Bukan hanya bagi murid melainkan juga bagi guru sebagai fasilitator pembelajaran. Guru sebagai contoh bagaimana mereka harus mengembangkan kemampuan kemmpuan tersebut pada dirinya, kemudian meneruskannya  dalam membantu murid untuk menguasainya.
Sumber sumber pengetahuan yang kini terbuka luas akses dan beragam bentuknya, seperti melalui internet yang menyediakan beragam informasi yang kita inginkan, sehigga  cara menuntun dan membimbing muridpun sangat berbeda.Â
Sebagai fasilitator guru menempatkan murid menjadi subjek atau individu aktif dalam pembelajaran untuk mencari dan membangun pemahamannya sendiri, bukan sebaliknya murid dianggap sebagai obyek pembelajaran atau individu pasif yang hanya  tergantung pada apa yang diberikan guru. Singkatnya,peran guru adalah memfasilitasi dengan baik dan benar bagaimana murid dapat membangun pemahamannya  dengan maksimal. Â
Mungkin saja murid terhubung dengan beragam informasi dan pengetahuan yang berlimpah, tetapi tidak ada tuntunan dari guru. Apakah  informasi dan pengetahuan yang diakses murid sesuai dengan fase perkembangan dan  kebutuhan belajarnya? Di era informasi yang serba terbuka, kini murid bebas mengakses informasi jawaban dari sumber manapun, termasuk google.  Â
Gurupun harus tanggap, dimana Google terkadang menawarkan berbagai perspektif jawaban, yang memungkinkan peserta didik memiliki keberagaman jawaban pula. Tugas guru  adalah menampung data data tersebut menjadi rangkaian pembahasan yang "penuh gizi." bagi peserta didiknya.Â
Sebab tanpa disadari, keberagaman jawaban akan memperkaya perpektif mereka, terlebih di ilmu yang berkaitan bidang ilmu ilmu sosial. Maka yang dibutuhkan generasi abad 21  saat ini adalah penalaran, bukan menghapal, karena mereka kini sudah hidup di era berkelimpahan data. Bung Hattapun jauh jauh hari sudah mengingatkan  "membaca tanpa dipahami bagaikan makanan tanpa dicerna". Sudah bukan saatnya guru mengatakan " jawaban harus sama dengan LKS..!!". Â
Pemanfaatan big data sebagai sumber belajar menjadi keniscayaan pembelajaran abad 21.  Guru milenial harus  memilki pemikiran yang konvergen, yaitu menuntun murid dengan pemikiran terbuka terhadap segala sumber belajar, mengambil praktik praktik baik dari kebudayaan lain, menjadikan kebudayaan kita bagian dari alam universal.
Di abad 21,  generasi milenial mengemban" tugas sejarah" yang berbeda dengan  generasi sebelumnya. Sedangkan tugas guru diera milenial adalah merespon panggilan sejarah "generasi Z" tersebut. (bahkan sudah mulai  memasuki generasi Alpha - yang merupakan anak anak yang lahir ditahun 2010an)  Guru milenial seharusnya sudah merancang untuk membentuk masa depan manusia Indonesia di abad selanjutnya.Â
Salah satunya konsep "Merdeka belajar" yang saat ini  diterapkan menekankan pada keunikan tiap siswa berdasar minat, bakat dan potensinya.  Sebelum masa pandemi, gagasan teoritik mengenai rancangan pembelajaran inovatif sebenarnya sudah bertebaran di berbagai jurnal ilmiah , artikel , hingga skripsi.Â
Namun terkadang masih indah ditataran konseptual dan merasa enggan  mengawalinya. Kondisi selama pandemi Covid menjadi situasi yang memaksa kita semua untuk memulainya  dengan segera, kendati mungkin terengah-engah diawalnya. namun seiring masa pandemi, kita sebenarnya telah membangun suatu budaya baru didunia pendidikan.Â
Kita kini sudah terlanjur melangkah dan bukan saatnya lagi menengok kebelakang. Zaman terus bergerak maju. Semua telah berbeda. Kembalinya Pembelajaran Tatap muka, bukan berarti kembali  mengajar dengan cara  cara konvensional. Di era adaptasi kebiasaan baru di dunia pendidikan, kita akan hidup dalam tatanan budaya pembelajaran yang baru pula.