Mohon tunggu...
KURNIAWAN WIDIAJI
KURNIAWAN WIDIAJI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Le coeur a ses raisons que la raison ne connait point

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Dekonstruksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara di Era Milenial

31 Mei 2022   10:46 Diperbarui: 31 Mei 2022   11:15 1957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persamaan disini terletak pada bentuk keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versinya masing-masing dan disesuaikan dengan  kepentingannya  masing-masing. Mereka lebih menonjolkan opini dan tafsir daripada  fakta itu sendiri. Kondisi seperti diatas yang menurut sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, disebut sebagai fenomena hiperealitas.

Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur,  fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dalam istilah Umberto Eco disebut sebagai  "kepalsuan yang otentik".

Maka, ketika Guru memberikan kesempatan muridnya   untuk mendapatkan  informasi seluas luasnya di internet  dalam upaya mengoptimalkan sumber pembelajaran dimapelnya, guru tersebut juga harus memilki analisa yang terukur, senantiasa meng upgrade dan memperluas  pengetahuannya sehingga memilki paradigma berfikir yang makin multidimensional. Guru  harus open minded dan jangan mempersempit perspektifnya dengan cenderung "hanya ingin membaca dan meyakini apa yang ingin mereka percaya." 

Sangatlah penting memberi pembekalan kemampuan analisa  pada para siswa untuk mengimbangi fenomena post-truth guna menjaga keutuhan akal sehat mereka. Dalam melakukan pendampingan untuk memastikan  peserta didik  memang  sungguh sungguh cerdas dalam mengakses informasi yang mereka dapatkan, tentu yang dibutuhkan  tidak hanya kecerdasan intelektual saja, melainkan kecerdasan emosional dan sosial. Kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence) dan penggunaan digital (digital use) yang sehat  harus dimiliki setiap siswa dengan terus meningkatkan literasi digital dalam melawan fenomena post truth yang berkonten hoax, false news maupun fake news. Kemudian yang tak kalah penting dalam menghadapi literasi digital di abad 21  ini adalah mengajak  para siswa sebagai generasi milenial untuk berpikir kritis (critical thinking), yaitu kemampuan untuk membedakan antara informasi nyata dan bohong, konten informasi yang valid terpercaya maupun yang diragukan.

Selain itu, sesuai dengan "jiwa kihajar dewantara", tugas  guru diera milenial adalah  bagaimana tetap menjadi guru yang humanis di era digital, yang mampu memahami psikologi anak anak generasi Z. Di era digital, guru milenial   tetap harus  memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial-budaya. Selain kompetensi dalam digital pedagogy , guru milenial mampu memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, serta soft skill berupa kemampuan berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. 

Apabila guru sudah menguasai berbagai kompetensi diatas, maka ia akan siap mengajak siswanya untuk menggunkan sumber belajar yang luas dan terbuka , karena telah memilki berbagai antisipasi dan mengetahui pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karateristik mata pelajarannya. Guru yang merupakan pilar peradaban  punya tugas sejarah untuk merancang peradaban masa depan bagi generasi anak cucu berikutnya. Sementara itu, siswa siswi  generasi Z, yang kini  hidup di era  global village, sedang  berusaha  menjawab tantangan zaman yang tengah mereka lakoni.

Saat ini kita memasuki era digitalisasi yang sering disebut sebagai  revolusi industri 4.0. , sebentar lagi mungkin memasuki 5.0. Banyak pekerjaan yang dulu dilakukan oleh manusia, sekarang telah diambil alih oleh mesin dan robot artificial intelligence. Diera inilah kita akan menentukan pilihan : "teknologi yang mengendalikan manusia atau sebaliknya, manusia yang mengendalikan teknologi."  Guru di era digital harus responsif terhadap pergerakan zaman yang begitu cepat. Salah satunya adalah harus tahu  bagaimana cara untuk memenangkan persaingan di era revolusi industri 4.0. Pertama yang dibutuhkan di era revolusi 4.0 adalah  menguasai soft skill. Jadi, prestasi akademis dan skill yang bersifat teknis harus diimbangi juga dengan penguasaan soft skill. 

Menurut Kihajar Dewantara, setiap murid adalah individu yang utuh dan unik. Teori konvergensi merupakan pendekatan yang digunakan oleh Kihajar Dewantara. Bagi beliau, kodrat manusia sebagai suatu "kertas yang sudah terisi dengan tulisan tulisan yang samar" dan "belum jelas arti dan maksudnya." Disinilah tugas pendidikan membantu manusia atau individu untuk dapat menebalkan dan memperjelas arti dan maksud tulisan samar yang ada dikertas tersebut dengan tuntunan terbaik. 

Sebagai pendidik kita dapat menggunakan metode, strategi dan tehnik pembelajaran sesuai keunikan potensi masing masing murid untuk membantu mereka mengembangkan kekuatan kodratnya. Begitupun dengan potensi atau kekuatan yang ada  pada murid. Ada murid yang memilki kekuatan atau potensi pada bidang seni, ada juga murid yang berpotensi bahasa,Maka kita sebagai pendidik harus memilki kepekaan  dan kemampuan untuk mengidentifikasi keunikan yang ada pada murid. Hal ini mengingatkan kita pada 8 jenis kecerdasan anak yang diperkenalkan oleh Howard gardner. Guru seharusnya mengenali jenis kecerdasan anak kemudian membantu mengasah kecerdasannya dan mendukung  anak sesuai kecerdasannya. Delapan kecerdasan tesebut antara lain

1. Kecerdasan verbal linguistic : 

biasanya disini anak pandai mengolah kata,seperti  humor berbasis linguistik, pandai berdebat, berbicara formal, menulis kreatif, atau menceritakan lelucon.

2. Kecerdasan matematis --logis : 

ada anak yang menikmati bekerja dengan angka dan rumus matematika dan menyukai tantangan kompleks untuk  dipecahkan

3. Kecerdasan visual --spasial.  

Biasanya anak tersebut pandai menggambar, melukis, membuat desain, membaca peta, menemukan jalan disekitar tempat baru.

4. Kecerdasan intrapersonal.  

Anak  tersebut biasanya sangat intuitif, memilki  kesadaran tentang dunia batin diri, emosi, nilai, keyakinan, dan berbagai pencarian untuk spiritualias sejati. Banyak mengajukan pertanyaan yang "bersifat filosofis."

5. Kecerdasan kinestetik- tubuh . 

Anak akan jenis ini akan menyukai gerak fisik seperti  menari, membuat dan menciptakan sesuatu dengan tangan, atau bermain peran

6. Kecedasan interpersonal. 

Anak jenis ini memilki ketrampilan sosial melobi , salah satunya mempengaruhi teman secara persuasif.

7. Kecerdasan naturalis . 

Ada anak yang  memilki  kecintaan pada alam bebas , seperti suka mendaki gunung, pandai bercocok tanam, atau pemelihara   hewan yang baik.

8 . Kecerdasan  musik. 

Anak jenis ini memilki  kepekaan  terhadap nada, pandai menirukan suara ,memainkan alat musik dan menyanyi.

Demikianlah, dari penjelasan diatas maka Kodrat yang dimilki setiap murid tidak sama. Setiap murid memiliki kekuatan kodratnya . Ada yang dianugerahi multi kecerdasan yang sama baiknya, ada yang menonjol disalah satu kecerdasan saja,  dan sebagainya. Misalnya ,ada anak yang memiliki kombinasi 8 kecerdasan diatas, seperti kemampuan berkomunikasi verbal  dan non verbal: (bernegosiasi, kemampuan persuasi, menguasai bahasa asing, presentasi,juga kemampuan public speaking yang pandai memainkan intonasi nada,gesture tangan,ekspresi wajah, membaca body language lawan bicara dan lain lain). Singkatnya, setiap murid harus mendapatkan tuntunan sesuai dengan keunikannya. Kemampuan soft skill lain seperti kemampuan berpikir kritis, kreatif, jiwa leadership, dan memilki  solusi-solusi inovatif terhadap permasalahan yang dihadapi juga  sangat diperlukan. 

Hal ini bisa dikembangkan sesuai dengan bakat dan potensi yang dimiliki masing masing murid. Guru bukan lagi seorang monolog, dan satu satunya narasumber. Di era merdeka belajar, siswa diberi kebebasan untuk mengutarakan berbagai ide inovatif  bahkan yang  out of the box sekalipun. Guru tidak perlu khawatir, style berfikir  seperti itu biasanya  memang sudah menjadi ciri khas yang dimilki kalangan remaja. Justru  ide ide yang "out of the box"  itulah  yang seringkali mampu mendobrak zaman dan sejarah telah  berkali kali membuktikan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun