Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Rara mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Rara!"
"Cukup!"
Rara marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Rara lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Rara memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Rara Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Rara menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Rara bahagia.
***
"Nanti diucapkan dengan benar ya nak? Ya Rara?"
"Ehem.. Rara?"
"Eh iya pak penghulu"
"Iya gimana? Udah hafal belum?"
"Iya belum.."