“Siapa pernah disayang sama ayah dan ibunya?” lanjut saya tambah bersemangat.
“Saya, saya, saya!” teriak anak-anak itu sambil mengangkat tangan.
Sambil tersenyum, saya menatap satu demi satu anak-anak itu. Semua mengacungkan tangannya. Oh, tidak. Tidak semua. Ada satu anak yang hanya terdiam dan tertunduk. Anak kurus dan berkulit putih itu.
“Kamu tidak pernah disayang oleh ayah dan ibumu?” tanya saya sambil berjongkok di hadapannya.
“Ayah jahat. Ayah pukul ibu. Ayah pukul kakak dan saya!” teriaknya tiba-tiba.
Teman-temannya kaget dan terdiam, lalu duduk di pinggir lapangan seolah tahu apa yang terjadi. Anak itu tiba-tiba menangis. Wah… kok jadi berantakan begini. Kok tidak happy ending, batin saya. Saya mengangkat anak itu dan berencana untuk mendekapnya. Ups... kaus anak itu tersingkap dan ada beberapa bagian punggung anak itu yang terlihat merah-merah.
“Sakit,” kata anak itu ketika saya menyentuh bagian punggungnya yang kemerahan itu.
“Kenapa?” tanyaku.
Anak itu sambil mengusap air mata menjawab, “Dipecut sama Ayah. Pakai sabuknya. Tiap kali Ayah marah, Ibu, kakak dan saya dipecut! ” jelas anak itu sambil masih mengusap air matanya.
Seketika teringatlah saya, anak inilah yang pertama kali menduduki punggung saya ketika bermain kuda-kudaan. Anak ini juga yang sepertinya menjadi provokator teman-temannya untuk terus ramai dan tidak mau duduk diam dan mendengarkan cerita.
***