“Kakak capek!” jawab saya pendek. Mereka terlihat kecewa. Diam. “Nah bagus, saya siap mengajar, “ batin saya. Saya mengajar dengan lancar. Saking lancarnya, lima menit materi tentang mengasihi dan menghormati orang tua sudah selesai. Saya tidak tahu apakah anak-anak itu mengerti apa yang saya ajarkan, tapi yang penting mereka terdiam dan mendengarkan. Sisanya biarlah Roh Kudus yang bekerja. Anak-anak terus terdiam. Tanpa reaksi. Mereka tidak nampak bersemangat. Lembar aktivitas diberikan pun tidak disentuh oleh mereka. “Bosan kak,” kata salah satu murid.
“Kalian mau apa?” tanya saya.
“Main!” teriak mereka bersama.
“Oke, tapi kita main di luar ya?”
Segera mereka berlarian dan mengenakan kembali sandal atau sepatu mereka. Dengan berbaris berdua-dua, saya mengajak mereka untuk berjalan-jalan ke lapangan yang hanya beberapa puluh meter dari ruang sekolah minggu itu.
Di lapangan itu ada domba dan kambing yang tengah merumput. Ada pula beberapa ekor ayam dan bebek, selain burung merpati yang berterbangan dan hinggap di sekitar lapangan. Anak-anak? Seperti biasa mereka langsung mendekati binatang-binatang itu.
“Takut, Kak!” teriak seorang anak kurus berkulit putih – anak yang sama yang minggu lalu mengajak saya untuk “ikut main dulu” bersama dia dan teman-temannya – sambil tiba-tiba berlari kembali ke arah saya. Teman-temannya pun ikut berlarian, bersembunyi di belakang saya. Seekor induk kambing tengah mengejarnya. Saya mengangkat anak itu sambil berkata, “Jangan diganggu dong kambingnya.”
Anak itu menggeleng lemah. “Saya tidak ganggu kok, cuma mau main sama anak-anaknya yang kecil.”
Di hadapan kami ada sepasang induk kambing dengan dua anaknya yang baru beberapa hari dilahirkan. Nampaknya induk kambing itu mencoba melindungi anak-anaknya dari gangguan salah satu anak tadi.
Aha! Ide yang bagus nih untuk mengajar anak-anak! sorak saya dalam hati. “Anak-anak, lihat ayah dan ibu kambing itu. Mereka jadi galak, karena mau melindungi anak-anaknya yang masih kecil. Ayah dan ibu kambing itu sayang sama anak-anaknya. Kita juga harus berterima kasih pada Tuhan karena kita juga mempunyai ayah dan ibu yang sayang pada kita,” tutur saya. “Senang kan punya ayah dan ibu?” tanya saya.
“Senang!” anak-anak itu berteriak nyaris serempak.