubel orang, kemudian menunggu lagi kereta dari arah Bekasi yang kerap tak sesegera mungkin tiba. Jika tiba pun tidak semua bisa naik karena KRL tersebut sudah terlanjur dipenuhi orang.
Bagi yang pro dengan perubahan ini, semula selalu melontarkan kalimat "ah, palingan seminggu sudah terbiasa."
Namun, seminggu berlalu bahkan dalam hitungan dua pekan justru semakin terasa bahwa hilangnya rute Bogor-Angke adalah sebuah kesalahan besar yang merugikan banyak pihak. Ada beberapa alasan yang sebenarnya menunjukkan fakta bahwa rute Bogor-Angke tidak layak dihilangkan begitu saja.
1. Jumlah penumpang dari arah Bogor lebih besar
Berdasarkan rilis dari PT KCI yang dimuat Kompas.com pada September 2021 lalu, lima besar stasiun dengan jumlah penumpang terbesar berturut-turut adalah Stasiun Tanah Abang (rata-rata volume 14.736 penumpang per hari), Stasiun Bogor (13.840 pengguna per hari) Stasiun Bojonggede (12.437 pengguna per hari), Stasiun Citayam (11.460 orang per hari), dan Stasiun Bekasi (9.531 pengguna per hari).
Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa relasi Bogor-Angke yang melewati Bojonggede, Citayam, hingga Tanah Abang adalah rute paling padat penumpang yang memang sudah kadung menjadi andalan warga di jalur tersebut.
2. Minimnya alternatif transportasi ke Jakarta selain KRL
Daerah di Kabupaten Bogor dan Kota Depok yang sejalur, sebut saja Bojonggede, Citayam dan Cilebut, beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan pesat jumlah penduduk dan pemukiman. Mereka yang bekerja di Jakarta, dan tidak kuat membeli rumah di ibu kota, memilih daerah-daerah tersebut dengan alasan harga properti masih terjangkau dan dekat dengan jalur moda andalan berupa KRL.
Namun, masalahnya di daerah tersebut minim alternatif transportasi lain seperti bus yang langsung ke Jakarta. Mau tidak mau, bagi yang enggan memakai kendaraan pribadi, maka KRL adalah satu-satunya transportasi yang bisa diakses dengan mudah, murah dan cepat.
Kini, ketika satu jalur langsung ke arah Angke via Sudirman dan Tanah Abang hilang, sudah pasti penumpang dari daerah ini menjadi korbannya. Harus transit di Manggarai dengan jumlah penumpang yang luar biasa banyak adalah sebuah siksaan berbalut keterpaksaan.
3. Jumlah kereta lanjutan dari Manggarai ke Angke tidak sebanding
Berdasarkan pengamatan sejauh ini, ketika pagi di jam sibuk, KRL dari arah Bogor sudah tiga kali lewat menurunkan penumpang di Stasiun Manggarai, tetapi masih harus menunggu KRL dari arah Bekasi/Cikarang yang akan membawa ke arah Angke.
Akibatnya, saling dorong di pintu KRL jelas tak terhindarkan. Bahkan beberapa hari lalu saya menyaksikan sendiri ada penumpang yang kakinya kejeblos celah peron saat hendak naik KRL dengan buru-buru. Ada pula yang terjepit di pintu KRL gara-gara memaksakan diri masuk ke dalam kereta.
4. Durasi waktu perjalanan penumpang menjadi bertambah
Siapa yang tak senang ketika pergi maupun pulang bekerja bisa ditempuh dengan waktu sesingkat mungkin. Tapi setelah perubahan pola perjalanan di Stasiun Manggarai, penumpang dari arah Bogor harus merelakan durasi waktu perjalanan bertambah lama.
Keharusan transit dan menunggu kereta lanjutan setidaknya akan memakan waktu lebih lama. Saya sendiri yang semula paling cepat 1,5 jam dari rumah ke tempat kerja, kini bisa 2 jam atau lebih menuju tempat kerja.
5. Rentan stres dan memicu pertengkaran
Pagi hari di jam sibuk adalah waktu yang teramat krusial. Semua orang yang berangkat bekerja merasa harus buru-buru sampai ke tujuan dan berharap tidak terlambat.
Sayangnya ketika harus transit di Stasiun Manggarai yang dipenuhi banyak orang dengan tujuan sama, maka yang ada hanyalah resiko adu fisik dan adu mulut. Saling dorong, tak sengaja terinjak, dan bahkan rasa kesal dengan petugas yang salah mengarahkan, bisa sewaktu-waktu terjadi.
Kekesalan bisa pula berlanjut ke media sosial ketika perubahan pola perjalanan di Stasiun Manggarai menjadi ajang saling debat dan bertikai secara daring.
Apakah kondisi seperti ini ideal untuk memulai pekerjaan? Apakah kekesalan dan kelelahan yang dibawa pulang ke rumah pada malam hari juga berdampak pada kehangatan keluarga di rumah?
"Ah, jangan lebay, terlalu jauh itu mikirnya," mungkin kalimat mengelak seperti inilah yang bakal terlontar dari mulut si pencetus kebijakan. Mungkin lho ya, soalnya bapak-bapak dan ibu-ibu itu tidak pernah merasakan langsung bagaimana bete dan lelahnya mengejar KRL di pagi hari nan sibuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H