Menghidupkan kembali semangat Kihajar dewantara dalam pembelajaran di era milenial menjadi salah satu tujuan dari program merdeka belajar. Dalam hal ini ,Pendidik berperan dalam membantu murid memenuhi kebutuhan lahir dan bathin mencapai keseimbangan dalam menjalani kehidupan.  Makna filosofis dari merdeka belajar adalah dimana murid harus memilki jiwa  yang merdeka.Â
Manusia yang merdeka yaitu manusia yang dapat bersandar atas kekuatan lahir dan bathinnya sendiri, dan tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian memandang murid sebagai "manusia" secara utuh, harus menjadi dasar kita sebagai pendidik dalam mendampingi murid murid dan menentukan tujuan belajar, merecanakan pembelajaran sesuai kebutuhan murid (lahir  maupun bathin) yang akan membantu murid murid kita mengembangkan kekuatan lahir dan bathinnya.Â
Tetapi agar mencapai keseimbangan menjadi " manusia", murid juga sebaiknya dilatih dan dikuatkan kebutuhan batinnya. Â Selain itu Guru juga membimbing murid untuk memiliki kompetensi, baik kompetensi berfikir kritis (critical thinking),kreatif ,kolaborasi, komunikasi dengan memberikan pertanyaan pertanyaan terbuka dalam proses belajar murid.
Untuk mendorong murid  berfikir kritis dan logis, seni bertanya atau kemampuan bertanya ini juga sangat penting bagi guru sebagai fasilitator. Agar murid berani mengeksplorasi sumber sumber wawasan pengetahuan, berdiskusi dan berdialog sampai pada akhirnya membantunya memilki kompetensi abad 21 tersebut. Â
Salah satu contoh metode pembelajaran abad 21 yang "berpusat pada murid" adalah Pembelajaran Berbasis Project (Project Based Learning.) Â Guru dapat mengajak murid mengamati permasalahan dan potensi yang ada disekitarnya. Â Hal ini penting untuk memandang murid sebagai bagian yang tidak terpisah dari lingkungannya. Sebab proses tumbuh dan hidupnya murid sangatlah beragam, sesuai kodrat alam dimana ia tumbuh dan berkembang.Â
Oleh karena itu  pendidik sebaiknya dapat menuntun murid untuk menemukan konteks pembelajaran yang relevan terhadap dirinya dan lingkungan dimana mereka berada. Seorang anak  atau murid yang dilahirkan dengan kodrat alam perkotaan, berbeda permasalahannya dengan  murid yang hidup didaerah pesisir. Kita pendidik sebaiknya membantu mendekatkan  murid dengan konteks kehidupannya. Kemudian, dari karakteristik kodrat alam tersebut guru bersama murid merancang proyek yang akan dilakukan.Â
Murid mencari data dan informasi dengan bimbingan guru, sampai murid  dapat menyimpulkan dan menyampaikan hasilnya melalui media yang menurutnya sesuai. Pembelajaran berbasis projek diatas merupakan salah satu  contoh wujud praksis "Guru menuntun murid sesuai kodrat alamnya."
Selain memperhatikan kodrat alam dari murid , naluri mendidik guru perlu  dilengkapi pula  dengan ilmu pendidikan yang selaras dengan zaman. "Tuntunan" yang baik kepada murid didasarkan dari panduan teori atau pengetahuan tentang "tuntunan" yang terbaik. Saat ini, sangatlah riskan apabila  di era beragam informasi dan pengetahuan yang berlimpah tetapi tidak ada tuntunan dari guru. Guru semestinya dapat  memastikan informasi dan pengetahuan yang diakses murid sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhan belajarnya. Mereka  membutuhkan semacam pagar atau pelindung. Guru milenial seharusnya mampu menjaga dan menolak semua bahaya yang mengancam kekuatan kekuatan dan potensi yang sedang tumbuh dalam diri murid murid kita
Salah satunya adalah "bahaya disinformasi" yang berseliweran di dunia internet. Bahaya disinformasi  yang dimaksud diatas bukan tanpa alasan. Menurut Ralph Keyes,kita saat ini  hidup  di era post truth. (Istilah ini sebenarnya pertama kali  dipakai oleh Steve Tesisch.) Secara sederhana diartikan bahwa  kita hidup diera "kebohongan yang dapat menyamar  menjadi kebenaran." Ini tentu menjadi tantangan tersendiri  bagi  guru yang bersemangat ingin mengoptimalkan sumber pembelajarannya melalui internet. Biasanya ini rentan di mata pelajaran ilmu ilmu sosial. Meskipun tidak menutup kemungkinan dimapel lain.Â
Di era ini , setiap orang dapat menerbitkan opininya, serta menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Pendapat individu atau opini kelompok  lebih ditonjolkan dan diangkat sebagai 'kebenaran', bukan faktanya. Masyarakat digiring untuk berdiri di atas fakta-fakta yang sudah  dimanipulasi, dipoles, dan disembunyikan dari konteksnya. Di era post-truth, masyarakat pada akhirnya akan lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran. Keriuhan media sosial, merupakan salah satu muatan kunci dalam budaya post-truth
. Dimana opini lebih kuat dan menenggelamkan bukti atau fakta. Fenomena post-truth dapat dilukiskan dalam kalimat "Pendapatku lebih berharga daripada fakta-fakta." Meskipun post-truth "agak berbeda" dengan hoax atau fake news yang memuat kecenderungan menyesatkan atau dis-informasi atau faktanya yang dipalsukan, namun demikian ada "persamaannya" juga dengan fenomena  hoax atau fake news.Â