Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Weton, Primbon, dan Lampu Merah

22 Juni 2020   12:27 Diperbarui: 23 Juni 2020   22:14 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber: trbunnews.com

"Pah, jodoh, rejeki, hidup dan mati itu kan Allah yang tahu. Allah yang ngatur. Semua di tangan Allah," dengus si Otong kesal sambil berlalu meninggalkan Papahnya.

Maklum, si Otong sudah menginjak usia 30 up masih saja hidup membujang. Kalau kata anak jaman sekarang mah namanya jones. Begitu teman-temannya sering meledek.

"Tong, Papah juga pengennya kamu lancar sejahtera kalau berkeluarga. Makanya Papah ngasih pertimbangan, ngasih hitung-hitungan baiknya" ujar Pak Kadrun, alias Papahnya Otong, setengah berteriak karena ditinggal begitu saja oleh Otong saat sedang berbincang.

Tidak habis pikir menurut Otong, jaman sudah modern begini tapi masih saja percaya hal mitos kejawen macam itu. Jelas saja berpikir begitu, karena Otong adalah didikan jaman masa kini yang bergelar sarjana dari kampus negeri yang cukup ternama.

Baginya, hal seperti itu tak lebih dari takhayul. Yang Otong tak habis pikir juga, Mamah Papahnya termasuk orang yang rajin sembahyang mengaji, tapi masih percaya hitung-hitungan weton dan primbon.

Lagian, salah Otong juga sih hari gini baru grusa-grusu nyari pendamping. Kemarin-kemarin kemana aja Tong? Teman-teman sekolah, kampus juga sering mencomblangi si Otong dengan kawan perempuannya. Tapi tak ada yang digubrisnya. Sahabat-sahabatnya terkadang merasa prihatin, khawatir kalau-kalau si Otong ini sudah tidak menyukai wanita.

Barulah akhir-akhir ini rupanya si Otong memikirkan masa depannya. Masa mau sebatang kara, pikirnya. Mulailah ia kenalkan teman perempuan yang ditaksirnya. Tentu saja, Mamah Papahnya gembira demi melihat anak semata wayangnya mulai berpikir ke arah sana.

"Tong, kalau bisa kamu carilah pendamping yang lahirnya hari Senin atau Selasa. Jangan hari Rabu atau Kamis, karena kamu lahirnya hari Sabtu, takut bisa celaka dan tidak bahagia rumah tangganya" begitu ujar Papahnya suatu hari.

Tak ayal, si Otong snewen karena dia tahu kalau pujaan hatinya lahir hari Kamis.

"Tapi kan Pah, semua hari itu harusnya baik. Tidak ada hari buruk" sergah Otong saat lihat Papahnya berdiri di pintu kamar.

"Betul Tong. Tapi berdasarkan primbon atau perhitungan Jawa, itu kurang pas. Malah bisa sampai celaka. Papah tidak mau nanti jadi sia-sia dan menyesal. Mumpung belum terlambat" Pak Kadrun menjelaskan.

"Terserah Papah aja lah!" Otong berlalu pergi.

"Eh, mau ke mana kamu Tong? Papah belum selesai ngobrol".

"Mau nyari cewe di pinggir jalan Pah, barangkali aja ada yang lahir hari Senin atau Selasa. Nanti Otong sensus dulu" jawab Otong asal.

Dia mengambil jaket, helm dan kunci motor. Segera bergegas menerobos jalanan yang lengang. Kemana lagi perginya kalau bukan ke rumah kakeknya, Mbah Bejo.

Mbah Bejo ini walaupun juga menganut tradisi Jawa, tapi bagi Otong bisa lebih terbuka. Tidak saklek macam orang tuanya.

"Lho, ada apa kamu Tong? Kok muka kaya kertas hasil ujian yang dapet nilai merah, dikruwes-kruwes" tanya Mbah Bejo yang tengah duduk selonjor di kursi malas yang bergoyang-goyang.

"Kesal sama Papah" jawabnya singkat.

"Haha... Kamu ini, bapak sendiri kok disebelin. Durhaka"

"Masa aku gak boleh nikah dengan Markonah gara-gara lahirnya hari Kamis? Katanya gak pas hitungan wetonnya" curhat Otong pada Mbahnya.

"Owalaah Tooong... Tong... Jadi itu toh masalahnya?"

"Harusnya semua hari itu kan baik ya? Masa ada orang lahir hari Sabtu dilarang nikah dengan hari Kamis karena gak baik, bisa celaka lah, gak bahagia lah. Waktu Otong gak mikirin perempuan, ditanyain melulu kapan. Giliran sekarang, malah dilarang-larang. Maunya apa sih?!" Otong nyerocos.

Mbah Bejo hanya senyum manggut-manggut mendengar curhatan cucu kesayangannya.

"Gini lho Tong, menurut riwayat, orang Jawa itu sejak dahulu kala terkenal titen. Ngerti titen? Titen itu, teliti, cermat, telaten dalam mengamati sesuatu hal. Itu lho kaya peneliti-peneliti di laboratorium yang kerjaannya ngamati tikus. Aneh-aneh aja. Tikus dari kecil sampai besar sampai diternak. Kadang masing-masing tikus disuntik. Diamati reaksinya. Reaksinya ada yang mati, ada yang tidak. Disuntiknya pun dengan cairan yang berbeda. Teruusss aja diamati dengan percobaan beberapa tikus sampe beberapa waktu lamanya. Kurang lebih begitulah titen. Diamat-amati secara seksama", Mbah Bejo mulai mendongeng sekalian menjelaskan soal kegundahan si Otong.

"Nah terkait soal primbon yang isinya perhitungan-perhitungan weton tentang perjodohan lah, kehidupan lah, pekerjaan dan sebagainya itu, kurang lebih hasil dari laku titen mbah-mbah moyang kita dahulu. Berdasarkan banyak kasus yang dialami, kok ya orang yang lahir hari Sabtu saat menikah dengan orang yang lahir hari Kamis jauh lebih banyak mengalami celaka, kesulitan, bahkan tak sedikit yang mengalami kematian sebelum mencapai cita-cita bersama. Jadilah ditarik kesimpulan rumus: hari Sabtu akan celaka jika menikah dengan hari Kamis." Mbah Bejo menjelaskan panjang lebar.

"Tapi kan Mbah, takdir di tangan Tuhan. Kita gak pernah tahu. Jadi kenapa harus melarang-larang dan seolah menganggap dengan hari ini baik, hari itu tidak?" si Otong protes.

"Betul sekali Tong. Ini kan hanya sebagai ikhtiar saja. Kamu percaya takdir baik dan buruk di tangan Tuhan?" tanya Mbah Bejo.

"Percaya. Karena dalam Islam, Allah lah yang menentukan qada dan qadar" jawab Otong mantap percaya diri.

Mbah Bejo menepuk-nepuk pundak Otong dengan senyum. 

"Bagus Tong. Kamu harus pegang keyakinan itu. Tinggal yakinkan ibu bapakmu bahwa kamu siap menerima resikonya, apapun" Mbah Bejo memberikan dukungan.

Tersungging senyum di bibir Otong. Tidak salah pikirnya, si Mbah meskipun pemegang tradisi dan kepercayaan kejawen, tetapi lebih terbuka dan moderat. Sangat berbeda dengan kedua orang tuanya.

"Mau ke mana Mbah?" tanya Otong saat melihat si Mbah menunggangi motornya.

"Kalau kata orang Sunda mah, mau ngabuburit. Sore ini adalah hari baik. Mau menikmati suasana sore. Ikut ndak kamu Tong?"

"Eh, ikut Mbah" Otong bergegas duduk dibelakang.

Sore itu jalanan pinggiran Kota Jogja sangat ramai. Pengendara speda motor bak laron yang keluar dari sarangnya karena pas dengan jam pulang kantor. Saling salip dan ngebut. Mungkin mereka mengejar waktu agar bisa sampai rumah sebelum gelap.

Mereka berdua berkeliling kota, ngalor ngidul ngetan ngulon tanpa tujuan jelas. Judulnya jalan-jalan sore. Tiba disebuah lampu merah sebuah perempatan yang tidak terlalu ramai.

Karena lampu merah di Kota Jogja biasanya lama, sedangkan menyala hijaunya lebih sebentar, biasanya menyebabkan pengendara buru-buru tancap gas sebelum terjebak lampu merah lagi. Karena tidak jarang bisa terjebak lebih dari sekali lampu merah.

"Eh, Mbah itu lampu sudah merah kenapa malah tarik gas?" tiba-tiba si Otong teriak dari belakang.

"Nanti kelamaan Tong" jawab si Mbah sambil tetap melajukan motornya tanpa peduli lampu lalu lintas.

Benar saja seketika ada suara klakson memekakan telinga dan mengagetkan. Brakkk!! Mbah Bejo dan Otong tersungkur. Di tengah rintihan menahan nyeri, terdengar teriakan dan makian orang yang melewati mereka. 

"Woiii kalau jalan liat-liat donk! Lampu merah di terabas aja!"

Sang pengendara yang menyerempet segera menghampiri.

"Mbah mboten nopo-nopo? Pangapurane yo Mbah" kata si penabrak dengan khawatir. (Mbah tidak apa-apa? Maaf ya Mbah).

"Oh ndak apa-apa, saya yang salah. Tolong bantu pinggirkan motor ini" kata si Mbah sambil sedikit meringis.

Setelah memastikan korban tidak kenapa-kenapa dan hanya luka ringan, dan sudah diobati betadin, si penabrak pamit diri sambil memberikan beberapa lembar uang. Sebagai tanda permintaan maaf katanya. Sekalian untuk perbaikan motornya kalau ada yang rusak. Mbah Bejo sudah menolak sebenarnya, tetapi tetap dipaksa untuk menerima uang itu.

"Mbah, kenapa sih kok ya malah nerobos lampu merah. Kan sudah ada tanda lampu merah. Bahaya. Jadi celaka gini kan?" interogasi Otong pada si Mbah yang tiba-tiba berkelakuan membahayakan.

"Tadinya Mbah pikir mau coba kesampingkan primbon soal lampu merah itu tanda bahaya. Merah kuning hijau itu kan seharusnya berarti semua baik. Toh kalau takdirnya selamat, ya selamat saja harusnya. Banyak juga yang nerobos lampu merah tapi aman-aman aja. Tapi ini ternyata celaka. Untung masih selamat" jawab si Mbah sambil memegangi tangannya yang agak nyeri.

"Owalah Mbaah ... Mbaah ... kebanyakan celakanya daripada selamat kalau kaya gini. Yang jelas, melanggar lampu merah juga membahayakan orang lain. Namanya juga lampu lalu lintas, gunanya ya untuk mengatur biar tidak bahaya" si Otong menjelaskan pada si Mbah.

"Tepat sekali Tong. Kita hati-hati di jalan dengan mentaati rambu bagian dari ikhtiar biar kita ndak kena celaka kaya sekarang ini walaupun kita tahu, takdir memang di tangan Gusti Allah. Cuma bentuk kewaspadaan saja. Selebihnya kita yang menentukan mau maju terus atau ndak dan tentu harus terima resiko" si Mbah balik menceramahi.

"Ah, si Mbah dikasih tahu malah nyeramahin balik. Udah ah, pulang yuk. Aku wae sing nyetir yo Mbah" si Otong segera menstarter motornya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun