"Rara serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"
Rara tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Rara tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
"Tapi Rara tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
"Maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"
Rara terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba bela diri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar SPd. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Rara sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Rara memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Rara lontarkan.
"Rara Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang dikelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
"Tapi kenapa?"