Setelah memastikan korban tidak kenapa-kenapa dan hanya luka ringan, dan sudah diobati betadin, si penabrak pamit diri sambil memberikan beberapa lembar uang. Sebagai tanda permintaan maaf katanya. Sekalian untuk perbaikan motornya kalau ada yang rusak. Mbah Bejo sudah menolak sebenarnya, tetapi tetap dipaksa untuk menerima uang itu.
"Mbah, kenapa sih kok ya malah nerobos lampu merah. Kan sudah ada tanda lampu merah. Bahaya. Jadi celaka gini kan?" interogasi Otong pada si Mbah yang tiba-tiba berkelakuan membahayakan.
"Tadinya Mbah pikir mau coba kesampingkan primbon soal lampu merah itu tanda bahaya. Merah kuning hijau itu kan seharusnya berarti semua baik. Toh kalau takdirnya selamat, ya selamat saja harusnya. Banyak juga yang nerobos lampu merah tapi aman-aman aja. Tapi ini ternyata celaka. Untung masih selamat" jawab si Mbah sambil memegangi tangannya yang agak nyeri.
"Owalah Mbaah ... Mbaah ... kebanyakan celakanya daripada selamat kalau kaya gini. Yang jelas, melanggar lampu merah juga membahayakan orang lain. Namanya juga lampu lalu lintas, gunanya ya untuk mengatur biar tidak bahaya" si Otong menjelaskan pada si Mbah.
"Tepat sekali Tong. Kita hati-hati di jalan dengan mentaati rambu bagian dari ikhtiar biar kita ndak kena celaka kaya sekarang ini walaupun kita tahu, takdir memang di tangan Gusti Allah. Cuma bentuk kewaspadaan saja. Selebihnya kita yang menentukan mau maju terus atau ndak dan tentu harus terima resiko" si Mbah balik menceramahi.
"Ah, si Mbah dikasih tahu malah nyeramahin balik. Udah ah, pulang yuk. Aku wae sing nyetir yo Mbah" si Otong segera menstarter motornya.
***