[caption caption="sumber gambar: www.mtsnbobotsari.sch.id"][/caption]“Kelas kecil?” tanyaku memastikan pembagian tugas mengajar kelas Sekolah Minggu kepada seorang rekan yang menjadi koordinator guru. “Rasanya saya tidak cocok deh,” tolak saya halus.
Sekolah Minggu adalah kelas pengajaran Agama Kristen untuk anak-anak yang biasanya berlangsung di hari Minggu di gereja. Tugas guru Sekolah Minggu mirip dengan guru-guru agama di sekolah.
“Rekan seangkatanmu khan dari Malaysia, bahasa Indonesianya masih sulit dimengerti anak-anak kecil,” kata koordinator kami. Sebuah pertimbangan yang masuk akal bagi saya, walau tetap saja tak mengurangi rasa kurang cocok mengajar di kelas kecil. “Biar dia mengajar di kelas besar, saya di kelas sedang dan kamu di kelas kecil,” pungkas koordinator kami.
Ya ampun! Ini berarti sepanjang semester ini saya akan mengajar di kelas kecil pos sekolah Minggu itu. Harus. Tidak ada pilihan lain. Semua mahasiswa tingkat satu dan dua harus mengajar Sekolah Minggu. Kelas kecil berarti anak-anak usia taman kanak-kanak hingga kurang lebih kelas 2 Sekolah Dasar. Di pos Sekolah Minggu itu memang hanya ada sekitar 25-30 anak. Walaupun namanya kelas Sekolah Minggu, namun kegiatannya berlangsung setiap Kamis sore.
Kelas persiapan mengajar kelas kecil dilaksanakan bersama di hari Sabtu. Saya duduk dan menatap sekeliling. “Hm… rasanya saya bakal jadi guru kelas kecil terganteng di semester ini,” batin saya setelah menatap sekeliling. Ya, saya satu-satunya pria di antara hampir 15 orang guru yang mengajar kelas kecil. Rata-rata rekan guru lain memandang saya seolah-olah saya salah masuk ruangan.
“Kamu benar mau mengajar di kelas kecil?” dengan penuh tanda tanya seorang rekan bertanya.
Saya mengangguk lesu. “ Apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain!”
Kelas persiapan itu tak berlangsung lama. Tidak banyak hal yang menarik untuk diingat. Tidak ada diskusi teologi menantang, yang menjadi kegemaran saya. Yang ada adalah percakapan bagaimana membuat alat peraga dan aktivitas murid. Saya merasa memang telah berada di tempat yang salah.
***
Bisakah Anda membayangkan apa yang terjadi di hari Kamis pertama saya mengajar kelas kecil itu? Untuk beberapa detik anak-anak itu takjub memandang kepada guru barunya. Setelah itu? Mulailah mereka berlarian kesana-kemari. Bagaimana saya bisa mengajar kalau mereka tidak bisa duduk diam? Bagaimana mereka bisa duduk diam bersama kalau saya berhasil menangkap dan mendudukkan satu anak, sementara anak yang lain berlarian? Setelah beberapa kali gagal berupaya membuat kurang lebih sepuluh anak berusia 4 sampai dengan 6 tahun itu duduk dan diam, saya hanya berdiri di pojok. “Minggu depan, saya akan minta tukar ke kelas lain atau pos pelayanan yang lain,” batin saya di tengah keriuhan anak-anak.
Saking gaduhnya anak-anak itu, seorang rekan yang mengajar di kelas sebelah sampai perlu menengok kelas. “Bagaimana? Anak-anak kelasmu kok sudah aktivitas sih. Cepat sekali mengajarnya?” tanyanya. Saya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum pahit. Bagaimana mulai mengajar kalau anak-anak ini tidak bisa duduk dan diam?
“Kakak, kok tidak mulai-mulai kelasnya,” tanya seorang anak sambil menghampiriku.
“Kakak tunggu sampai kalian berhenti main dan duduk diam,” jawabku tegas.
Anak kurus berkulit putih itu tersenyum nakal dan menyahut, “Kalau gitu kakak ikut main dulu yuk?” Tangannya menarik tanganku. Beberapa anak lain pun juga mendorong tubuhku. Adegan selanjutnya? Seorang guru Sekolah Minggu yang dipersiapkan untuk mengajar kebenaran Firman Tuhan itu bermain kuda-kudaan dengan murid-murid sekelasnya. Tidak perlu dijelaskan siapa yang menjadi kuda, dan siapa yang berebutan untuk duduk atau berdiri di punggung. Guru yang malang. Anak-anak kelas tentu saja menikmati acara permainan tanpa rencana itu, sementara sang guru terkapar di sudut ruangan dengan rasa gagal dan punggung yang pegal.
***
“Kayaknya saya tidak cocok deh mengajar di kelas kecil,” keluhku pada koordinator kami ketika sharing dan doa bersama untuk persiapan pelayanan. Saya menceritakan apa yang terjadi. Tidak ada simpati dari rekan-rekan yang lain, malah mereka tertawa terbahak-bahak ketika rekannya yang malang harus menjadi kuda yang dinaiki bergantian oleh murid-murid di kelas.
“Cobalah sekali lagi!” jawab koordinator kami.
Sekali lagi? Ya ampun. Sekali saja sudah cukup untuk membuat punggung ini pegal, apalagi kalau harus mencoba sekali lagi.
“Pelajaran minggu depan mudah kok, tentang mengasihi dan menaati orang tua,” lanjut koordinator kami. Sharing akhirnya ditutup dengan doa bersama.
Saya duduk termangu di kelas persiapan. Presentasi menarik dari rekan guru yang lain tidak terlalu saya perhatikan. Saya butuhkan jurus sakti untuk membuat anak-anak diam dan duduk. Bagaimana bisa mengajar kalau membuat anak-anak duduk diam saja saya tidak bisa? Otak saya berputar mencari akal bagaimana membuat anak-anak duduk. Tidak ada ide atau gagasan yang bagus. Buntu.
***
Kamis itu, saya memasuki ruang kelas Sekolah Minggu dengan rasa putus asa. Hm … punggung saya rasanya akan jadi korban lagi hari ini, batin saya. Anak-anak segera menyerbu saya dan berteriak-teriak mengajak main kuda-kudaan lagi.
“Kakak capek!” jawab saya pendek. Mereka terlihat kecewa. Diam. “Nah bagus, saya siap mengajar, “ batin saya. Saya mengajar dengan lancar. Saking lancarnya, lima menit materi tentang mengasihi dan menghormati orang tua sudah selesai. Saya tidak tahu apakah anak-anak itu mengerti apa yang saya ajarkan, tapi yang penting mereka terdiam dan mendengarkan. Sisanya biarlah Roh Kudus yang bekerja. Anak-anak terus terdiam. Tanpa reaksi. Mereka tidak nampak bersemangat. Lembar aktivitas diberikan pun tidak disentuh oleh mereka. “Bosan kak,” kata salah satu murid.
“Kalian mau apa?” tanya saya.
“Main!” teriak mereka bersama.
“Oke, tapi kita main di luar ya?”
Segera mereka berlarian dan mengenakan kembali sandal atau sepatu mereka. Dengan berbaris berdua-dua, saya mengajak mereka untuk berjalan-jalan ke lapangan yang hanya beberapa puluh meter dari ruang sekolah minggu itu.
Di lapangan itu ada domba dan kambing yang tengah merumput. Ada pula beberapa ekor ayam dan bebek, selain burung merpati yang berterbangan dan hinggap di sekitar lapangan. Anak-anak? Seperti biasa mereka langsung mendekati binatang-binatang itu.
“Takut, Kak!” teriak seorang anak kurus berkulit putih – anak yang sama yang minggu lalu mengajak saya untuk “ikut main dulu” bersama dia dan teman-temannya – sambil tiba-tiba berlari kembali ke arah saya. Teman-temannya pun ikut berlarian, bersembunyi di belakang saya. Seekor induk kambing tengah mengejarnya. Saya mengangkat anak itu sambil berkata, “Jangan diganggu dong kambingnya.”
Anak itu menggeleng lemah. “Saya tidak ganggu kok, cuma mau main sama anak-anaknya yang kecil.”
Di hadapan kami ada sepasang induk kambing dengan dua anaknya yang baru beberapa hari dilahirkan. Nampaknya induk kambing itu mencoba melindungi anak-anaknya dari gangguan salah satu anak tadi.
Aha! Ide yang bagus nih untuk mengajar anak-anak! sorak saya dalam hati. “Anak-anak, lihat ayah dan ibu kambing itu. Mereka jadi galak, karena mau melindungi anak-anaknya yang masih kecil. Ayah dan ibu kambing itu sayang sama anak-anaknya. Kita juga harus berterima kasih pada Tuhan karena kita juga mempunyai ayah dan ibu yang sayang pada kita,” tutur saya. “Senang kan punya ayah dan ibu?” tanya saya.
“Senang!” anak-anak itu berteriak nyaris serempak.
“Siapa pernah disayang sama ayah dan ibunya?” lanjut saya tambah bersemangat.
“Saya, saya, saya!” teriak anak-anak itu sambil mengangkat tangan.
Sambil tersenyum, saya menatap satu demi satu anak-anak itu. Semua mengacungkan tangannya. Oh, tidak. Tidak semua. Ada satu anak yang hanya terdiam dan tertunduk. Anak kurus dan berkulit putih itu.
“Kamu tidak pernah disayang oleh ayah dan ibumu?” tanya saya sambil berjongkok di hadapannya.
“Ayah jahat. Ayah pukul ibu. Ayah pukul kakak dan saya!” teriaknya tiba-tiba.
Teman-temannya kaget dan terdiam, lalu duduk di pinggir lapangan seolah tahu apa yang terjadi. Anak itu tiba-tiba menangis. Wah… kok jadi berantakan begini. Kok tidak happy ending, batin saya. Saya mengangkat anak itu dan berencana untuk mendekapnya. Ups... kaus anak itu tersingkap dan ada beberapa bagian punggung anak itu yang terlihat merah-merah.
“Sakit,” kata anak itu ketika saya menyentuh bagian punggungnya yang kemerahan itu.
“Kenapa?” tanyaku.
Anak itu sambil mengusap air mata menjawab, “Dipecut sama Ayah. Pakai sabuknya. Tiap kali Ayah marah, Ibu, kakak dan saya dipecut! ” jelas anak itu sambil masih mengusap air matanya.
Seketika teringatlah saya, anak inilah yang pertama kali menduduki punggung saya ketika bermain kuda-kudaan. Anak ini juga yang sepertinya menjadi provokator teman-temannya untuk terus ramai dan tidak mau duduk diam dan mendengarkan cerita.
***
Sore itu saya pulang ke kampus seminari dengan bayangan akan bekas luka di punggung anak itu. Bayangan bekas luka yang seakan-akan memberi jawaban atas perilaku anak-anak di kelas selama ini. Sebagai seorang guru Sekolah Minggu, saya telah menjalani pelatihan bagaimana mengajar di depan anak-anak. Kelas persiapan pun rutin dilakukan dengan pelbagai macam aktivitas menarik yang dirancang bagi anak-anak. Alat peraga tersedia, tinggal dipilih mana yang cocok. Kurang apa lagi?
Sore itu, ketika matahari terbenam, timbul sebuah kesadaran di batin saya. Tugas seorang guru memanglah mengajar. Ia membutuhkan persiapan, alat peraga dan aktivitas yang menarik bagi murid-muridnya. Namun, seorang guru tidak akan siap mengajar sebelum ia mulai mendengarkan murid-muridnya. Seorang guru baru berhak membuka mulut, setelah ia membuka telinga bagi murid-muridnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H