kolaborasi antara Whabink Tea dan bowo bagus
no: 31
Menjelang hari H, Rara masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Rara. Mereka ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Rara mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Rara sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Rara bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Rara terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian dikampus adalah kali kedua Rara yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Rara menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Rara dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Rara kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Rara menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Rara bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Rara yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Rara!
"Rara serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Rara tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Rara tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
"Tapi Rara tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
"Maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"
Rara terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba bela diri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar SPd. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Rara sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Rara memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Rara lontarkan.
"Rara Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang dikelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Rara mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Rara!"
"Cukup!"
Rara marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Rara lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Rara memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Rara Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Rara menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Rara bahagia.
***
"Nanti diucapkan dengan benar ya nak? Ya Rara?"
"Ehem.. Rara?"
"Eh iya pak penghulu"
"Iya gimana? Udah hafal belum?"
"Iya belum.."
"Wah parah ni anak.."
Akhirnya, di sabtu yang kelabu (bagi Rara), ia harus menikah dengan Joni, anak seorang pengusaha importir beras terkemuka di Jakarta. Wajahnya sih biasa, namun harta dan warisannya luar biasa. Hanya saja ada sedikit teka-teki yang mampir tepat di hati Rara waktu prosesi pernikahan akan dilangsungkan,
"Mengapa Joni kok gelisah ya?"
"Apakah aku terlalu cantik?"
"Ehem.. nak Rara, mari kita mulai?"
"Iya pak penghulu," jawab Rara sedih
"Saya terima nikahnya Rara binti Par...," belum sempat Joni meneruskan kalimatnya, tiba-tiba serombongan polisi menerobos masuk sambil berteriak
"Berhenti! Saudara Joni, Anda ditangkap!"
"Haaaa?"
Semua hadirin dan keluarga terkejut bukan main, antara tak percaya dan malu, namun mereka hanya mampu diam dan melihat beberapa orang polisi menangkap dan memborgol Joni, sambil membacakan hak dan tuntutan hukum atas kejahatan yang dilakukannya
"Saudara Joni, Anda tersangka utama perampokan Bank Sentral Soraya, dan tersangka utam pembunuh saudari Ina, Anda berhak mengajukan keberatan, maupun didampingi pengacara setelah kita selesaikan semua urusan di kantor"
"Astaga Joni?" ucap Rara terperangah
"Jadi kamu yang membunuh Ina? Sahabat karibku? Dasar penjahat!"
***
"Kring..."
"Rafli, sini cepat, Rara tunggu lima menit harus sampai!"
"Hah? Iya, astaga, ngebut dong?"
"Kamu telpon siapa Ra?" tanya ayahnya masih dengan muka lemas dan malu
"Raf..."
"Ciitttt.."
Belum sempat Rara dan ayahnya melanjutkan perbincangan mereka, tiba-tiba terdengar suara mobil mercedes berhenti dengan cepat di depan rumah. Semua mata memandang heran
"Siapa tuh?"
"Siapa ya?"
"Aduh.. malu.. jangan-jangan pak polisi lagi.."
"Brak..," suara pintu mobil ditutup
Semua mata mendadak terhenyak, ternyata Rafli datang, didampingi oleh seorang bule yang dikenal sebagai raja bisnis piranti lunak (software). Para keluarga diam, suasana sunyi, hanya terdengar suara sepatu Rafli yang berjalan cepat masuk rumah, dan disambut dengan gembira oleh Rara
"Rafli.."
"Rara.."
"Ayah, ganti mempelainya dengan Rafli ya?" bujuk Rara sambil menangis
"Eh.. ah.. uh.. eh.. iya deh..," ayahnya seakan tak berkutik lagi
Akhirnya prosesi ijab kobul dilanjutkan lagi, dalam suasana yang hening, dan haru..
"Saya terima nikahnya Rara dan Rafli, dengan mas kawin rumah di Australia dan saham facebook sebanyak lima lot.."
"Gubrak...," ayah Rara jatuh terkejut
"O la la.. menantuku ternyata diam-diam kaya raya!
.
.
.
untuk membaca karya peserta yang lain, silakan klik disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H