Apakah boikot terhadap ilmuwan Rusia merupakan bentuk protes yang efektif terhadap invasi Rusia ke Ukraina? Dari manakah istilah seperti 'altruisme' berasal, dan asumsi apa yang melekat pada istilah tersebut? Berapa lama sebaiknya kelompok penelitian diizinkan untuk mengembargo data mereka, dan apa alasannya? Mengapa kurva normal dianggap sebagai distribusi yang lazim untuk berbagai fenomena, mulai dari distribusi tinggi badan hingga distribusi kesalahan pengamatan? Siapa yang seharusnya diakui sebagai penulis dalam publikasi ilmiah?
Pertanyaan-pertanyaan ini menguji penilaian para ilmuwan masa kini dan turut membentuk arah penelitian mereka. Perspektif serta pemahaman historis dapat memberikan wawasan penting mengenai isu-isu ini dan masalah lainnya yang dihadapi oleh komunitas ilmiah. Namun, saat ini terjadi kesenjangan komunikasi antara ilmuwan dan sejarawan.
Ilmuwan sering kali menganggap sejarah sains yang telah dirombak secara mendalam dan penuh konteks sebagai sesuatu yang tidak relevan dan sulit dipahami. Di sisi lain, sejarawan merasa keberatan dengan permintaan ilmuwan akan versi masa lalu yang cenderung dimitologisasi dan tidak sesuai dengan realitas sejarah. Kami percaya bahwa sudah saatnya untuk memulai kembali dialog antara ilmuwan dan sejarawan, demi kemajuan kedua belah pihak.
Apa yang dapat diperoleh para ilmuwan dari dialog ini? Pertama, mereka akan mendapatkan banyak wawasan yang akan membantu dalam pengambilan keputusan penting. Sebagai contoh, dalam mempertimbangkan apakah perlu memboikot ilmuwan Rusia sebagai respon terhadap invasi Ukraina, sejarah menyediakan banyak pelajaran mengenai efektivitas boikot, serta potensi dampak negatifnya.
 Secara khusus, preseden historis menunjukkan bahwa boikot semacam itu mungkin akan berdampak signifikan terhadap perkembangan sains di Rusia dan berfungsi sebagai pernyataan ketidaksetujuan moral. Namun, mengingat ketidakpedulian rezim Rusia saat ini terhadap perkembangan sains domestik, boikot tersebut kemungkinan besar tidak akan mempengaruhi jalannya konflik secara langsung.
Sejarah juga memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pertanyaan tentang karya siapa yang layak mendapat pengakuan dalam daftar penulis sebuah artikel ilmiah. Norma-norma kepengarangan ilmiah telah mengalami evolusi yang terus-menerus sejak abad ke-17, ketika anonimitas menjadi kebiasaan di kalangan aristokrat (apa yang lebih tidak pantas daripada menuliskan nama baik seseorang pada sebuah karya yang dapat dibeli oleh siapa saja dengan harga murah?).Â
Pada abad ke-18, kepengarangan individu yang tercatat menjadi norma, namun berbagai bentuk kepengarangan lainnya juga telah dan masih terus diuji coba. Sebagai contoh, Bourbaki, sebuah kelompok matematikawan berpengaruh pada pertengahan abad ke-20, memilih nama samaran kolektif Nicolas Bourbaki untuk memodernisasi dan menstandarisasi pengajaran matematika di universitas-universitas Prancis.Â
Saat ini, kita menyaksikan publikasi dalam bidang fisika energi tinggi yang mencantumkan lebih dari 80 nama penulis. Studi historis menunjukkan bahwa norma-norma kepengarangan saat ini berakar pada keadaan dan nilai-nilai masa lalu---seperti nilai yang menempatkan teori di atas praktik, atau senioritas di atas kontribusi nyata---yang mungkin tidak lagi relevan dengan konteks masa kini.
Hal serupa berlaku untuk norma-norma terkait publikasi data secara terbuka: perdebatan yang sedang berlangsung mengenai berapa lama ilmuwan dapat mengembargo hasil uji klinis dalam bidang kedokteran, atau apakah penelitian yang didanai oleh perusahaan termasuk dalam domain publik, hanyalah episode terbaru dalam sejarah panjang tentang siapa yang memiliki hak atas data ilmiah, jika memang ada.
 Memahami perkembangan ini dapat memberikan wawasan sekaligus kebebasan: tidak lama yang lalu, para ilmuwan membuat keputusan yang sangat berbeda tentang isu-isu serupa. Apa yang berbeda di masa lalu bisa berubah lagi; sejarah dapat menunjukkan betapa plastisnya norma-norma yang kadang-kadang dianggap tetap oleh para ilmuwan.
Selain itu, sejarah dapat mengungkapkan kelemahan dalam asumsi yang mendasari berbagai penelitian. Kasus-kasus yang terdokumentasi dengan baik adalah bias rasial dan gender yang telah merusak banyak studi tentang perbedaan manusia, beberapa di antaranya memiliki konsekuensi yang tragis, seperti yang terjadi pada peneliti eugenika yang merekomendasikan kebijakan pengucilan sosial, sterilisasi, bahkan genosida.Â